“Senja di Batas Negeri”
Pagi hari ini, memang masih sepi.
Aku berjalan sendirian, menyusuri jalan tanah berbatu menuju sekolah yang jaraknya
dua kilometeran dari rumah singgah. Di sepanjang perjalanan, aku berpapasan
dengan iring-iringan orang dari arah berlawanan. Mereka memanggul
gundukan-gundukan besar di dalam karung yang terlihat memberatkan. Di barisan
belakang, terlihat beberapa wanita dewasa dan anak kecil menjinjing tas
berukuran besar kecil berisikan sayur mayur. Mereka adalah para pedagang.
Mereka baru saja pulang dari pulau seberang untuk membawakan kehidupan bagi
masyarakat desa. Sebentar lagi saat fajar benar-benar tiba, mereka akan membuka
lapak-lapak kecil di sekitar lapangan desa. Aku masih teringat ketika mereka
mengacung-acungkan ubi kearahku ketika aku baru saja tiba di tempat ini.
Bahasanya tidak begitu kukenal. Tetapi tujuannya jelas, untuk menjajakan
dagangannya. Mungkin semacam teknik marketing.
Raut wajah mereka sudah tampak lesu
meski matahari belum muncul sempurna. Kucuran keringat dan hembusan nafas yang menggebu-gebu
membaur menjadi satu, menggumpal membentuk semangat yang ditujukan untuk
mengobati kelunglaian fisik setelah seharian melalui perjalanan panjang .
Semangat itu lahir karena adanya harapan untuk untung, pikirku. Tak ada yang
lebih baik daripada mendapatkan untung dan mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari
di sini.
Di persimpangan jalan berikutnya,
iring-iringan pedagang itu mulai habis. Aku pun mengambil arah jalan ke kanan
dan kembali merasakan kengerian yang kurasakan setiap pagi selama beberapa hari ini. Aku menyentuh
perutku, berharap tidak mual karena terlalu memikirkan ketakutan-ketakutan akan
ketidaknyamananku, namun lebih berharap untuk merasakan rasa lapar yang meronta-ronta.
Kurasakan perutku mulai bergemuruh dan bergetar hebat. Lambungku kembang
kempis. Nampaknya, rasa lapar itu benar-benar telah mengambil alih akal
warasku.
Tak sampai beberapa menit
berjalan, aku akhirnya tiba di sebuah bangunan berukuran sedang, satu-satunya
bangunan yang kupikir terbaik di antara bangunan desa lainnya. Aku melihat
cahaya di dalam bangunan itu. Warnanya kuning meremang. Uap dari atapnya
mengepul tinggi. Pertanda beberapa masakan sedang diolah dan beberapa mungkin sudah
siap sedia. Daun pintu ganda bangunan itu terbuka setengah bagian, karena
memang hari belum sempurna . Di beberapa sudut meja sudah nampak beberapa orang
yang terlihat asyik nongkrong sambil minum kopi. Mengocehkan sesuatu tentang
tangkapan ikan hari ini. Mereka mengenakan kupluk-kupluk kumal dan sarung lusuh
untuk menghangatkan tubuh gempal mereka. Penampilannya mengerikan menurutku. Nelayan
yang lebih mirip dengan gambaran maling dan begundal di daerah asalku.
“Mau makan apa Bapak Guru...?”
pemilik warung itu mengagetkanku. “Emm. Pesan papeda pake ikan ini sama teh
hangat ya Ibu...” Jawabku spontan. “Siap Bapak Guru..” Ibu itu meringis sebentar
memperlihatkan barisan gigi-giginya yang putih rata, di balik keremangan cahaya
kuning lilin yang mulai meredup karena terkena terpaan sinar matahari fajar dari
luar jendela. Dan seperti biasanya, seperti tangan yang sudah terlatih
bertahun-tahun. Dengan gerakan secepat kilat, ibu itu mengambil piring dan menuangkan
secaruk papeda beserta lauk di atasnya hanya dengan waktu seperkian detik. Aku
pun hampir melongo dibuatnya. Rasanya aku baru mengedipkan mata beberapa kali
setelah aku menunjuk lauk yang aku pikir itu bukan lauk yang kemarin aku pesan.
