Review Film Joy (2015)
“Menyentuh Imajinasi
Lewat Ambisi ”

“Orang hanya
melihat satu kesuksesan, padahal saya melihat 5000 kegagalan” ~Thomas Alva Edison.
Kunci sukses nyatanya tidak hanya merujuk pada
hasil, tetapi lebih ke dalam proses. Terkadang orang awam mengelu-elukan
kesuksesan seseorang karena orang tersebut telah tampil dihadapan publik
sebagai sosok yang sukses, padahal mereka tidak tahu bagaimana perjuangan
orang-orang sukses dalam mencapai kesuksesannya. Orang-orang benci pada ulat
padahal kupu-kupu adalah hasil perjuangan dari metamorphosis ulat.
Kehadiran
film ini diilhami pula oleh kisah yang menunjukkan bahwa kesuksesan itu tak
segampang membalikkan telapak tangan. Niat dan usaha saja, rasanya tak cukup
untuk menjadikan sebuah hasil perjuangan dikatakan sebagai ‘kesuksesan’. Perlu
keberanian, keuletan, mental
baja, serta tindakan-tindakan cerdik sebagaimana perjalanan Joy dalam film pasang
surut kehidupan berbisnis yang terlalu sayang untuk Anda lewatkan.
Di ceritakan secara flashback oleh sang nenek dari Joy yang diperankan oleh Diane Ladd,
bahwa sejak kecil Joy merupakan seorang anak yang penuh dengan ide dan
penemuan. Ia mampu membuat mainannya sendiri dari kertas kemudian memainkannya
dengan sentuhan imajinasi. Namun seiring berjalannya waktu dan bertambahnya
usia, Joy tidak lagi melakukan penemuan karena tenggelam oleh urusan rumah
tangganya yang kian merumit. Bermula dari dongeng yang ia ceritakan pada
anaknya tentang conggeret yang mampu hidup
terpendam
di tanah dalam kurun waktu 17 tahun, ia
seakan ikut membayangkan kehidupan 17
tahun terakhirnya yang penuh dengan kesia-siaan.
Joy
yang diperankan oleh aktris cantik Jennifer Lawrence berasal dari keluarga broken home yang ketika dewasa menikah
dengan Tony (Edgar Ramirez)–orang yang ia temui dalam kelas musik teman masa
kecilnya, Jackie (Dascha Polanco). Dari pernikahannya dengan Tony ia memiliki
dua orang anak bernama Cristy dan Tommy.
Joy mempunyai saudari tiri—Peggy (Elisabeth Rohm)—dari pernikahan
pertama ayahnya. Dikisahkan bahwa Joy dan Peggy tidak begitu akur, apalagi
dalam urusan bisnis. Ibu Joy—Terry—yang diperankan oleh Virginia Madsen adalah
pecandu sinetron opera sabun. Semenjak perceraian dengan suaminya, ia selalu menghabiskan
waktunya di kamar tidur untuk melihat sinetron, sedangkan ayahnya, Rudy (Robert
De Niro) adalah pemilik bengkel “Rudy’s Truck and Auto Body” yang telah menikah
dengan perempuan lain,
kemudian kembali lagi tinggal bersama Joy setelah dibuang oleh istri barunya.
Sebagai
seorang single parent, Joy berusaha sekuat tenaga memenuhi kebutuhan
keluarga kecilnya. Ibu yang tidak bekerja, dua anak manis dari pernikahannya, sang
nenek, ayah yang temperamen, serta mantan suami yang tinggal di basement merupakan
bagian dari realita kehidupannya
saat ini. Ia bekerja
sebagai staff karyawan di sebuah armada
penerbangan. Namun pekerjaan yang ia lakukan paruh waktu tersebut nyatanya tak jua
memberikannya peluang untuk dapat bertahan dari PHK. Hingga akhirnya, ia harus terjun
ke bengkel milik ayahnya untuk ikut mengurusi pembukuan.
Pada
suatu hari di musim panas, ia diajak oleh Trudy (Isabella Rossellini)—pacar baru
ayahnya—berlayar menggunakan kapal mewah ‘Morris’ bersama Tony, Peggy, dan
ayahnya. Celakanya, geladak kapal ini terbuat dari kayu jati, sedangkan
pantangannya tak ada yang boleh membawa minuman anggur jenis apapun ke atas
kapal—sebab zat
kimia yang terkandung dalam anggur dapat mempercepat pelapukan Jati. Entah
karena kebetulan atau memang takdir, Tony tiba-tiba datang dengan sekotak besar
berisi anggur merah dan sewaktu pesta berlangsung segelas anggur meluncur jatuh
ke geladak dan berakibat pada tangan Joy yang tersayat pecahan gelas saat
mencoba mengepelnya.
Siapa
yang menyangka dari rasa sakit yang dirasakan sewaktu tersayat, Joy mulai memikirkan
ide bagaimana cara mengepel tanpa bersentuhan langsung dengan air, kotoran,
atau bahkan pecahan kaca. Seketika, menggunakan spidol milik anaknya, ia
memulai membuat sketsa imajinasi sebuah pel yang kemudian ia beri nama “Miracle
Pop” –Pel Ajaib. Mungkin terdengar sepele, sebuah alat pel yang notabene
setiap keluarga pasti memilikinya meski hanya sekadar sebagai penghias gudang. Namun kisah yang dibeberkan dalam
film ini sejatinya bukan hanya sebatas ‘alat
pel’ saja. Jelasnya, takkan ada ‘alat pel’ tanpa si pembuat. Alat pel akan
tetap menjadi alat pel dengan segenap fungsinya jika tak memiliki esensi,
sedangkan esensi yang sebenarnya bukan terletak pada alat pel itu sendiri,
melainkan pada bagaimana proses terbentuknya alat pel sehingga memberikan efek
menakjubkan bagi dunia—khususnya dalam bidang industri rumah tangga.
Film
garapan sutradara David O Rossell ini akan menghadirkan sebuah drama renyah yang
diambil dari kisah nyata Joy
Mongano dengan dominasi
unsur komedi inspiratif. Keseriusannya dalam penggarapan film juga nampak pada artis
papan atas Hollywood yang ia gandeng seperti Jennifer Lawrence, Bradley Cooper,
dan Robert DeNiro. Adegan-adegan jenaka yang diselingi kisah pilu kehidupan rumah
tangga dan upaya banting tulang Joy dalam menjual karyanya bagaikan rentetan roller
coaster. Apalagi akting Jennifer Lawrence—yang namanya melejit setelah menjadi pemeran utama
dalam film serial Hunger Games—begitu ambisius, ulet, pantang menyerah, dan
tegas seakan-akan mencerminkan watak dan kepribadian para tokoh sukses dunia. Artis
yang menyabet piala Oscar tahun 2012 sebagai aktris terbaik ini memang sudah
jagonya akting. Debutnya dalam film ‘Joy’ juga merupakan kali keempat ia beradu akting dengan Bradley
Cooper setelah sebelumnya sama-sama menjadi pemeran utama dalam Silver Linings
Books, Serena, dan American Hustle.
Alur
cerita ‘Joy’ memang berakhir dengan kesan menggugah dengan instrumen musik yang
pas. Meski di beberapa bagian, Russel tampak memaksakan adegan hingga berujung
‘miss’. Ia juga membuat narasi Diane Ladd—sang nenek—timbul tenggelam di
sepanjang film bahkan setelah kematian sang nenek.
Albert
Enstein pernah mengatakan bahwa imajinasi itu lebih penting daripada (sekadar) pengetahuan.
Nampaknya hal ini begitu menggelitik kesadaran kita akan kekuatan istimewa yang
terdapat dalam diri setiap individu tersebut. Kita sebenarnya punya kekuatan
itu, hanya saja terkadang kita memilih untuk berimajinasi dalam diam. Padahal maksud
‘imajinasi’ Einstein tidak sebatas konseptual saja, namun juga perlu diimbangi dengan
aplikasi praktis sebagaimana teori relativitas yang ia temukan. Ibarat sebuah kendaraan,
imajinasi adalah tujuan yang akan ditempuh, lalu kita sebagai subjek (yang
terdiri atas unsur bergerak—badan—dan unsur kognitif afektif—jiwa) adalah pengemudi
sekaligus kendaraannya. Agar kendaraan dapat bergerak melaju maka perlu diisi bahan
bakar yang berupa ambisi. Dalam analogi ini, Joy telah bersusah payah menjalankankan
kendaraannya dan Russel sebagai sang sutradara akan mengisahkan kembali perjalanan
tersebut dalam film berdurasi 124 menit ini. Selamat menyaksikan. J
No similar posts
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar