Kisah Tentang Rindu

“Kisah Tentang Rindu-The Story of Longing“

Ia adalah bahagia. Kala itu, guratan langit senja nampak di langit sebelah barat. Pelan dan perlahan. Mengubah cahaya dalam keremangan. Angin meliuk-liuk di sekitar lembah. Hari yang begitu damai dan sunyi. Ia datang dengan senyuman. Wajahnya mengiaskan kebahagiaan mendalam. Ia membawa tas ransel di punggungnya, sambil sesekali memegangi jam tangan kelabu di tangan kirinya. Wajahnya cerah, mengubah suasana senja menjadi sedikit merona. Hatiku damai. Membayangkan ia duduk disampingku, bercerita tentang sesuatu yang tak seharusnya diceritakan. Mengisahkan dongeng-dongeng waktu kecil yang terdengar agak bodoh. Atau bercerita tentang rasa ini yang mulai bersemi tanpa layu.
Harum. Kemudian aku merasakan keharuman yang memekat. Di dadanya, kudengar detak jantungku sendiri. Hingga senja pun, kini telah menjadi gulita. Aku tetap berada dalam dekapannya. Dari harum kini menjadi hangat. Aku merasakan kehangatan langit sore. Langit merah jambu yang pernah menemaniku beberapa saat lalu. Ketika semua orang pergi dan datang hilir mudik tanpa bisa menghampiri. Pekikan burung camar lalu mencuat. Mengisahkan tentang samudera yang selalu didera ombak. Menggambarkan palung-palung dalam yang tak pernah menerima cahaya. Tak tahu harus berbuat apa. Tak tahu harus berkata apa. Seperti itulah rasaku saat ini. Rasa kasih yang datang dengan tidak perlahan. Hingga aku pun terasa takut untuk menyentuh jantungku. Takut membayangkan dentuman nadi hanya akan memutar waktu. Waktu yang hanya akan meninggalkan kisah dan memoar tentang kita.
Tubuhku terasa penuh. Tak tahan menahan rasa yang begitu besar. Aku merindukannya dalam lalu lalang orang di batas kota. Berharap ia muncul lagi seperti dulu. Membawakan senyumannya tanpa henti. Melambaikan tangan kuatnya kepadaku. Mengajakku menari dalam gelak tawa dan membawaku melesat dalam kerumunan cahaya. Aku merindukannya saat aku terjatuh. Aku mengingatnya saat aku tersenyum. Dan aku merasakan kehadirannya saat aku hanya sendiri.
Dan tak terasa, rasa itu kini telah menyatu dengan diri. Rasa itu adalah nyawa. Nyawa yang terisi kala ia menyentuhku dalam doa. Nyawa yang akan tetap ada meskipun ragaku sudah tiada. Entah, sejak kapan rasa ini mulai meradang. Melambungkan letupan air dengan rona merahnya,. Mengalir deras dalam tubuh yang penuh nestapa. Ialah darah yang bergejolak penuh hasrat. Hingga jantungku dibuatnya berdebar, bergetar, penuh makna, dan penuh warna. Warna yang merubah potret masa lalu yang kelam menjadi panorama alam yang menyejukkan. Oh engkau yang ada di sana. Apakah engkau masih mendengar aku? Apakah engkau masih mengingat aku? Apakah engkau masih sama seperti yang dulu? Dan apakah engkau masih memendam rasa yang selama ini kita diamkan?
Fajar kemudian tiba. Akupun mulai berjalan perlahan, menapaki langit kering yang begitu cerah. Bersama kicauan burung pipit yang berdecit melewati kabel listrik yang tertempa cahaya. Membayangkan wajahnya dalam kerumunan awan yang menggumul. Tapi langit pagi itu bagaikan teluk. Biru jernih tanpa riak air. Hanya terlihat beberapa noda putih dibagian sudutnya. Lalu aku melihat orang-orang di kejauhan. Sedang berlari dan bergandeng tangan. Dan aku pun teringat kembali pada masa-masa itu. Masa disaat aku sering bersamanya, melihat bahu dan lengannya, meskipun tanpa ada tangan yang saling memegang.