Dan beberapa waktu yang berlalu itu, kini telah bertransformasi menjadi
sepiring papeda di hadapan, lengkap dengan lauk yang terlihat asing bagiku.
Aku mengambil alih sepiring
papeda itu dari tangan kekar si ibu pemilik warung dan mulai berjalan menuju tempat duduk di dekat tungku perapian. Seketika,
aroma hunian warung itu terasa mengorbit di benakku. Beriringan dengan
pemandangan kosong melompong pagi hari di luar jendela kayu yang tampak tidak dibuat
persegi. Membuatnya menjadi semacam bingkai lukisan. Membentuk ritme kehidupan
yang elegan dan berpacu membentuk history.
Ini adalah kali keempat aku makan
di warung ini. Jelas saja, warungnya memang hanya buka setiap hari sabtu dan
hari minggu. Itupun kalau cuaca sedang cerah. Kata Ibu pemilik warung, lima
hari tersisa adalah untuk mengumpulkan bahan yang akan dimasak. Ketika warung
tutup, suasana warung akan menjadi senyap. Tak ada lagi remang warna kuning dan
kepulan asap. Kanan kiri warung hening karena memang tak ada bangunan lain. Bangunan
terdekat hanyalah bagunan sekolahan yang berjarak beberapa puluh meter dari
warung. Yang sebenarnya bangunan itu juga tak bisa dilihat dari jalanan depan
warung.
Air liurku mengalir di dalam
leher dengan pelan ketika bubur sagu itu
kuaduk-aduk dengan lauknya. Memikirkan kenikmatannya sekaligus merasakan
lambung yang mengkerut karena dari kemarin siang lambung itu tidak terisi sesuatu
apapun gara-gara aku terlalu sibuk membenahi genteng rumah singgah yang bocor. Lalu
lebih dari itu, aku juga berharap santapan pagi ini dapat menekan rasa laparku
selama seharian nanti.
Sebelum mulai makan, aku menatap ke depan
menghadap langit dan pepohonan. Berdoa dan iseng-iseng menawarkan makanan pada
angin yang berhembus lewat. “Selamat makan kawan... Emmm” Satu sendok papeda
masuk ke mulutku dengan senang hati. Namun, baru sepersekian detik kemudian
ketika papeda dan lauk berwarna kuning itu mendarat di lidahku, aku langsung mengeluarkannya
kembali. Insting indra perasaku seakan menolak sengit makanan itu dan aku mulai
merasakan sesuatu menjalar ke seluruh tubuh. Aku merasa akan muntah dan perutku
kembali terasa mual. Makanan apa ini...? aku mengulak-alik seisi piring papeda
dan berharap menemukan tulang-tulang ikan agar bisa kutebak lauk apa yang
sedang aku makan.
Rasanya tak ada yang lebih nikmat
dari makanan hasil laut di sini. Beberapa menu andalan termasuk cumi asap
memang jarang ditemui selain hari minggu. Tetapi ini beda dari daging cumi.
Teksturnya lembek dan tidak kenyal serupa ampas tahu. Selain lembek aku juga
menemukan sedikit tekstur kasar yang aneh. Berbentuk semacam bola dan agak
bergerigi. Akhirnya, kuputuskan untuk tidak melanjutkan sarapan pagi ini. Lauk
asing itu sudah cukup untuk mengisi sebagian lambungku yang mungkin sebagian
lainnya akan kuisi dengan lebih banyak
air.
Air. Ya air. Aku ingat aku tadi
memesan teh hangat. Kutolehkan kepalaku ke meja tempat aku memesan dan berusaha
mencari-cari dimana gerangan si ibu berada. Ibu itu tidak ada di sana. Apa si
ibu itu lupa dengan pesananku..? biasanya tidak. Aku berdiri dan berjalan
mendekati perapian. Kucondongkan kepalaku agak ke perapian dan berusaha
mengintip ruang dapur yang ada di dalam lewat celah pintu yang terbuka separuh.
