“Senja di Batas Negeri”

Pagi hari ini, memang masih sepi. Aku berjalan sendirian, menyusuri jalan tanah berbatu menuju sekolah yang jaraknya dua kilometeran dari rumah singgah. Di sepanjang perjalanan, aku berpapasan dengan iring-iringan orang dari arah berlawanan. Mereka memanggul gundukan-gundukan besar di dalam karung yang terlihat memberatkan. Di barisan belakang, terlihat beberapa wanita dewasa dan anak kecil menjinjing tas berukuran besar kecil berisikan sayur mayur. Mereka adalah para pedagang. Mereka baru saja pulang dari pulau seberang untuk membawakan kehidupan bagi masyarakat desa. Sebentar lagi saat fajar benar-benar tiba, mereka akan membuka lapak-lapak kecil di sekitar lapangan desa. Aku masih teringat ketika mereka mengacung-acungkan ubi kearahku ketika aku baru saja tiba di tempat ini. Bahasanya tidak begitu kukenal. Tetapi tujuannya jelas, untuk menjajakan dagangannya. Mungkin semacam teknik marketing.
Raut wajah mereka sudah tampak lesu meski matahari belum muncul sempurna. Kucuran keringat dan hembusan nafas yang menggebu-gebu membaur menjadi satu, menggumpal membentuk semangat yang ditujukan untuk mengobati kelunglaian fisik setelah seharian melalui perjalanan panjang . Semangat itu lahir karena adanya harapan untuk untung, pikirku. Tak ada yang lebih baik daripada mendapatkan untung dan mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari di sini.
Di persimpangan jalan berikutnya, iring-iringan pedagang itu mulai habis. Aku pun mengambil arah jalan ke kanan dan kembali merasakan kengerian yang kurasakan setiap  pagi selama beberapa hari ini. Aku menyentuh perutku, berharap tidak mual karena terlalu memikirkan ketakutan-ketakutan akan ketidaknyamananku, namun lebih berharap untuk merasakan rasa lapar yang meronta-ronta. Kurasakan perutku mulai bergemuruh dan bergetar hebat. Lambungku kembang kempis. Nampaknya, rasa lapar itu benar-benar telah mengambil alih akal warasku.
Tak sampai beberapa menit berjalan, aku akhirnya tiba di sebuah bangunan berukuran sedang, satu-satunya bangunan yang kupikir terbaik di antara bangunan desa lainnya. Aku melihat cahaya di dalam bangunan itu. Warnanya kuning meremang. Uap dari atapnya mengepul tinggi. Pertanda beberapa masakan sedang diolah dan beberapa mungkin sudah siap sedia. Daun pintu ganda bangunan itu terbuka setengah bagian, karena memang hari belum sempurna . Di beberapa sudut meja sudah nampak beberapa orang yang terlihat asyik nongkrong sambil minum kopi. Mengocehkan sesuatu tentang tangkapan ikan hari ini. Mereka mengenakan kupluk-kupluk kumal dan sarung lusuh untuk menghangatkan tubuh gempal mereka. Penampilannya mengerikan menurutku. Nelayan yang lebih mirip dengan gambaran maling dan begundal di daerah asalku.
“Mau makan apa Bapak Guru...?” pemilik warung itu mengagetkanku. “Emm. Pesan papeda pake ikan ini sama teh hangat ya Ibu...” Jawabku spontan. “Siap Bapak Guru..” Ibu itu meringis sebentar memperlihatkan barisan gigi-giginya yang putih rata, di balik keremangan cahaya kuning lilin yang mulai meredup karena terkena terpaan sinar matahari fajar dari luar jendela. Dan seperti biasanya, seperti tangan yang sudah terlatih bertahun-tahun. Dengan gerakan secepat kilat, ibu itu mengambil piring dan menuangkan secaruk papeda beserta lauk di atasnya hanya dengan waktu seperkian detik. Aku pun hampir melongo dibuatnya. Rasanya aku baru mengedipkan mata beberapa kali setelah aku menunjuk lauk yang aku pikir itu bukan lauk yang kemarin aku pesan. Dan beberapa waktu yang berlalu itu, kini telah bertransformasi menjadi sepiring papeda di hadapan, lengkap dengan lauk yang terlihat asing bagiku.