Setelah itu, aku merasa sepi, sendiri. Tak kuat menahan rindu yang kian menggebu. Suara-suara dikepalaku mulai terngiang. Bagai ombak di musim penghujan yang memecah karang. Rindu. Rindu ini adalah engkau. Salahkah aku jika merindukan engkau? Padahal purnama pun juga tahu, bahwa kita adalah dua musim yang berbeda. Dua musim yang sama melalui waktu, namun dengan kisah yang mungkin tak bisa menyatu. Semusim. Aku membayangkan kita dalam cerita semusim. Tapi yang ada adalah dua musim, tiga musim, bahkan empat musim. Pergantian musim kian beradu. Tak mengenal lelah dan terus melaju. Waktu ini aku adalah musim panas, sedangkan engkau adalah musim dingin. Kemarin aku musim gugur dan engkau adalah musim semi. Begitulah kehidupan. Berputar dan bergulir. Membawa kenangan dan angan, ke dalam jutaan tanda tanya besar dalam hadapan.
Cerita terus berputar. Melewati batas-batas asa dan harapan. Aku tetap diam, berpijak dengan kaki yang mulai lelah. Setelah berhari-hari mengejar bayangmu, di kala matahari lelah memuncak. Aku duduk di bawah pohon rindang, dengan dahannya yang begitu kuat. Menapaki fatamorgana rumput–rumput kering bunga lili liar dari kejauhan. Panas hari, lalu merogoh kulit. Memaksa keringat keluar dan kemudian menguap. Hingga embun pagi pun terasa enggan untuk menetes dalam resapan.
Wahai Tuhan, apa arti semua ini? Bagaimana aku harus bersikap? Bagaimana aku harus berbuat? Aku menjalani hari tanpa kenangan, menapaki kerikil tanpa alasan, membasuh dahaga tanpa balasan. Aku merasa hampa. Apakah engkau mendengar doaku ya Tuhan? Aku merasa sedih dan aku juga merasa lelah. Aku tertatih, tersandung, dan terjungkal. Sendiri...tanpa bayangnya. Kutangkupkan kedua tanganku. Kurasakan hela nafasku. Perlahan, namun pasti. Aku bisa melihat, mendengar, dan aku merasa, keadaan diriku, dan dunia sekitarku. Semuanya berputar, terus berputar. Bak rotasi. Ritmenya tetap, namun tanpa suara, tanpa iringan. Sekejap kemudian aku kembali terjaga. Kutatap langit, yang kurasa semakin meluas. Kulihat parasmu, dalam jutaan bintang, yang menjamur dan berangkaian, melukiskan rasi-rasi.
Lembaran kisah ini sungguh pilu. Kisah drama penuh satir. Aku tertawa dalam diam. Menangis dalam riang.  Kepada siapa aku harus mengadu? Tak seorang pun tahu dan tak seorang pun mengerti. Kisah ini adalah drama, yang lahir di dalam drama. Ialah silokui Shakespare. Bedanya ini adalah nyata. Tak ada reka ulang, tak ada skenario. Cinta, kehidupan, dan kematian, saling berkejaran. Dialah yang memiliki cinta, tapi dekat dengan kematian. Dialah yang memiliki kehidupan, tetapi jauh dari cinta. Dialah yang memiliki kematian, pastilah sirna oleh kehidupan.
