Hi, I am John doe!

Hello, I'm Admin of weblogtemplates and this is our new blogger template, Foliocard.
It is extremely easy to configure and use. Designed to show your Web design or web development portfolios.
No complex stuff. Your logo, your articles & your social links. Easy stuff!

Review Film The Blind Side

Review Film The Blind Side

Review Film Joy (2015)

Review Film Joy (2015)

Membunuh Kebenaran

Judul               : To Kill A Mockingbird
Penulis            : Harper Lee
Tebal               : 396 halaman
Penerbit           : Qanita

“Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya … hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya.” –Harper Lee dalam To Kill a Mockingbird


          Awal saya menemukan novel ini di toko buku, saya kira ceritanya tentang komplotan anak kecil bandel yang senang berburu burung. Namun setelah saya mencoba cek spoiler- nya di internet, ternyata ini bukanlah sebuah novel anak yang mengisahkan tentang burung-burung, melainkan sebuah mahakarya luar biasa tentang betapa rakusnya manusia memboikot sesama manusia lainnya. Sebuah kisah yang benar-benar bakal menyentuh hati bagi pembaca yang membenci ketidakadilan. “To Killl Mockingbird” adalah sebuah novel fenomenal karya Harper Lee yang telah memenangi Pulitzer Prize. Novel dengan label “must read” bagi remaja dan orang tua karena penuh keteladanan.
Kisah dalam novel ini berawal dari sebuah keluarga kecil di Maycomb Country yang terdiri atas seorang pengacara lokal bernama Atticus Finch beserta kedua anaknya—Jean Louise Finch (Scout) dan Jeremy Atticus Finch. Tersebutlah juga sosok Arthur “Boo Radley sebagai sosok kunci nan misterius dari rangkaian cerita yang akan dikisahkan dalam novel ini. Dari generasi ke generasi, citra keluarga Radley memang dapat dikatakan tidak baik atau bahkan cenderung aneh. Mereka tidak pernah ke gereja dan lebih memilih menutup diri dari sekitar. Jarang atau bahkan tak pernah ditemui Mrs. Radley duduk-duduk di beranda menggosipkan gaya rambut terbaru sambil minum teh dengan para tetangga. Mr. Radley—suaminya—pun  juga seorang “pembeli kapas”—istilah yang sopan untuk pengangguran. Pekarangan rumah mereka ditumbuhi kacang pecan liar yang menurut desas-desusnya beracun. Sepanjang hidup Scout dan Jem sampai saat itu, semua hal tentang keluarga Radley tak lebih dari sekadar mitos.
Scout adalah gadis kecil yang cerdas, pemberani, serba ingin tahu, dan agak tomboy. Ia lebih senang memakai kemeja dan overall pria daripada rok dan kamisol serta lebih memilih menghabiskan waktu dengan kakaknya daripada harus membantu memasak di dapur. Menjadi anak bungsu dari keluarga yang cukup terpandang, nyatanya tidak serta merta membuatnya menjadi seorang gadis yang bermanja-manja kepada sang ayah. Terkadang ia malah membenci Atticus dengan segala keputusannya. Kakaknya—Jem—adalah anak laki-laki berummur 10 tahun yang sedang beranjak remaja. Terkadang perilaku kekanak-kanakannya masih nampak dalam setiap keputusan yang ia ambil dalam permainan, marah tanpa alasan jelas kepada Scout, dan berbohong kepada Atticus tentang rencana gilanya. Terkadang pula ia berusaha untuk menjadi lelaki terhormat, menjaga adiknya, dan berjalan tegak dengan pandangan ke depan, persis seperti yang Atticus lakukan.
Scout dan Jem memiliki sahabat yang datang dari Meridian—Mississippi, bernama Dill Harris. Dill sedang melewatkan liburan musim panas bersama bibinya—Miss Rachel—di Maycomb. Semenjak kedatangannya, Scout dan Jem menjadi jarang di rumah. Mereka lebih sering menghabiskan waktu di pekarangan keluarga Radley dengan harapan dapat mengusik keluarga itu. Pernah suatu ketika Scout menggelinding berputar-putar dalam sebuah ban dan terjungkal tepat di depan tangga pintu utama Radley house. Pada saat dunianya sedang berputar, perutnya mual dan ia mendengar kikikan samar yang berasal dari rumah menyeramkan itu. Dan yaa.. Kejadian tersebut benar-benar membuatnya takut setengah mati.