Aku mengambil alih sepiring papeda itu dari tangan kekar si ibu pemilik warung dan mulai berjalan menuju tempat duduk di dekat tungku perapian. Seketika, aroma hunian warung itu terasa mengorbit di benakku. Beriringan dengan pemandangan kosong melompong pagi hari di luar jendela kayu yang tampak tidak dibuat persegi. Membuatnya menjadi semacam bingkai lukisan. Membentuk ritme kehidupan yang elegan dan berpacu membentuk history.
Ini adalah kali keempat aku makan di warung ini. Jelas saja, warungnya memang hanya buka setiap hari sabtu dan hari minggu. Itupun kalau cuaca sedang cerah. Kata Ibu pemilik warung, lima hari tersisa adalah untuk mengumpulkan bahan yang akan dimasak. Ketika warung tutup, suasana warung akan menjadi senyap. Tak ada lagi remang warna kuning dan kepulan asap. Kanan kiri warung hening karena memang tak ada bangunan lain. Bangunan terdekat hanyalah bagunan sekolahan yang berjarak beberapa puluh meter dari warung. Yang sebenarnya bangunan itu juga tak bisa dilihat dari jalanan depan warung.
Air liurku mengalir di dalam leher dengan pelan ketika  bubur sagu itu kuaduk-aduk dengan lauknya. Memikirkan kenikmatannya sekaligus merasakan lambung yang mengkerut karena dari kemarin siang lambung itu tidak terisi sesuatu apapun gara-gara aku terlalu sibuk membenahi genteng rumah singgah yang bocor. Lalu lebih dari itu, aku juga berharap santapan pagi ini dapat menekan rasa laparku selama seharian nanti.
 Sebelum mulai makan, aku menatap ke depan menghadap langit dan pepohonan. Berdoa dan iseng-iseng menawarkan makanan pada angin yang berhembus lewat. “Selamat makan kawan... Emmm” Satu sendok papeda masuk ke mulutku dengan senang hati. Namun, baru sepersekian detik kemudian ketika papeda dan lauk berwarna kuning itu mendarat di lidahku, aku langsung mengeluarkannya kembali. Insting indra perasaku seakan menolak sengit makanan itu dan aku mulai merasakan sesuatu menjalar ke seluruh tubuh. Aku merasa akan muntah dan perutku kembali terasa mual. Makanan apa ini...? aku mengulak-alik seisi piring papeda dan berharap menemukan tulang-tulang ikan agar bisa kutebak lauk apa yang sedang aku makan.
Rasanya tak ada yang lebih nikmat dari makanan hasil laut di sini. Beberapa menu andalan termasuk cumi asap memang jarang ditemui selain hari minggu. Tetapi ini beda dari daging cumi. Teksturnya lembek dan tidak kenyal serupa ampas tahu. Selain lembek aku juga menemukan sedikit tekstur kasar yang aneh. Berbentuk semacam bola dan agak bergerigi. Akhirnya, kuputuskan untuk tidak melanjutkan sarapan pagi ini. Lauk asing itu sudah cukup untuk mengisi sebagian lambungku yang mungkin sebagian lainnya akan kuisi dengan lebih banyak  air.
Air. Ya air. Aku ingat aku tadi memesan teh hangat. Kutolehkan kepalaku ke meja tempat aku memesan dan berusaha mencari-cari dimana gerangan si ibu berada. Ibu itu tidak ada di sana. Apa si ibu itu lupa dengan pesananku..? biasanya tidak. Aku berdiri dan berjalan mendekati perapian. Kucondongkan kepalaku agak ke perapian dan berusaha mengintip ruang dapur yang ada di dalam lewat celah pintu yang terbuka separuh. Kulihat sekelebat bayangan dan aku kembali ke posisiku semula. Merapikan sesuatu yang mestinya tidak perlu untuk dirapikan. Ibu itu melangkah mantap keluar dari dalam dapur. Tangan kanannya memegang gagang cangkir teh sedangkan tangan kirinya berusaha menyangganya dengan memegangi piring kecil di alas gelasnya.
Gigi-gigi putih ratanya kembali dia munculkan, sampai-sampai bibirnya yang tebal bisa melebar dan terlihat tipis memanjang. Aku jadi teringat dengan orang-orang yang kutemui beberapa hari lalu di dermaga pelabuhan ketika aku baru tiba di sini. Senyumannya tak kalah cemerlang dengan yang ini. Senyuman khas penduduk desa yang sarat dengan keramah-tamahan.
“Maaf Bapak guru, tehnya lama sekali.., tadi saya lupa menaruh daun tehnya dimana..” kata ibu itu sambil menyerahkan tehnya kepadaku. “Tidak apa-apa ibuu...” aku tersenyum dan menganggap kata-kataku barusan adalah lucu karena kuusahakan semirip mungkin dengan aksen si ibu. “Oh, ya ibu... Boleh aku tanya. Lauk kuning-kuning yang dipiring itu ikan apa ..?” aku melanjutkan. “Ahahaha. Itu daging bulu babi Bapak guru.. bagaimana rasanya, pasti mantap kannn...” Ibu itu tertawa lebar sambil sedikit berjengit ke belakang. “Itu tadi masakan bulu babi yang aku masak dengan bumbu kuning Bapak Guru...”
“Emm.. Namanya apa Ibu masakannya..? Tanyaku. “Papeda ikan kuah kuning Bapak guru.., Bapak guru mau bungkus kah buat makan nanti sore..?? Kepalaku menggeleng lebih dulu untuk bereaksi, sebelum kata-kata dari bibirku mampu terucap...“Emm, tidak usah Ibu.. nanti kalau kepingin makan papeda ikan kuning biar saya datang ke sini saja...” Jawabku sembari kembali menyruput teh hangat yang berada dalam genggaman tanganku. “Semuanya habis berapa Ibu...?” Aku mendongak kembali menatap si Ibu. “Semuanya dua puluh lima ribu Bapak guru...” jawab si Ibu dengan lantang.
“Ini Ibu... Terimakasih, makanannya mantap sekali...” mataku tiba-tiba menatap sekeliling ruangan. Berharap tidak ada yang memperdulikan tingkahku barusan. Mungkin akan terasa aneh untuk dilihat apabila tingkahku tadi diamati lebih teliti. Semuanya memang hanya terlihat akting. Akting ini sama halnya kulakukan ketika pertama kali aku tahu bahwa toilet di desa ini adalah sebuah galian besar memanjang yang hanya dibatasi sekat pembatas dari kain sobek-sobek. Betapa mengenaskannya perasaanku waktu itu. Sudah menahan buang air di ubun-ubun tetapi malah terpampang oleh pemandangan orang-orang yang nampak duduk berjongkok di sana sini separuh telanjang tanpa rasa malu sedikit pun. Awalnya tubuhku kaku dengan pemandangan itu, namun lambat laun kuusahakan untuk tidak menampakkan keterkejutan yang berlebih. Aku tetap berjalan menuju jamban dengan bibir menggumamkan kata-kata yang kupikir bisa memberi sugesti yang baik terhadapku “Aku harus terbiasa...aku harus terbiasa... semuanya akan baik-baik saja... ini adalah keunikan mereka... aku tidak boleh menganggap keunikan mereka adalah sesuatu yang jelek dan menjijikkan...”
