Membunuh Kebenaran
Penulis : Harper Lee
Tebal : 396 halaman
Penerbit : Qanita
“Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga
kau melihat segala sesuatu dari sudut
pandangnya … hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan
caranya.” –Harper Lee dalam To Kill a Mockingbird
Awal saya menemukan novel ini di toko buku, saya kira ceritanya tentang komplotan anak kecil bandel yang senang berburu burung. Namun setelah saya mencoba cek spoiler- nya di internet, ternyata ini bukanlah sebuah novel anak yang mengisahkan tentang burung-burung, melainkan sebuah mahakarya luar biasa tentang betapa rakusnya manusia memboikot sesama manusia lainnya. Sebuah kisah yang benar-benar bakal menyentuh hati bagi pembaca yang membenci ketidakadilan. “To Killl Mockingbird” adalah sebuah novel fenomenal karya Harper Lee yang telah memenangi Pulitzer Prize. Novel dengan label “must read” bagi remaja dan orang tua karena penuh keteladanan.
Kisah dalam novel ini berawal dari sebuah keluarga kecil di Maycomb
Country yang terdiri
atas seorang pengacara lokal bernama Atticus Finch beserta kedua
anaknya—Jean Louise Finch (Scout) dan Jeremy Atticus Finch. Tersebutlah juga
sosok Arthur “Boo” Radley sebagai sosok kunci nan misterius dari rangkaian cerita yang
akan dikisahkan dalam novel ini. Dari generasi ke generasi, citra keluarga
Radley memang dapat dikatakan tidak baik atau bahkan cenderung aneh. Mereka
tidak pernah ke gereja dan lebih memilih menutup diri dari sekitar. Jarang atau
bahkan tak pernah ditemui Mrs. Radley duduk-duduk di beranda menggosipkan gaya
rambut terbaru sambil minum teh dengan para tetangga. Mr. Radley—suaminya—pun
juga seorang “pembeli kapas”—istilah
yang sopan untuk pengangguran. Pekarangan rumah mereka ditumbuhi kacang pecan
liar yang menurut desas-desusnya beracun. Sepanjang hidup Scout dan Jem sampai
saat itu, semua hal tentang keluarga Radley tak lebih dari sekadar mitos.
Scout adalah gadis kecil yang cerdas, pemberani, serba ingin
tahu, dan agak tomboy. Ia lebih senang memakai kemeja dan overall pria daripada rok dan kamisol serta lebih memilih menghabiskan waktu dengan kakaknya daripada harus membantu memasak
di dapur. Menjadi anak bungsu dari keluarga yang cukup terpandang, nyatanya
tidak serta merta membuatnya menjadi seorang gadis yang bermanja-manja kepada sang ayah. Terkadang ia
malah membenci Atticus dengan segala keputusannya. Kakaknya—Jem—adalah anak
laki-laki berummur 10 tahun yang sedang beranjak remaja. Terkadang perilaku
kekanak-kanakannya masih nampak dalam setiap keputusan yang ia ambil dalam
permainan, marah tanpa alasan jelas kepada Scout, dan berbohong kepada Atticus
tentang rencana gilanya. Terkadang pula ia berusaha untuk menjadi lelaki
terhormat, menjaga adiknya, dan berjalan tegak dengan pandangan ke depan, persis
seperti yang Atticus lakukan.
Scout dan Jem memiliki sahabat yang datang dari Meridian—Mississippi, bernama Dill Harris. Dill sedang melewatkan liburan musim panas
bersama bibinya—Miss Rachel—di Maycomb. Semenjak kedatangannya, Scout dan Jem
menjadi jarang di rumah. Mereka lebih sering menghabiskan waktu di
pekarangan keluarga Radley dengan harapan
dapat mengusik keluarga itu. Pernah suatu ketika Scout menggelinding
berputar-putar dalam sebuah ban dan terjungkal tepat di depan tangga pintu utama Radley house. Pada saat dunianya sedang
berputar, perutnya mual dan ia mendengar kikikan samar yang berasal dari rumah menyeramkan itu. Dan yaa.. Kejadian tersebut benar-benar membuatnya takut setengah mati.
Keluarga Atticus memiliki pembantu seorang
Afro Amerika bernama Calipurnia. Menurut Atticus, di samping mengurusi segala
macam urusan rumah tangga, Cal juga memenuhi kebutuhan sosok ibu bagi Jem dan
Scout saking ketulusannya begitu besar dalam merawat mereka. Atticus memang tak
pernah pandang bulu dalam menilai kebaikan seseorang, meskipun orang tersebut
adalah seorang nigger—kulit hitam. Atticus
adalah sosok lelaki egaliter yang sangat patut dijadikan teladan, baik dari
segi profesional maupun dari segi figur seorang ayah. Atticus merupakan cerminan orang tua demokrat yang
humanis dan seorang
profesional yang taat pada aturan. Ia adalah
tipe orang yang lebih memilih duduk manis membaca surat kabar daripada harus
menghabiskan waktu untuk kegiatan lain yang dirasa kurang bermanfaat. Semua paradigma dalam bingkai kehidupannya
tercermin dalam sikapnya yang selalu bersahaja dan rendah hati. Tak pernah
sekali pun ditemui ia mengucapkan kata-kata kasar dan terjun dalam sebuah
percekcokan dengan tetangga. Seburuk apapun perkataan mereka, Atticus memandang
bahwa semua itu memang hak mereka untuk berbicara dan berpendapat.
Sebagai seorang pengacara di kota kecil,
Atticus juga tak dapat terlalu memaksakan diri untuk merahasiakan setiap
masalah dari kliennya, meskipun nurani dan etika sebagai pengacara sangat
membatasi perihal tersebut. Masalah-masalah itu bagaikan asap yang telah
membaur dengan sudut-sudut tanah Maycomb, menyeruak ke dalam akar-akarnya, dan
menumbuhkan “wabah” baru di antara penduduknya. Sebagian menampakkan diri
secara nyata namun sebagian lagi memilih diam, tak acuh, dan lebih senang menjadi
penonton. Kemudian satu di antara wabah itu terangkat ke permukaan, merubah kehidupan
keluarga Atticus yang semula baik-baik saja dan terpandang sebagai keluarga
terhormat di tanah Maycomb menjadi bahan gunjingan ketika pihak pengadilan
memintanya membela sebuah kasus. Kasus yang menghadirkan enigma baru dari
sebuah tanda tanya besar tentang keberadaan nurani dalam jiwa manusia. Anak
gadis keluarga Ewell—Mayella Violet Ewell—dilaporkan telah dipukul dan
dilecehkan secara seksual oleh seorang kulit hitam bernama Tom Robinson.
Peristiwa tersebut benar-benar membuat geger penduduk Maycomb. Keluarga Ewell adalah
keluarga kulit putih, kasar, dan tak berpendidikan yang tinggal di sebuah
lingkungan kumuh di tepian kota, sedangkan Tom Robinson adalah seorang keturunan
negro yang sejak berdirinya Maycomb, segala hal tentang nigger selalu dikaitkan dengan kerusuhan dan kejahatan. Massa
terbelah ke dalam dua pihak, namun tidak dengan Atticus. Ia akan membela
Robinson, meski ia tahu resiko dari keputusannya mungkin lebih menakutkan dari
kelihatannya. Sebab ancaman itu berasal dari kaumnya sendiri yang kini tengah
dibutakan dengan dinding tebal dalam beton-beton prejudice.
Jem dan Scout ikut merasakan kegentingan
yang menimpa sang ayah dan keluarganya. Malam-malam terakhir sebelum
persidangan musim panas yang akan datang adalah malam-malam yang paling
mencekam bagi mereka. Di tambah dengan kehadiran adik
Atticus—bibi Alexandria— dari Finch’s Landing yang datang untuk menetap juga semakin memperkeruh keadaaan. Bibi Alexandria adalah sosok yang
kaku dan dingin bagaikan puncak Everest. Kebiasaannya mengoceh tentang keluarga
Finch yang terhormat membuat Jem dan Scout semakin tersiksa berada di rumah. Cemoohan
demi cemoohan pun lambat laun juga mulai bermunculan dari para tetangga. Suatu
siang, Jem dan Scout sedang melewati pekarangan Mrs. Dubose. Sebuah sapaan yang
dilontarkan Mrs. Dubose dengan muka tak bersahabat berujung pada kelemahan Jem dalam
mempertahankan fase moralitas sebagai lelaki terhormat. Mrs. Dubose mengatakan
bahwa Atticus pecinta nigger dan
kehidupannya yang juga memang mirip dengan “sampah-sampah” itu. Jem pun
membalas ketakbiadaban perkataan Mrs. Dubose dengan merusak kuncup-kuncup semak
kamelianya. Atticus mengetahui hal tersebut dan apa yang sebelumnya menurut Jem
benar ternyata tidak sejalan dengan pemikiran sang ayah. Alhasil, Jem pun diberi
hukuman untuk membacakan cerita selama beberapa minggu oleh Mrs. Dubose. Jem
membacakan novel Ivanhoe karya
sastrawan Skotlandia—Sir Walter Scott—dalam ruangan mengerikan bersama Mrs.
Dubose yang terbaring kaku dan tak kalah mengerikannya. Mulut wanita itu penuh
dengan liur dengan lidah yang menari-menari. Suaranya ketika mendengkur bahkan
terasa aneh teredam dalam mulut keriputnya.