Keluarga Atticus memiliki pembantu seorang Afro Amerika bernama Calipurnia. Menurut Atticus, di samping mengurusi segala macam urusan rumah tangga, Cal juga memenuhi kebutuhan sosok ibu bagi Jem dan Scout saking ketulusannya begitu besar dalam merawat mereka. Atticus memang tak pernah pandang bulu dalam menilai kebaikan seseorang, meskipun orang tersebut adalah seorang nigger—kulit hitam. Atticus adalah sosok lelaki egaliter yang sangat patut dijadikan teladan, baik dari segi profesional maupun dari segi figur seorang ayah. Atticus merupakan cerminan orang tua demokrat yang humanis dan seorang profesional yang taat pada aturan. Ia adalah tipe orang yang lebih memilih duduk manis membaca surat kabar daripada harus menghabiskan waktu untuk kegiatan lain yang dirasa kurang bermanfaat. Semua paradigma dalam bingkai kehidupannya tercermin dalam sikapnya yang selalu bersahaja dan rendah hati. Tak pernah sekali pun ditemui ia mengucapkan kata-kata kasar dan terjun dalam sebuah percekcokan dengan tetangga. Seburuk apapun perkataan mereka, Atticus memandang bahwa semua itu memang hak mereka untuk berbicara dan berpendapat.
Sebagai seorang pengacara di kota kecil, Atticus juga tak dapat terlalu memaksakan diri untuk merahasiakan setiap masalah dari kliennya, meskipun nurani dan etika sebagai pengacara sangat membatasi perihal tersebut. Masalah-masalah itu bagaikan asap yang telah membaur dengan sudut-sudut tanah Maycomb, menyeruak ke dalam akar-akarnya, dan menumbuhkan “wabah” baru di antara penduduknya. Sebagian menampakkan diri secara nyata namun sebagian lagi memilih diam, tak acuh, dan lebih senang menjadi penonton. Kemudian satu di antara wabah itu terangkat ke permukaan, merubah kehidupan keluarga Atticus yang semula baik-baik saja dan terpandang sebagai keluarga terhormat di tanah Maycomb menjadi bahan gunjingan ketika pihak pengadilan memintanya membela sebuah kasus. Kasus yang menghadirkan enigma baru dari sebuah tanda tanya besar tentang keberadaan nurani dalam jiwa manusia. Anak gadis keluarga Ewell—Mayella Violet Ewell—dilaporkan telah dipukul dan dilecehkan secara seksual oleh seorang kulit hitam bernama Tom Robinson. Peristiwa tersebut benar-benar membuat geger penduduk Maycomb. Keluarga Ewell adalah keluarga kulit putih, kasar, dan tak berpendidikan yang tinggal di sebuah lingkungan kumuh di tepian kota, sedangkan Tom Robinson adalah seorang keturunan negro yang sejak berdirinya Maycomb, segala hal tentang nigger selalu dikaitkan dengan kerusuhan dan kejahatan. Massa terbelah ke dalam dua pihak, namun tidak dengan Atticus. Ia akan membela Robinson, meski ia tahu resiko dari keputusannya mungkin lebih menakutkan dari kelihatannya. Sebab ancaman itu berasal dari kaumnya sendiri yang kini tengah dibutakan dengan dinding tebal dalam beton-beton prejudice.
Jem dan Scout ikut merasakan kegentingan yang menimpa sang ayah dan keluarganya. Malam-malam terakhir sebelum persidangan musim panas yang akan datang adalah malam-malam yang paling mencekam bagi mereka. Di tambah dengan kehadiran adik Atticus—bibi Alexandria— dari Finch’s Landing yang datang untuk menetap juga semakin memperkeruh keadaaan. Bibi Alexandria adalah sosok yang kaku dan dingin bagaikan puncak Everest. Kebiasaannya mengoceh tentang keluarga Finch yang terhormat membuat Jem dan Scout semakin tersiksa berada di rumah. Cemoohan demi cemoohan pun lambat laun juga mulai bermunculan dari para tetangga. Suatu siang, Jem dan Scout sedang melewati pekarangan Mrs. Dubose. Sebuah sapaan yang dilontarkan Mrs. Dubose dengan muka tak bersahabat berujung pada kelemahan Jem dalam mempertahankan fase moralitas sebagai lelaki terhormat. Mrs. Dubose mengatakan bahwa Atticus pecinta nigger dan kehidupannya yang juga memang mirip dengan “sampah-sampah” itu. Jem pun membalas ketakbiadaban perkataan Mrs. Dubose dengan merusak kuncup-kuncup semak kamelianya. Atticus mengetahui hal tersebut dan apa yang sebelumnya menurut Jem benar ternyata tidak sejalan dengan pemikiran sang ayah. Alhasil, Jem pun diberi hukuman untuk membacakan cerita selama beberapa minggu oleh Mrs. Dubose. Jem membacakan novel Ivanhoe karya sastrawan Skotlandia—Sir Walter Scott—dalam ruangan mengerikan bersama Mrs. Dubose yang terbaring kaku dan tak kalah mengerikannya. Mulut wanita itu penuh dengan liur dengan lidah yang menari-menari. Suaranya ketika mendengkur bahkan terasa aneh teredam dalam mulut keriputnya.  