Aku mengulangi kata-kataku tersebut sambil berjalan keluar dari warung. Aroma khas hunian warung itu terasa memudar ketika aku sudah berada di depan pintu bagian luar. Di bawah sebuah tiang kayu yang papannya bergambarkan bekas poster salah satu calon kepala daerah. Aku heran termanggut-manggut ketika berusaha memikirkan hiruk pikuk pemilihan kepala daerah, di mana sang kepala daerah terpilih nantinya akan bersenang-senang dengan jabatan dan kemewahan fasilitas. Sedangkan masyarakat sebagai pemilih seperti masyarakat desa ini tetap berjuang membanting tulang sekuat tenaga hanya untuk menyambung hidup. Mencari uang untuk makan dan makan untuk mengisi energi kembali agar bisa mencari uang lagi. Sebuah siklus memilukan yang hanya akan dialami oleh sebagian orang-orang tertinggal dan terlupakan, seperti penduduk desa ini.
Aku mendongakkan kepala sedikit ke atas. Berusaha menatap langit yang terasa ikut berkabung. Langit itu tidak mendung. Hanya saja kelihatan masih muram karena sinar matahari belum menyinari awan-awan dengan sempurna. Aku pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju sekolah. Jaraknya sudah begitu dekat. Gerbang utamanya saja sudah kelihatan ketika aku baru sampai pada belokan kiri pertama dari arah warung tadi. Gerbangnya dari kejauhan nampak sangat sederhana namun rapi. Dipatok dengan seadanya supaya kayu-kayunya berjajar membentuk pagar. Pintu gerbangnya juga dibuat berbeda dari yang lain. Kedua sisi penyangganya agak ditinggikan dengan alih-alih atasan yang dibuat melengkung, tetapi lebih ke persegi.
“Ting..ting..ting...” Bunyi bel sekolahan dari kejauhan dipukul tiga kali, pertanda jam masuk kelas. Para siswa terlihat berhamburan. Mereka datang dari berbagai penjuru untuk berjejal menuju pintu gerbang utama sekolahan. Dari arah belakangku juga muncul dua orang siswa yang tiba-tiba berhenti dengan nafas yang terengah-engah. Sepatu diikatkan di leher mereka. Disampul seadanya dengan mengaitkan tali sepatu kanan dengan tali sepatu kiri. Sedangkan kaki mereka sendiri dibiarkan telanjang. Penuh lumpur dan kotoran tanah. Dua siswa ini tinggal di pedalaman pulau sekitar hutan. Jaraknya bisa empat kali lipat dari jarak rumah singgah ke sekolahan. “Selamat pagi Bapak guru...” mereka menyapaku sambil berusaha mengibaskan kucuran keringat di dahi mereka dengan lengan baju. “Pagi Stephy, Tibo.. Ayo, sebelum masuk sekolah sepatunya dipakai dulu..” Aku memerintah mereka sambil menunjuk batu di pinggir jalan yang sekiranya dapat mereka pakai untuk duduk dan selanjutnya membiarkan mereka membungkus kaki-kaki kecil mereka dengan sepatu-sepatu tak layak pakai itu.
“Apa Buni tidak masuk lagi hari ini...? Tanyaku sambil menunggu mereka mengenakan sepatu. “Tidak Bapak guru, tadi pagi ketika berangkat ke sini kami berjumpa dengan Buni di hutan, nah Buni memberitahu kami kalau hari ini dia tidak masuk sekolah lagi...padahal saya sudah beritahu kepada mama Buni agar mama Buni meminta Buni untuk sekolah, tetapi mama Buni malah marah-marah kepada kami...” Mereka bangkit tampak tak menghiraukan dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. “Ayo Bapak guru, kami sudah selesai memakai sepatu..” Aku tidak menjawab ajakan mereka, aku hanya tersenyum dan mengayunkan tanganku sebagai pertanda aku menyetujui ajakan mereka. Aku berjalan pelan. Berusaha pelan agar aku bisa mengikuti bekas tapak kaki mereka dari belakang.