Kulihat sekelebat bayangan dan aku kembali ke posisiku semula. Merapikan
sesuatu yang mestinya tidak perlu untuk dirapikan. Ibu itu melangkah mantap
keluar dari dalam dapur. Tangan kanannya memegang gagang cangkir teh sedangkan
tangan kirinya berusaha menyangganya dengan memegangi piring kecil di alas
gelasnya.
Gigi-gigi putih ratanya kembali
dia munculkan, sampai-sampai bibirnya yang tebal bisa melebar dan terlihat
tipis memanjang. Aku jadi teringat dengan orang-orang yang kutemui beberapa
hari lalu di dermaga pelabuhan ketika aku baru tiba di sini. Senyumannya tak
kalah cemerlang dengan yang ini. Senyuman khas penduduk desa yang sarat dengan
keramah-tamahan.
“Maaf Bapak guru, tehnya lama
sekali.., tadi saya lupa menaruh daun tehnya dimana..” kata ibu itu sambil
menyerahkan tehnya kepadaku. “Tidak apa-apa ibuu...” aku tersenyum dan
menganggap kata-kataku barusan adalah lucu karena kuusahakan semirip mungkin
dengan aksen si ibu. “Oh, ya ibu... Boleh aku tanya. Lauk kuning-kuning yang
dipiring itu ikan apa ..?” aku melanjutkan. “Ahahaha. Itu daging bulu babi
Bapak guru.. bagaimana rasanya, pasti mantap kannn...” Ibu itu tertawa lebar
sambil sedikit berjengit ke belakang. “Itu tadi masakan bulu babi yang aku masak
dengan bumbu kuning Bapak Guru...”
“Emm.. Namanya apa Ibu
masakannya..? Tanyaku. “Papeda ikan kuah kuning Bapak guru.., Bapak guru mau
bungkus kah buat makan nanti sore..?? Kepalaku menggeleng lebih dulu untuk
bereaksi, sebelum kata-kata dari bibirku mampu terucap...“Emm, tidak usah Ibu..
nanti kalau kepingin makan papeda ikan kuning biar saya datang ke sini saja...”
Jawabku sembari kembali menyruput teh hangat yang berada dalam genggaman
tanganku. “Semuanya habis berapa Ibu...?” Aku mendongak kembali menatap si Ibu.
“Semuanya dua puluh lima ribu Bapak guru...” jawab si Ibu dengan lantang.
“Ini Ibu... Terimakasih,
makanannya mantap sekali...” mataku tiba-tiba menatap sekeliling ruangan.
Berharap tidak ada yang memperdulikan tingkahku barusan. Mungkin akan terasa
aneh untuk dilihat apabila tingkahku tadi diamati lebih teliti. Semuanya memang
hanya terlihat akting. Akting ini sama halnya kulakukan ketika pertama kali aku
tahu bahwa toilet di desa ini adalah sebuah galian besar memanjang yang hanya dibatasi
sekat pembatas dari kain sobek-sobek. Betapa mengenaskannya perasaanku waktu
itu. Sudah menahan buang air di ubun-ubun tetapi malah terpampang oleh pemandangan
orang-orang yang nampak duduk berjongkok di sana sini separuh telanjang tanpa
rasa malu sedikit pun. Awalnya tubuhku kaku dengan pemandangan itu, namun
lambat laun kuusahakan untuk tidak menampakkan keterkejutan yang berlebih. Aku
tetap berjalan menuju jamban dengan bibir menggumamkan kata-kata yang kupikir
bisa memberi sugesti yang baik terhadapku “Aku harus terbiasa...aku harus
terbiasa... semuanya akan baik-baik saja... ini adalah keunikan mereka... aku
tidak boleh menganggap keunikan mereka adalah sesuatu yang jelek dan menjijikkan...”
Aku mengulangi kata-kataku
tersebut sambil berjalan keluar dari warung. Aroma khas hunian warung itu terasa
memudar ketika aku sudah berada di depan pintu bagian luar. Di bawah sebuah
tiang kayu yang papannya bergambarkan bekas poster salah satu calon kepala
daerah. Aku heran termanggut-manggut ketika berusaha memikirkan hiruk pikuk
pemilihan kepala daerah, di mana sang kepala daerah terpilih nantinya akan
bersenang-senang dengan jabatan dan kemewahan fasilitas. Sedangkan masyarakat sebagai
pemilih seperti masyarakat desa ini tetap berjuang membanting tulang sekuat
tenaga hanya untuk menyambung hidup. Mencari uang untuk makan dan makan untuk
mengisi energi kembali agar bisa mencari uang lagi. Sebuah siklus memilukan
yang hanya akan dialami oleh sebagian orang-orang tertinggal dan terlupakan,
seperti penduduk desa ini.
Aku mendongakkan kepala sedikit
ke atas. Berusaha menatap langit yang terasa ikut berkabung. Langit itu tidak
mendung. Hanya saja kelihatan masih muram karena sinar matahari belum menyinari
awan-awan dengan sempurna. Aku pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan
menuju sekolah. Jaraknya sudah begitu dekat. Gerbang utamanya saja sudah
kelihatan ketika aku baru sampai pada belokan kiri pertama dari arah warung
tadi. Gerbangnya dari kejauhan nampak sangat sederhana namun rapi. Dipatok
dengan seadanya supaya kayu-kayunya berjajar membentuk pagar. Pintu gerbangnya
juga dibuat berbeda dari yang lain. Kedua sisi penyangganya agak ditinggikan
dengan alih-alih atasan yang dibuat melengkung, tetapi lebih ke persegi.
“Ting..ting..ting...” Bunyi bel
sekolahan dari kejauhan dipukul tiga kali, pertanda jam masuk kelas. Para siswa
terlihat berhamburan. Mereka datang dari berbagai penjuru untuk berjejal menuju
pintu gerbang utama sekolahan. Dari arah belakangku juga muncul dua orang siswa
yang tiba-tiba berhenti dengan nafas yang terengah-engah. Sepatu diikatkan di
leher mereka. Disampul seadanya dengan mengaitkan tali sepatu kanan dengan tali
sepatu kiri. Sedangkan kaki mereka sendiri dibiarkan telanjang. Penuh lumpur
dan kotoran tanah. Dua siswa ini tinggal di pedalaman pulau sekitar hutan.
Jaraknya bisa empat kali lipat dari jarak rumah singgah ke sekolahan. “Selamat
pagi Bapak guru...” mereka menyapaku sambil berusaha mengibaskan kucuran
keringat di dahi mereka dengan lengan baju. “Pagi Stephy, Tibo.. Ayo, sebelum
masuk sekolah sepatunya dipakai dulu..” Aku memerintah mereka sambil menunjuk
batu di pinggir jalan yang sekiranya dapat mereka pakai untuk duduk dan selanjutnya
membiarkan mereka membungkus kaki-kaki kecil mereka dengan sepatu-sepatu tak
layak pakai itu.
“Apa Buni tidak masuk lagi hari
ini...? Tanyaku sambil menunggu mereka mengenakan sepatu. “Tidak Bapak guru,
tadi pagi ketika berangkat ke sini kami berjumpa dengan Buni di hutan, nah Buni
memberitahu kami kalau hari ini dia tidak masuk sekolah lagi...padahal saya sudah
beritahu kepada mama Buni agar mama Buni meminta Buni untuk sekolah, tetapi
mama Buni malah marah-marah kepada kami...” Mereka bangkit tampak tak
menghiraukan dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. “Ayo Bapak guru, kami
sudah selesai memakai sepatu..” Aku tidak menjawab ajakan mereka, aku hanya
tersenyum dan mengayunkan tanganku sebagai pertanda aku menyetujui ajakan mereka.
Aku berjalan pelan. Berusaha pelan agar aku bisa mengikuti bekas tapak kaki
mereka dari belakang.