Hukuman yang menakutkan itu berakhir pilu saat bunyi jam beker penanda tugas telah selesai tak pernah berbunyi lagi. Hari dimana hukuman yang terasa menakutkan menjadi hari-hari yang bakal dinanti dan dirindukan. Sebuah kotak permen hadiah terakhir dari Mrs. Dubose diterima Jem. Kotak itu berisikan setangkai Snow-in-the-Mountain—kamelia putih—yang dikelilingi gumpalan kapas lembab. Sebuah pemberian perempuan tua berpenyakit yang menurut Atticus adalah perempuan paling pemberani—sangat bertolakbelakang dengan umpatan-umpatan yang dilontarkan Mrs. Dubose kepadanya.
Sebenarnya dalam rentetan peristiwa ini, Atticus bisa saja melepaskan kasus Robinson dengan mudah dan tetap mempertahankan status nenek moyang keluarga Finch sebagai keluarga terpandang dan terhormat di seantero Maycomb. Tetapi nyatanya ia malah berkehendak lain. Menurut Atticus, kasus ini bukanlah sebatas pembelaan kaum nigger saja, melainkan juga sebuah prinsip hidup dan tanggung jawab yang harus ia tanamkan pula pada kedua anaknya. “Kasus ini menyangkut hakikat nurani manusia—Scout, tak ada gunanya aku pergi ke gereja dan beribadat kepada Tuhan kalau aku tidak mencoba menolong dia.” Kata Atticus dalam kebimbangan dan kecemasan Scout.
***
Setting waktu yang diangkat Lee dalam kisah ini adalah tahun 1930-an. Di mana pada masa itu, Amerika memang sedang diselimuti oleh bayang-bayang racial segregation yang parah. Rasisme kulit putih terhadap kulit hitam berlangsung secara masif bagaikan awan hitam berkabung yang melingkupi langit-langit Maycomb dan Amerika. Sebuah masa yang cocok diusung untuk membeberkan kebobrokan jiwa manusia dengan egosentrisnya yang angkuh. Sebuah masa yang membutakan mata hati manusia dalam tirani agung prasangka. Sebuah masa yang menghidupkan pemahaman Scout kecil tentang kehidupan dalam artian benar dan salah, hitam dan putih, dan area di antara mereka (grey area). Grey area adalah simbol dari konformitas yang tertendensi pada pengaruh paling kuat dalam sebuah kelompok. Jika benar adalah putih dan salah adalah hitam, maka abu-abu adalah sebuah keragu-raguan, kekuatan yang rapuh, dan kelemahan yang memihak.
Lee menggunakan sudut pandang orang pertama lewat peran Scout untuk menguliti setiap tokohnya. Bahasa yang digunakan pun juga cenderung ringan dan diselingi humor, meski tema yang diangkat sangat berbobot karena berkaitan dengan konflik rasial. Dari awal bab, ia sengaja mengajak pembaca menerka-nerka misteri tentang tokoh “Boo” Radley secara buta. Siapa sebenarnya dia? Apa tujuan penulis menghadirkan tokoh seperti dia?  Apakah dia benar-benar menakutkan seperti yang Scout bayangkan ? Atau apakah dia memang BENAR-BENAR ADA? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan terus terngiang dalam pikiran pembaca hingga Lee membelotkan cerita menuju peliknya kasus Robinson. Lewat pemikirannya yang tajam, Lee telah memintal sebuah cerita dengan benang merah yang rapi dan penuh kehati-hatian.
***
Judul yang memikat, Lee hadirkan dengan konsep fenomenologis. Mockingbird—burung yang menyimbolkan arti sebuah keharmonisan dan tak bersalah. Ia adalah sejenis burung murray yang senang mendengungkan suara emasnya tanpa mengusik ketenangan yang lain. Dalam kisah ini, ia merepresentasikan sosok Boo Radley sekaligus Tom Robinson. Dua tokoh yang menjadi tumbal nafsu kolektif pada era dimana Scout hidup. Kemudian Lee membeberkan fakta bahwa dalam kehidupan, terkadang kita lebih sering dihadapkan oleh kenyataan-kenyataan semu di balik propaganda prasangka. Kenyataan yang membuat diri kita terayun-ayun dalam realita tak kasat mata, membenarkan sesuatu yang belum tentu benar atau membenci hanya karena itu tampak pantas untuk dibenci. Lalu bagaimanakah kita dapat mengupas kebenaran tanpa harus menyentuh kebencian…???Temukan sendiri jaawabannya di dalam novel ini guysJ


Review Novel "To Kill A Mockingbird"

Review Film La La Land (2016)

Review Film La La Land (2016)

Inkonsistensi Rasa

Kisah Tentang Rindu

“Senja di Batas Negeri”