Setibanya di sekolahan, Stephy dan Tibo langsung menyeruak masuk ke dalam kelas. Aku memandang mereka berlari, hingga mereka akhirnya hilang dari pandangan. Aku sendiri pun juga berbelok arah menuju ruang guru. Ruangan yang lebih sempit daripada ruang kelas siswa. Isinya tidak nampak mewah. Di pojok ruangan, terdapat sebuah lemari reyot yang terdiri dari tiga bagian rongga. Rongga tengah adalah rongga yang terbesar dan utama. Rongga ini berisi buku-buku pelajaran kusam dan beberapa kumpulan arsip siswa yang tidak tertata rapi. Rongga bagian bawahnya adalah rongga yang lebih kecil dari rongga bagian tengah. Isinya adalah peralatan-peralatan yang diperlukan untuk mengajar, seperti kapur dan penghapus. Sisanya adalah peralatan-peralatan yang sebagian besar tak kutahui fungsinya apa dan mengapa benda-benda itu diletakkan di situ. Rongga atas adalah yang paling kecil di antara semua rongga. Rongga yang selalu terkunci rapat dan tidak pernah sekali pun aku melihatnya terbuka.
Selebihnya, ruangan itu hanya berisikan satu buah meja dan tiga buah kursi. Mejanya tidak bertaplak dan berwarna coklat memudar pada bagian pinggirnya, mungkin akibat gaya gesek dari kulit lengan yang kasar. Di pinggir jendela, nampak satu-satunya barang yang kuanggap paling menarik di sini. Sebuah kalender. Menggantung dengan gagah, menampilkan pemandangan alam raja ampat. Bertuliskan “KOPERASI SIMPAN PINJAM” dengan huruf kapital tebal. Saya masih terheran-heran dengan cara kalender itu bisa sampai ke ruangan ini. Padahal jarak desa dengan koperasi yang ada di kota terdekat hampir mencapai puluhan kilometer. Itupun harus ditambah dengan menyeberangi lautan. Apakah itu hadiah dari seseorang, pikirku. Coretan dalam angka-angkanya itulah yang menyebabkan aku meragukan kalender itu milik salah seorang guru di sini. Coretan itu berisi kata-kata yang bahkan tidak dapat disamakan dengan tulisan Bapak Frans atau Ibu Teresa.
“Selamat pagi Bapak Frans, Ibu Teresa...” Aku menyapa kedua orang yang selama bertahun-tahun sudah menjadi penghuni tetap ruangan itu dengan sedikit senyuman. “Pagi Bapak guru Ranu... Wahh. Bagaimana kabarnya Bapak hari ini. Sehat kah..? Sudah kerasan kah..? Pak Frans berceloteh tentang kabarku hari ini dengan suara seraknya, sedangkan ibu Teresa terlihat sedang sibuk menulis sesuatu di samping Bapak Frans. “Baik Bapak Frans.. sepertinya saya sudah kerasan sejak pertama kali menginjakkan kaki di sini” Jawabku tersenyum sembari meletekkan tas jinjing di kursi dan mengeluarkan isinya.
“Saya ke kelas dulu Bapak Frans,...” Kata Ibu Teresa. Dia bangkit dari kursinya membawa beberapa kertas yang telah dia coreti tadi. “Mari Bapak Ranu...” dia menyapaku dengan tatapan khas penduduk sini. Yang pastinya disertai dengan senyuman. “Iya Ibu Teresa...” kubungkukkan badanku sedikit ke depan dengan maksud menghormatinya. Lalu aku kembali lagi menghadapkan pandanganku ke Bapak Frans dan siap untuk menjelaskan sesuatu kepadanya “Ow iya Bapak... Begini, saya dari kemarin sudah mengumpulkan data-data dari salah seorang siswa yang bernama Buni. Buni sudah seminggu lebih tidak masuk sekolah. Sepertinya kita perlu cari tahu apa yang menyebabkan Buni jadi jarang masuk sekolah. “ Jelasku.
“Ow masalah seperti itu tidak terlalu dipikirkan Bapak Ranu. Kita fokus saja dengan ujian semester yang akan dilakukan beberapa minggu lagi. Tidak usah mengurusi sesuatu yang kurang penting seperti itu lah“ Suara serak Bapak Frans terasa memenuhi ruangan. Aku masih terngiang memandang ekspresi wajah Bapak Frans yang kikuk disertai pandangan mata yang tidak konstan. Dia kemudian melanjutkan.. “Emm.. Begini Bapak Ranu, hal-hal semacam itu sudah sering terjadi di sini. Bahkan lama sebelum Bapak guru Ranu datang ke sini. Biasanya faktor mereka tidak mau sekolah adalah karena mereka lebih memilih untuk bekerja atau menikah. Itu adalah urusan orang tua mereka. Bukan urusan kita...” Tukasnya.
Aku terdiam sejenak. Berusaha mencerna perkataan Bapak Frans barusan. Dan sesegera mungkin berusaha menyangkal penjelasan dari guru tambun itu dengan berbagai cara “Emm..Maaf Bapak Frans, bukankah sudah menjadi kewajiban kita sebagai guru dan pendidik untuk melayani siswa-siswa yang ingin mendapatkan kesempatan belajar di sini..” Sergahku. Kemudian aku melanjutkan bicara lagi tepat ketika Bapak Frans mau mendebat omonganku “Kita orang mempunyai kesempatan yang sama dalam hal pendidikan, termasuk anak-anak yang kurang beruntung seperti Buni. Dan lagipula, saya pikir tidak semua siswa yang tidak masuk sekolah mempunyai alasan yang sama dengan apa yang telah Bapak Frans jelaskan tadi...?” hidungku kempas-kempis. Mulai merasakan tekanan darah mengalir naik ke ubun-ubun dan mau pecah.
Bapak Frans tiba-tiba berdiri dan menjadikan meja sebagai tumpuan untuk kedua tangannya yang mulai mengepal “Begini Bapak guru Ranu. Saya adalah kepala sekolah di sekolah ini. Saya orang adalah yang berhak memutuskan semuanya di sini... jadi urusan seperti itu biar saya saja yang mengurusi. Bapak Ranu tidak usah terlalu ikut campur”. Pupil Bapak Frans terlihat semakin membesar. Berusaha menekan sesuatu yang seharusnya tidak patut untuk ditampakkan. Beberapa detik kemudian, tatapan matanya terlihat melemah. pupil matanya juga terlihat menormal. Dia kembali duduk ke kursi seperti semula. Menghela nafas lega seperti baru saja melepaskan sebuah kesesakan yang memuakkan. Kedua tangannya dia tangkupkan ke muka sambil menggumamkan sesuatu.
“Maaf Bapak guru Ranu. Saya terlalu emosi. Saya hanya melakukan tugas sebagaimana mestinya dan juga agar Bapak guru Ranu tidak terlalu repot mengurusi anak itu...” dia diam sejenak untuk menghembuskan nafas panjang dan mulai menggumamkan sesuatu lagi dengan tidak jelas. Aku pun juga ikut terdiam dengan keadaan itu. Terpaut oleh medan gaya suasana sumbang yang seakan membuat segala gerak-gerikku terasa kaku dan bagai terekam oleh kamera tersembunyi di balik layar film. Menganggap bahwa setiap gerakanku adalah pemicu ledakan dahsyat yang bakal menghidupkan alarm-alarm tanda bahaya hingga suaranya terdengar seantero negeri.
Tiga detik kemudian, aku melihat sekilas pancaran muka Bapak Frans yang disertai dengan gumaman dan usapan berkali-kali telapak tangan ke mukanya sendiri. Aku menatapnya dengan sengaja karena aku pikir dengan itu aku akan bisa tanggap ketika sesuatu hal yang tak kuharapkan terjadi kepadaku. Pancaran itu seperti benar-benar menyiratkan sebuah maksud yang terpendam. Seolah-olah sedang memikirkan suatu hal dengan daya juang penuh. Mencoba mengatakan atau melakukan sesuatu untuk merubah suasana satir yang telah dia buat sendiri.
 “Ow iya Bapak guru Ranu, saya punya ini untuk Bapak guru Ranu koreksi hari minggu besok...” dia mengeluarkan setumpuk kertas berwarna putih kusam dari dalam kotak yang tepat berada di samping kiri kursinya. “Apa ini Bapak Frans..?” Aku kembali memberanikan diri untuk bertanya kepadanya. “Ini adalah hasil ulangan siswa beberapa hari yang lalu. Saya sudah koreksi sebagian, sebagian lagi belum. Nah, coba Bapak guru Ranu koreksi dulu dan nanti Senin serahkan ke saya..!” Pintanya sambil meletakkan setumpuk kertas itu tepat di atas meja yang ada di depanku.
“Emm.. Baik Bapak Frans, saya akan menyerahkan hasilnya hari Senin depan..” aku mengambil tumpukan kertas itu dengan sedikit enggan. Rasa kecewa itu masih sangat terasa. Mengingat kembali dengan apa yang telah terjadi beberapa menit yang lalu. Aku juga mulai merasa masygul, tak tahu harus berbuat apa sambil tetap menjejalkan secara perlahan tumpukan kertas ulangan siswa itu pada celah tas yang terlihat masih muat untuk diisi. Kemudian aku berdiri dan mulai memohon pamit kepada Bapak Frans untuk masuk ke dalam kelas.
Suasana kelas hari ini sangat ricuh seperti biasanya. Suara-suara itu sama seperti hari kemarin. Tak pernah ada yang sepenuhnya aku mengerti. Aku berusaha mengendalikan kelas tetapi tetap saja ada yang membangkang. Sampai-sampai aku hampir bertekad diri untuk melambungkan gagang sapu kepada mereka agar jera. Tetapi nuraniku ternyata lebih tangguh daripada emosiku yang sesaat. Aku pikir, tidak sepantasnya aku berbuat demikian kepada mereka. Sebab, aku adalah seorang yang terdidik. Sebagai seorang yang terdidik, aku seharusnya bisa menyadarkan mereka dengan cara-cara yang terdidik pula. Tidak dengan kekerasan seperti itu. Hanya saja saat ini aku masih belum bisa menemukan cara yang pas untuk memberikan pemahaman kepada mereka tentang semua ini. Tentang pendidikan yang selayaknya harus diberikan kepada generasi-generasi muda yang terlalu polos dan masih mustahil untuk bisa diberdirikan di garda paling depan bangsa sebagai barisan pejuang pembela tanah air seperti mereka.
Kelas yang kuajar hari ini adalah kelas 3 dan 4. Jumlah total siswa ada 10 orang. 6 untuk kelas 4 dan 4 untuk kelas 3. Model kelas di sekolahan ini memang dibuat kelas rangkap. Jadi total ruang kelas ada 3 kelas. Setiap ruang kelas berisi siswa dari dua kelas tingkatan. Kelas 1-2, kelas 3-4, dan kelas 5-6. Model kelas rangkap memang diterapkan di sekolahan ini karena mengingat ruang kelas yang ada tidak bisa mencukupi kuota ruang kelas yang seharusnya, yaitu 6 ruang kelas. Selain itu, siswa sekolahan ini juga tidaklah banyak. Total siswa dari kelas 1-6 pada tahun pelajaran ini saja hanya berjumlah 19 orang siswa. Hal ini dapat diartikan bahwa kemauan dan kesempatan pendidikan bagi masyarakat desa ini masih tergolong rendah. Mengingat laju pertumbuhan sumber daya manusia dan persaingan global di luar sana yang semakin meningkat.
Waktu mengajar terus bergulir. Aku memberikan pelajaran tentang matematika dasar untuk kelas 4 dan pelajaram membaca untuk kelas 3. Aku memberikan pelajaran itu kepada mereka dengan sedapatnya, karena aku sendiri memang bukanlah lulusan dari tenaga pendidik untuk tingkatan sekolah dasar yang memiliki bekal ilmu-ilmu tertentu. Aku adalah seorang konselor. Yang kupegang teguh di sini hanyalah sebuah niat yang ikhlas untuk berbagi ilmu dan usaha bantuan untuk permasalahan mereka. Selebihnya adalah tekad semampuku dan sekuat tenaga. Tetapi sejauh ini respon mereka adalah baik. Dan hal ini membuatku semakin semangat untuk menarik mereka terbang melesat menembus batas garis-garis kehidupan dengan mengendarai sesuatu yang aku sebut sebagai ilmu pengetahuan dan imajinasi. Menembus batas-batas relativitas tentang gerak ruang dan waktu, dimana kita tidak hanya terpaku pada kejadian saat ini saja, melainkan  juga kejadian akan masa lalu dan masa depan yang telah dan akan kita alami...
.........
Jam-jam di kelas bersama siswa akhirnya berlalu dengan sendirinya. Dan tanpa terasa waktu yang kulalui bersama mereka sudah cukup lama hingga membuat mataharipun sekarang sudah bergeser sedikit condong ke arah barat. Pertanda lazim bahwa hari sudah mulai sore. Setelah para siswa berhamburan pulang dan aku telah berhasil membereskan kursi-kursi dan meja kelas yang berantakan, aku langsung bersiap diri untuk pulang menuju rumah singgah. Tapi sebelum itu, aku mampir sebentar ke ruang guru untuk berpamitan kepada Bapak Frans dan Ibu Teresa yang juga terlihat sedang bersiap diri untuk meninggalkan sekolahan.
Di sepanjang perjalanan ke rumah singgah aku memikirkan berbagai kenangan tentang hari ini. Tentang hari ini adalah hari yang melelahkan. Dan probabilitasnya memang selalu begitu. Hari dimana aku harus mempunyai masalah dengan orang lain dan hari dimana aku harus bersabar dengan ulah orang lain. Tetapi di luar itu semua, hari ini aku juga menemukan sebuah kunci dari awal perjalananku di tempat ini. Awal yang kumaksud adalah awal yang baik untuk suatu hal yang baik. Awal yang baik tentang Buni. Seseorang yang baru tiga kali aku jumpai. Tentang sosok gadis cilik periang dengan barisan gigi-gigi ompongnya dan tas ranselnya yang compang-camping. Tentang sosok gadis cilik yang hari-hari lalu kukenal sebagai gadis pemberani dan penuh semangat baja. Yang kemudian saat ini semangat dan keberaniannya kurasakan telah hilang bersamaan dengan waktu yang telah berlalu begitu saja. Hilang tertelan gejolak kehidupan masyarakat yang termarjinalisasi oleh aturan mereka sendiri.
Buni. Dimana kau sekarang Nak...? Sepertinya aku harus segera menyiapkan segala sesuatunya untuk mulai mencarimu. Berharap kaki-kaki kecilmu berayun-ayun di bawah dahan yang rindang di puncak bukit di atas sana. Menatap jauh ke depan, ke hamparan laut biru yang penuh dengan tantangan. Bersiap diri akan segala sesuatu yang bakal menerjang. Hingga akhirnya engkau bisa berpijak pada kaki sendiri dan terbang menggunakan sayap-sayap ajaib yang akan engkau rangkai sendiri. Buni adalah cermin generasi masa depan yang sangat disayangkan untuk dibiarkan bersinar sendiri tanpa arahan. Sama halnya dengan ribuan anak di Indonesia yang mungkin saat ini belum bisa merasakan sentuhan akan pendidikan. Yang mereka tidak tahu pasti akan menawannya dunia ini dengan pendidikan dan segala ilmu pengetahuannya. Pendidikan untuk semesta peradaban manusia yang lebih baik.


To be continued...  ~25 Maret 2015~
Tidak ada komentar

Tidak ada komentar :

Posting Komentar