Setibanya di sekolahan, Stephy dan
Tibo langsung menyeruak masuk ke dalam kelas. Aku memandang mereka berlari, hingga
mereka akhirnya hilang dari pandangan. Aku sendiri pun juga berbelok arah menuju
ruang guru. Ruangan yang lebih sempit daripada ruang kelas siswa. Isinya tidak
nampak mewah. Di pojok ruangan, terdapat sebuah lemari reyot yang terdiri dari
tiga bagian rongga. Rongga tengah adalah rongga yang terbesar dan utama. Rongga
ini berisi buku-buku pelajaran kusam dan beberapa kumpulan arsip siswa yang
tidak tertata rapi. Rongga bagian bawahnya adalah rongga yang lebih kecil dari
rongga bagian tengah. Isinya adalah peralatan-peralatan yang diperlukan untuk
mengajar, seperti kapur dan penghapus. Sisanya adalah peralatan-peralatan yang
sebagian besar tak kutahui fungsinya apa dan mengapa benda-benda itu diletakkan
di situ. Rongga atas adalah yang paling kecil di antara semua rongga. Rongga
yang selalu terkunci rapat dan tidak pernah sekali pun aku melihatnya terbuka.
Selebihnya, ruangan itu hanya
berisikan satu buah meja dan tiga buah kursi. Mejanya tidak bertaplak dan
berwarna coklat memudar pada bagian pinggirnya, mungkin akibat gaya gesek dari
kulit lengan yang kasar. Di pinggir jendela, nampak satu-satunya barang yang
kuanggap paling menarik di sini. Sebuah kalender. Menggantung dengan gagah,
menampilkan pemandangan alam raja ampat. Bertuliskan “KOPERASI SIMPAN PINJAM”
dengan huruf kapital tebal. Saya masih terheran-heran dengan cara kalender itu
bisa sampai ke ruangan ini. Padahal jarak desa dengan koperasi yang ada di kota
terdekat hampir mencapai puluhan kilometer. Itupun harus ditambah dengan
menyeberangi lautan. Apakah itu hadiah dari seseorang, pikirku. Coretan dalam
angka-angkanya itulah yang menyebabkan aku meragukan kalender itu milik salah seorang
guru di sini. Coretan itu berisi kata-kata yang bahkan tidak dapat disamakan
dengan tulisan Bapak Frans atau Ibu Teresa.
“Selamat pagi Bapak Frans, Ibu
Teresa...” Aku menyapa kedua orang yang selama bertahun-tahun sudah menjadi
penghuni tetap ruangan itu dengan sedikit senyuman. “Pagi Bapak guru Ranu...
Wahh. Bagaimana kabarnya Bapak hari ini. Sehat kah..? Sudah kerasan kah..? Pak
Frans berceloteh tentang kabarku hari ini dengan suara seraknya, sedangkan ibu
Teresa terlihat sedang sibuk menulis sesuatu di samping Bapak Frans. “Baik
Bapak Frans.. sepertinya saya sudah kerasan sejak pertama kali menginjakkan
kaki di sini” Jawabku tersenyum sembari meletekkan tas jinjing di kursi dan
mengeluarkan isinya.
“Saya ke kelas dulu Bapak Frans,...”
Kata Ibu Teresa. Dia bangkit dari kursinya membawa beberapa kertas yang telah
dia coreti tadi. “Mari Bapak Ranu...” dia menyapaku dengan tatapan khas
penduduk sini. Yang pastinya disertai dengan senyuman. “Iya Ibu Teresa...”
kubungkukkan badanku sedikit ke depan dengan maksud menghormatinya. Lalu aku
kembali lagi menghadapkan pandanganku ke Bapak Frans dan siap untuk menjelaskan
sesuatu kepadanya “Ow iya Bapak... Begini, saya dari kemarin sudah mengumpulkan
data-data dari salah seorang siswa yang bernama Buni. Buni sudah seminggu lebih
tidak masuk sekolah. Sepertinya kita perlu cari tahu apa yang menyebabkan Buni jadi
jarang masuk sekolah. “ Jelasku.