Hukuman yang menakutkan itu berakhir pilu saat bunyi jam beker penanda
tugas telah selesai tak pernah berbunyi lagi. Hari dimana hukuman yang terasa
menakutkan menjadi hari-hari yang bakal dinanti dan dirindukan. Sebuah kotak permen
hadiah terakhir dari Mrs. Dubose diterima Jem. Kotak itu berisikan setangkai Snow-in-the-Mountain—kamelia putih—yang
dikelilingi gumpalan kapas lembab. Sebuah pemberian perempuan tua berpenyakit
yang menurut Atticus adalah perempuan paling pemberani—sangat bertolakbelakang
dengan umpatan-umpatan yang dilontarkan Mrs. Dubose kepadanya.
Sebenarnya dalam rentetan peristiwa ini, Atticus bisa saja melepaskan kasus Robinson
dengan mudah dan tetap
mempertahankan status nenek moyang keluarga Finch sebagai keluarga terpandang
dan terhormat di seantero Maycomb. Tetapi nyatanya ia malah berkehendak lain. Menurut Atticus, kasus ini bukanlah sebatas
pembelaan kaum nigger saja, melainkan
juga sebuah prinsip hidup dan tanggung jawab yang harus ia tanamkan pula pada
kedua anaknya. “Kasus ini menyangkut hakikat nurani manusia—Scout, tak ada gunanya aku
pergi ke gereja dan beribadat kepada Tuhan kalau aku tidak mencoba menolong
dia.” Kata Atticus dalam kebimbangan dan kecemasan Scout.
***
Setting waktu yang diangkat Lee dalam kisah ini adalah
tahun 1930-an. Di mana pada masa itu, Amerika memang sedang diselimuti oleh bayang-bayang
racial segregation yang parah.
Rasisme kulit putih terhadap kulit hitam berlangsung secara masif bagaikan awan
hitam berkabung yang melingkupi langit-langit Maycomb dan Amerika. Sebuah masa
yang cocok diusung untuk membeberkan kebobrokan jiwa manusia dengan
egosentrisnya yang angkuh. Sebuah masa yang membutakan mata hati manusia dalam
tirani agung prasangka. Sebuah masa yang menghidupkan pemahaman Scout kecil
tentang kehidupan dalam artian benar dan salah, hitam dan putih, dan area di
antara mereka (grey area). Grey area adalah simbol dari konformitas
yang tertendensi pada pengaruh paling kuat dalam sebuah kelompok. Jika benar
adalah putih dan salah adalah hitam, maka abu-abu adalah sebuah keragu-raguan,
kekuatan yang rapuh, dan kelemahan yang memihak.
Lee menggunakan sudut pandang orang pertama lewat peran Scout untuk menguliti
setiap tokohnya. Bahasa yang digunakan pun juga cenderung ringan dan diselingi humor,
meski tema yang diangkat sangat berbobot karena berkaitan dengan konflik
rasial. Dari awal bab, ia sengaja mengajak pembaca menerka-nerka misteri
tentang tokoh “Boo” Radley secara buta. Siapa sebenarnya dia? Apa tujuan
penulis menghadirkan tokoh seperti dia? Apakah
dia benar-benar menakutkan seperti yang Scout bayangkan ? Atau apakah dia memang
BENAR-BENAR ADA? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan terus terngiang dalam
pikiran pembaca hingga Lee membelotkan cerita menuju peliknya kasus Robinson. Lewat
pemikirannya yang tajam, Lee telah memintal sebuah cerita dengan benang merah yang
rapi dan penuh kehati-hatian.
***
Judul yang memikat, Lee hadirkan dengan
konsep fenomenologis. Mockingbird—burung
yang menyimbolkan arti sebuah keharmonisan dan tak bersalah. Ia adalah sejenis
burung murray yang senang mendengungkan suara emasnya tanpa mengusik ketenangan
yang lain. Dalam kisah ini, ia merepresentasikan sosok Boo Radley sekaligus Tom
Robinson. Dua tokoh yang menjadi tumbal nafsu kolektif pada era dimana Scout hidup.
Kemudian Lee membeberkan fakta bahwa dalam kehidupan, terkadang kita lebih sering
dihadapkan oleh kenyataan-kenyataan semu di balik propaganda prasangka.
Kenyataan yang membuat diri kita terayun-ayun dalam realita tak kasat mata, membenarkan
sesuatu yang belum tentu benar atau membenci hanya karena itu tampak pantas untuk
dibenci. Lalu bagaimanakah kita dapat mengupas kebenaran tanpa harus menyentuh
kebencian…???Temukan
sendiri jaawabannya di dalam novel ini guysJ
Review Novel "To Kill A Mockingbird"
Langganan:
Postingan
(
Atom
)