Sepercik kemudian aku mengingatmu lagi. Ketika berkendara dalam taman berangin. Waktu itu adalah siang. Siang yang cukup panas untuk tetap dikenang. Aku melewati perkebunan hijau yang cukup subur. Ditumbuhi sayur mayur dengan keharuman pupuk. Aku memandang langit dengan mata tersipit. Kulihat cahaya dibalik dedaunan. Terasa indah dan penuh deruan. Kemudian aku melewati jajaran pinus. Daunnya hijau,  tegak berdiri. Aku bersamanya, melewati dengan riang. Tak ada kata yang sanggup kuucap, selain cinta dan cinta. Cintanya kepadaku dan cintaku kepadanya. Dua rasa yang saling beradu. Menghadirkan kehidupan dengan berjuta keindahan.
Kukisahkan lagi kala musim penghujan tiba. Ketika itu, ia dan aku belum begitu mengenal. Kita berdua berdiri dengan saling berhadapan. Aku dengan duniaku dan ia dengan dunianya. Aku dengan gedung warna biru dan ia dengan gedung warna kelabu. Saat itu, hujan jatuh dengan deras. Hingga harum baunya tak tercium oleh hujan. Pun juga aku. Dunia kita tak begitu sama. Lalu mengingat itu, hatiku perih. Perih mengenang masa-masa yang tak begitu kukenal. Aku menangis dalam tidur. Tanpa hangat dan harum tubuh moleknya. Hingga hari-hari yang lalu, senyumnya samar kulihat, dalam pejam mataku dan gelap cahayaku.
Tuhan, hari ini aku mengadu. Mengadu kepada-Mu, bukan kepada makhluk-Mu. Hanya Engkaulah yang bisa mendengar, hanya Engkaulah yang bisa merasa, dan hanya Engkaulah yang lebih tahu dari siapapun yang Maha Tahu. Aku butuh Engkau. Tak ada siapapun yang rela mendengar jeritku selain Engkau, Sang Maha Pemurah dan Maha Mendengar. Aku takut dan aku selalu takut. Waktu ini cepat berlalu, sedangkan dentingan waktu bukanlah aku yang Maha Tahu. Aku tak bisa membayangkan, masa depanku tanpa dirinya. Aku tak bisa membayangkan, gelapku tanpa hadirnya. Aku sungguh takut. Takut hari esok hanya akan berbuah sisa. Sisa hidup saat ini yang terukir manis dalam dada. Kemudian cemas, menjalar ke seluruh tubuh. Membahasi badan dengan keringat dinginnya. Ketakutan ini telah meremukkanku. Ketakutan ini telah melumpuhkanku. Kurasa, rindu ini tak punya ujung. Rindu ini semu belaka. Kemudian aku teringat masa kecilku. Masa-masa yang penuh dengan goresan tinta dan gelak tawa. Apakah aku merindukan masa kecilku? Dengan lantang aku menjawab “iya..”  Aku merindukan kaki kecilku yang dulu, tangan kecilku yang dulu, dan gigi ompongku yang dulu. Waktu itu aku tak mengenal rindu. Aku hanya mengenal tawa dan juga tangis. Namun apa daya, bumi terus berputar, bintangpun juga terus berpijar. Tak ada langkah yang sebegitu goyahnya dalam menakhlukan masa. Hingga pasang surutnya laut pun sudah menjadi biasa. Siang begitu panas dan malam begitu dingin. Begitulah kehidupan.

Lalu siang merebah menjadi malam. Malam yang kurasa begitu damai. Hingga angin pun terasa lirih untuk mendengung. Jantungku berdetak dengan lembut.  Rindu? Pantaskah aku terlalu merindukan hamba-Mu, hingga aku harus mengabaikan-Mu? Pantaskah aku harus memikirkannya setiap hari, tanpa sedikitpun harus memikirkan perasaan-Mu? Nyatanya, aku hanyalah seorang hamba. Hamba yang diciptakan oleh-Mu agar aku bisa berbakti kepada-Mu. Kurasa, ini adalah petunjuk yang benar. Benar untukku agar aku selalu mengingat-Mu, dalam siang dan malam, dan dalam suka maupun duka. Tanpa harus berpikiran lagi, untuk dapat menduakan-Mu, dengan hamba-hamba-Mu yang lain di dunia ini.
Tidak ada komentar

Tidak ada komentar :

Posting Komentar