“Ow masalah seperti itu tidak
terlalu dipikirkan Bapak Ranu. Kita fokus saja dengan ujian semester yang akan
dilakukan beberapa minggu lagi. Tidak usah mengurusi sesuatu yang kurang
penting seperti itu lah“ Suara serak Bapak Frans terasa memenuhi ruangan. Aku
masih terngiang memandang ekspresi wajah Bapak Frans yang kikuk disertai pandangan
mata yang tidak konstan. Dia kemudian melanjutkan.. “Emm.. Begini Bapak Ranu, hal-hal
semacam itu sudah sering terjadi di sini. Bahkan lama sebelum Bapak guru Ranu
datang ke sini. Biasanya faktor mereka tidak mau sekolah adalah karena mereka lebih
memilih untuk bekerja atau menikah. Itu adalah urusan orang tua mereka. Bukan
urusan kita...” Tukasnya.
Aku terdiam sejenak. Berusaha
mencerna perkataan Bapak Frans barusan. Dan sesegera mungkin berusaha menyangkal
penjelasan dari guru tambun itu dengan berbagai cara “Emm..Maaf Bapak Frans,
bukankah sudah menjadi kewajiban kita sebagai guru dan pendidik untuk melayani siswa-siswa
yang ingin mendapatkan kesempatan belajar di sini..” Sergahku. Kemudian aku
melanjutkan bicara lagi tepat ketika Bapak Frans mau mendebat omonganku “Kita
orang mempunyai kesempatan yang sama dalam hal pendidikan, termasuk anak-anak
yang kurang beruntung seperti Buni. Dan lagipula, saya pikir tidak semua siswa
yang tidak masuk sekolah mempunyai alasan yang sama dengan apa yang telah Bapak
Frans jelaskan tadi...?” hidungku kempas-kempis. Mulai merasakan tekanan darah
mengalir naik ke ubun-ubun dan mau pecah.
Bapak Frans tiba-tiba berdiri dan
menjadikan meja sebagai tumpuan untuk kedua tangannya yang mulai mengepal “Begini
Bapak guru Ranu. Saya adalah kepala sekolah di sekolah ini. Saya orang adalah
yang berhak memutuskan semuanya di sini... jadi urusan seperti itu biar saya
saja yang mengurusi. Bapak Ranu tidak usah terlalu ikut campur”. Pupil Bapak
Frans terlihat semakin membesar. Berusaha menekan sesuatu yang seharusnya tidak
patut untuk ditampakkan. Beberapa detik kemudian, tatapan matanya terlihat
melemah. pupil matanya juga terlihat menormal. Dia kembali duduk ke kursi
seperti semula. Menghela nafas lega seperti baru saja melepaskan sebuah
kesesakan yang memuakkan. Kedua tangannya dia tangkupkan ke muka sambil
menggumamkan sesuatu.
“Maaf Bapak guru Ranu. Saya
terlalu emosi. Saya hanya melakukan tugas sebagaimana mestinya dan juga agar
Bapak guru Ranu tidak terlalu repot mengurusi anak itu...” dia diam sejenak untuk
menghembuskan nafas panjang dan mulai menggumamkan sesuatu lagi dengan tidak
jelas. Aku pun juga ikut terdiam dengan keadaan itu. Terpaut oleh medan gaya
suasana sumbang yang seakan membuat segala gerak-gerikku terasa kaku dan bagai
terekam oleh kamera tersembunyi di balik layar film. Menganggap bahwa setiap
gerakanku adalah pemicu ledakan dahsyat yang bakal menghidupkan alarm-alarm
tanda bahaya hingga suaranya terdengar seantero negeri.
Tiga detik kemudian, aku melihat
sekilas pancaran muka Bapak Frans yang disertai dengan gumaman dan usapan
berkali-kali telapak tangan ke mukanya sendiri. Aku menatapnya dengan sengaja karena
aku pikir dengan itu aku akan bisa tanggap ketika sesuatu hal yang tak
kuharapkan terjadi kepadaku. Pancaran itu seperti benar-benar menyiratkan sebuah
maksud yang terpendam. Seolah-olah sedang memikirkan suatu hal dengan daya
juang penuh. Mencoba mengatakan atau melakukan sesuatu untuk merubah suasana
satir yang telah dia buat sendiri.
“Ow iya Bapak guru Ranu, saya punya ini untuk
Bapak guru Ranu koreksi hari minggu besok...” dia mengeluarkan setumpuk kertas
berwarna putih kusam dari dalam kotak yang tepat berada di samping kiri
kursinya. “Apa ini Bapak Frans..?” Aku kembali memberanikan diri untuk bertanya
kepadanya. “Ini adalah hasil ulangan siswa beberapa hari yang lalu. Saya sudah
koreksi sebagian, sebagian lagi belum. Nah, coba Bapak guru Ranu koreksi dulu
dan nanti Senin serahkan ke saya..!” Pintanya sambil meletakkan setumpuk kertas
itu tepat di atas meja yang ada di depanku.
“Emm.. Baik Bapak Frans, saya akan
menyerahkan hasilnya hari Senin depan..” aku mengambil tumpukan kertas itu
dengan sedikit enggan. Rasa kecewa itu masih sangat terasa. Mengingat kembali
dengan apa yang telah terjadi beberapa menit yang lalu. Aku juga mulai merasa masygul,
tak tahu harus berbuat apa sambil tetap menjejalkan secara perlahan tumpukan
kertas ulangan siswa itu pada celah tas yang terlihat masih muat untuk diisi.
Kemudian aku berdiri dan mulai memohon pamit kepada Bapak Frans untuk masuk ke
dalam kelas.
Suasana kelas hari ini sangat
ricuh seperti biasanya. Suara-suara itu sama seperti hari kemarin. Tak pernah
ada yang sepenuhnya aku mengerti. Aku berusaha mengendalikan kelas tetapi tetap
saja ada yang membangkang. Sampai-sampai aku hampir bertekad diri untuk melambungkan
gagang sapu kepada mereka agar jera. Tetapi nuraniku ternyata lebih tangguh
daripada emosiku yang sesaat. Aku pikir, tidak sepantasnya aku berbuat demikian
kepada mereka. Sebab, aku adalah seorang yang terdidik. Sebagai seorang yang
terdidik, aku seharusnya bisa menyadarkan mereka dengan cara-cara yang terdidik
pula. Tidak dengan kekerasan seperti itu. Hanya saja saat ini aku masih belum bisa
menemukan cara yang pas untuk memberikan pemahaman kepada mereka tentang semua
ini. Tentang pendidikan yang selayaknya harus diberikan kepada generasi-generasi
muda yang terlalu polos dan masih mustahil untuk bisa diberdirikan di garda paling
depan bangsa sebagai barisan pejuang pembela tanah air seperti mereka.
Kelas yang kuajar hari ini adalah
kelas 3 dan 4. Jumlah total siswa ada 10 orang. 6 untuk kelas 4 dan 4 untuk
kelas 3. Model kelas di sekolahan ini memang dibuat kelas rangkap. Jadi total
ruang kelas ada 3 kelas. Setiap ruang kelas berisi siswa dari dua kelas
tingkatan. Kelas 1-2, kelas 3-4, dan kelas 5-6. Model kelas rangkap memang diterapkan
di sekolahan ini karena mengingat ruang kelas yang ada tidak bisa mencukupi kuota
ruang kelas yang seharusnya, yaitu 6 ruang kelas. Selain itu, siswa sekolahan
ini juga tidaklah banyak. Total siswa dari kelas 1-6 pada tahun pelajaran ini saja
hanya berjumlah 19 orang siswa. Hal ini dapat diartikan bahwa kemauan dan kesempatan
pendidikan bagi masyarakat desa ini masih tergolong rendah. Mengingat laju
pertumbuhan sumber daya manusia dan persaingan global di luar sana yang semakin
meningkat.
Waktu mengajar terus bergulir.
Aku memberikan pelajaran tentang matematika dasar untuk kelas 4 dan pelajaram
membaca untuk kelas 3. Aku memberikan pelajaran itu kepada mereka dengan sedapatnya,
karena aku sendiri memang bukanlah lulusan dari tenaga pendidik untuk tingkatan
sekolah dasar yang memiliki bekal ilmu-ilmu tertentu. Aku adalah seorang
konselor. Yang kupegang teguh di sini hanyalah sebuah niat yang ikhlas untuk
berbagi ilmu dan usaha bantuan untuk permasalahan mereka. Selebihnya adalah tekad
semampuku dan sekuat tenaga. Tetapi sejauh ini respon mereka adalah baik. Dan
hal ini membuatku semakin semangat untuk menarik mereka terbang melesat
menembus batas garis-garis kehidupan dengan mengendarai sesuatu yang aku sebut
sebagai ilmu pengetahuan dan imajinasi. Menembus batas-batas relativitas
tentang gerak ruang dan waktu, dimana kita tidak hanya terpaku pada kejadian
saat ini saja, melainkan juga kejadian
akan masa lalu dan masa depan yang telah dan akan kita alami...
.........
Jam-jam di kelas bersama siswa akhirnya
berlalu dengan sendirinya. Dan tanpa terasa waktu yang kulalui bersama mereka sudah
cukup lama hingga membuat mataharipun sekarang sudah bergeser sedikit condong ke
arah barat. Pertanda lazim bahwa hari sudah mulai sore. Setelah para siswa
berhamburan pulang dan aku telah berhasil membereskan kursi-kursi dan meja
kelas yang berantakan, aku langsung bersiap diri untuk pulang menuju rumah
singgah. Tapi sebelum itu, aku mampir sebentar ke ruang guru untuk berpamitan
kepada Bapak Frans dan Ibu Teresa yang juga terlihat sedang bersiap diri untuk meninggalkan
sekolahan.
Di sepanjang perjalanan ke rumah
singgah aku memikirkan berbagai kenangan tentang hari ini. Tentang hari ini
adalah hari yang melelahkan. Dan probabilitasnya memang selalu begitu. Hari
dimana aku harus mempunyai masalah dengan orang lain dan hari dimana aku harus
bersabar dengan ulah orang lain. Tetapi di luar itu semua, hari ini aku juga
menemukan sebuah kunci dari awal perjalananku di tempat ini. Awal yang kumaksud
adalah awal yang baik untuk suatu hal yang baik. Awal yang baik tentang Buni.
Seseorang yang baru tiga kali aku jumpai. Tentang sosok gadis cilik periang
dengan barisan gigi-gigi ompongnya dan tas ranselnya yang compang-camping. Tentang
sosok gadis cilik yang hari-hari lalu kukenal sebagai gadis pemberani dan penuh
semangat baja. Yang kemudian saat ini semangat dan keberaniannya kurasakan telah
hilang bersamaan dengan waktu yang telah berlalu begitu saja. Hilang tertelan gejolak
kehidupan masyarakat yang termarjinalisasi oleh aturan mereka sendiri.
Buni. Dimana kau sekarang Nak...?
Sepertinya aku harus segera menyiapkan segala sesuatunya untuk mulai mencarimu.
Berharap kaki-kaki kecilmu berayun-ayun di bawah dahan yang rindang di puncak
bukit di atas sana. Menatap jauh ke depan, ke hamparan laut biru yang penuh
dengan tantangan. Bersiap diri akan segala sesuatu yang bakal menerjang. Hingga
akhirnya engkau bisa berpijak pada kaki sendiri dan terbang menggunakan
sayap-sayap ajaib yang akan engkau rangkai sendiri. Buni adalah cermin generasi
masa depan yang sangat disayangkan untuk dibiarkan bersinar sendiri tanpa arahan.
Sama halnya dengan ribuan anak di Indonesia yang mungkin saat ini belum bisa
merasakan sentuhan akan pendidikan. Yang mereka tidak tahu pasti akan menawannya
dunia ini dengan pendidikan dan segala ilmu pengetahuannya. Pendidikan untuk semesta
peradaban manusia yang lebih baik.
To be continued... ~25 Maret 2015~
No similar posts
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar