Bersih Sempu, Pengenalan Divisi Konservasi
Pagi itu, tanggal 25 Januari 2013. Matahari tampak tersenyum lebar di pelatarannya. Menggugah semangat kami, “Angkatan 32” Jonggring Salaka UM untuk segera mempersiapkan diri melaksanakan kegiatan bersih Sempu dalam rangka pengenalan divisi konservasi. Ini adalah pendidikan pertama kali bagi kami angkatan muda. Sempu, yang terbayang dikepala adalah pasir putih di pantai lepas dan tatanan pohon bakau yg tertata rapi mengakar di sekeliling pulau. Air laut biru berkilau dan menggelegar, buih ombak penghantam karang mengayun bak nyiur pantai yang melambai-lambai, membuat hati semakin menggema tak sabar. Sungguh diri ingin berpelukan dengan alam.
Sebelum berangkat, panitia membuka kegiatan dengan menyanyikan lagu Indonesia raya serta mars Jonggring Salaka secara bersamaan dengan kami”angkatan 32”. Setelah itu sambutan dari panitia mulai dilontarkan satu persatu. Setelah selesai sambutan, kami semua berdoa untuk keselamatan. Di perempatan jalan seperti biasanya, sebuah truk dan mikrolet sudah manggut-manggut menunggu untuk kami naiki. Karena semua career beserta peralatan telah dinaikkan ke dalam truk. Kami pun juga tak mau ketinggalan untuk langsung bergegas naik ke dalam truk. Penuh, sesak, dan panas rasanya. Isi truk penuh career dan juga kami. Terik matahari di pagi itu semakin menambah suasana tak karuan di dalam truk itu. Truk mulai melaju. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 09.00. ternyata molor 2 jam dari rencana. Seharusnya pemberangkatan dilakukan pukul 07.00. Entah dikarenakan apa, jadwal pemberangkatan bisa molor hingga 2 jam. Truk telah melaju melewati kampus tercinta Universitas Negeri malang. Jalan demi jalan telah terlewati. Rute yang diambil adalah arah Gadang-Turen. Perkiraanku lewat kota Kepanjen. Tapi ternyata salah.
Di tengah perjalanan kami mulai lelah. Ada yang sekedar duduk untuk istirahat, ada yang terus berdiri karena tak mendapatkan tempat. Semua saling mendesak. Aku berkomitmen untuk tidak tidur. Aku terus berdiri dan memegang sebatang bambu yang dipasang secara horizontal. Terkadang jari-jariku terjepit olehnya. Aku memandang luas pemandangan diluar truk. Hamparan sawah dan kebun mendominan Malang selatan. Jalannya pun naik turun dan berkelok-kelok seperti ular. Ketika tiba dikawasan Sumbermanjing Wetan udara dingin mulai menusuk. Angin mulai berhembus kencang. Sepertinya akan hujan lebat. Dan benar perkiraanku. Hujan datang dengan tiba-tiba tanpa ada tanda-tanda gerimis. Untung diatas truk yang kami tumpangi terdapat terpal.Kami langsung membukanya untuk dijadikan penghalang gempuran hujan.
Hujan berlangsung agak lama. Deras dan berangin. Tak beberapa lama kemudian hujan mulai reda. Kami membuka terpal berwarna biru tua itu. Udara sudah mulai berbeda. Terasa hangat walaupun hembusan angin tetap ada. Kukira perjalanan sudah hampir sampai. Tapi ternyata masih kurang sepertiga perjalanan lagi.
Kami telah memasuki kawasan Sendang Biru. Semakin ke selatan ternyata udara panas semakin menyengat kulit. Terdengar dari kejauhan suara Qiro’an timbul tenggelam. Hari ini memang hari Jum’at. Dari kejauhan tampak Bapak-bapak dan remaja laki-laki mulai berbondong-bondong menuju ke masjid. Kami tiba di pantai Sendang Biru sekitar pukul 12.00. Setelah sampai di tempat pemberhentian terakhir, kami langsung menurunkan career dan barang bawaan. Akudan teman laki-laki lainnya langsung bergegas menuju masjid untuk menunaikan Sholat Jum’at. Sambil istirahat sejenak melepas kelelahan setelah menempuh perjaanan yang begitu panjang. Seusai sholat Jum’at kami pun menuju lokasi dimana teman-teman yang lain menunggu. Sebelum berangkat untuk melakukan perjalanan selanjutnya, akumeluangkan waktu untuk memberi minuman sebagai penebus dahaga. Sungguh nikmat rasanya. Minum es di siang bolong sambil menikmati jajaran perahu yang mengapung di tepi pantai.
Tak lama kemudian, panitia mengumpulkan kami. kami dibentuk dalam kelompok. Kelompok dibagi menjadi 4 dengan masing-masing anggota kelompok sekitar 5-6 orang. Aku mendapatkan kelompok pertama. Kelompok kami ditugaskan untuk meneliti dan mendeskripsikan segala jenis fauna darat, laut, udara yang bisa kami temui selama perjalanan ke pulau Sempu. Kelompok 2 ditugaskan untuk meneliti dan mendeskripsikan segala jenis flora unik. Kelompok 3 ditugaskan untuk mendeskripsikan jenis-jenis sampah yang terdapat di pulau Sempu. Sedangkan untuk kelompok 4 diberi tugas untuk mewawancarai pengunjung dan menghitung pengunjung baik yang datang maupun yang meninggalkan pulau Sempu sebagai bahan acuan untuk menghitung presentase pengunjung pulau Sempu tiap minggunya. Setelah pembagian tugas telah selesai disampaikan panitia. Kami langsung berangkat menuju pulau Sempu menggunakan perahu. Terdapat 3 perahu yang sudah menunggu kami. kami segera membopong career masing-masing dan bergegas naik ke perahu. Perahu mulai melaju. Suara bising mesin perahu menemani perjalanan kami ke pulau Sempu. Perjalanan kami ke pulau Sempu ini memakan waktu kurang lebih 15 menit. Dan akhirnya kami tiba ditempat pemberhentian pertama di pulau Sempu, yaitu Teluk Semut. Kami turun agak jauh dari daratan. Sehingga kami harus rela berjalan dalam air untuk benar-benar sampai di Teluk Semut.
Di Teluk Semut kami disambut oleh para wisatawan yang akan meninggalkan pulau Sempu. Terlihat dari raut wajah mereka. Lelah, letih, dan berlumpur. Sepatu dan sandal, mereka bawa dengan menjinjing. Sepatu itu tampak penuh lumpur. Bayangan kami “angkatan 32” sudah tidak karuan. Wajah kami seperti lampu senter yang kehabisan baterai. Mulai meredup. Tapi kami tak pantang menyerah. Mungkin ini seperti peribahasa yang sering kami temukan dalam pelajaran bahasa Indonesia. “Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.”
Perjalanan dimulai sekitar pukul 13.30. sebelum berangkat akumelepas sepatu dan mengikatnya ke career. Aku bertekad telanjang kaki meskipun aku tidak tahu apa yang sedang menungguku di dalam lumpur. Perjalanan ini sungguh terasa panjang. Sepanjang jalan yang terlihat hanya lumpur dan lumpur. Terkadang, kakiku terkena karang yang bersembunyi di balik lumpur itu. Rasanya seperti tertusuk jarum pentul. Mereka juga menyerang temanku lainnya hingga ada yang kakinya sobek dan berdarah. Kami memang telah mengabaikan hukum alam. Sudah jelas jalan penuh lumpur berisikan karang-karang dan akar pohon yang menjalar. Tapi kami tetap berssikeras untuk tidak memakai alas kaki.
Hari sudah mulai sore. Tapi kami belum sampai ke tempat ke tujuan. Taktala suara ombak terdengar dari atas bukit kami langsung girang. Kami mempercepat langkah kami. Bak bertemu dengan kekasih hati, semua keluh kesah hilang terbang. Terbawa hentakan ombak di batu karang dan angin laut yang begitu kencang. Namun ini bukanlah tempat tujuan kami. Karena kami belum tiba di Pantai Pasir Panjang. Kami harus melanjutkan perjalanan lagi hingga bertemu dengan sebuah pantai yang tepiannya nampak seperti bebatuan. Tapi ini juga bukan pantai pasir panjang. Padahal hari sudah semakin gelap. Kami segera mengeluarkan headlamp masing-masing untuk menerangi jalan yang semakin sempit dan berbatu. Jalan terakhir yang kami tempuh ternyata tidak mudah. Jalannya curam. Sehingga kami harus melepas career untuk turun. Career kami sudah diturunkan terlebih dahulu. Kemudian tuannya mengikuti dibelakangnya. Kami harus memegang tari erat-erat untuk mencapai tangga ke bawah. Setelah sampai, kami langsung melanjutkan perjalanan hingga akhirnya tibalah kami di suatu tempat yang diberi nama Pantai Pasir Panjang.
Hari sudah begitu gelap. Ketika sampai di tempat camp, kami langsung mendirikan bivack. Tak banyak yang dapat kami lakukan. Karena pada malam hari itu juga. Hujan mulai turun. Sepertinya akan ada badai. Pembuatan bivack tidak berjalan dengan optimal karena serangan hujan. Sehingga banyak yang bocor. Tapi untung, anak yang lain telah selesai memasak. Walaupun masakan itu ala kadarnya, setidaknya masakan itu dapat mengganjal perut keroncongan kami. Badai semakin menderu-deru. Kadang mulai reda. Kadang juga melebat. Akhirnya kami “angkatan 32” tidur saling berhimpit-himpitan, berlindung di bawah bivack yang belum sempurna dan beralaskan matras. Aku mendapat tempat dibagian pinggir. Dalam hati hanya berdo’a, supaya hujan tidak masuk melewati sisi tersebut. Dingin dan kaku menjalar ke seluruh tubuh. Karena aku tidak memakai sleeping bag. Malam itu sungguh memilukan. Seharusnya kami bisa melakukan evaluasi setelah seharian melakukan perjalanan. Tapi akhirnya rencana tersebut harus batal karena faktor cuaca.
Pukul 05.00 pagi, kami semua bangun. Matahari terlihat cerah. Kami segera bergegas untuk membersihkan muka dan bersiap-siap untuk melakukan kegiatan sesuai jadwal. Panitia sudah menyiapkanbinocular untuk kami. kami semua diberi tugas untuk mengamati dan mendeskripsikan jenis burung yang ada di sekitar pantai Pasir Panjang. Burung-burung tersebut hanya muncul dalam rentang waktu yang singkat. Yaitu sore hari sekitar pukul 17.00 hingga terbenamnya matahari dan pagi hari sekitar pukul 05.30 hingga pukul 06.30. Setelah penjelasan dari panitia selesai, kami langsung menyebar. Mencari dan mencari. Akhirnya kami menemukan seekor burung yang bertengger di dahan kering di puncak sebuah tebing. Kami harus memfokuskan penglihatan seteliti mungkin ketika meggunakan binocullar. Karena meskipun kami dibekali binocullar, tetapi kami tidak dapat melihat warna burung tsb dengan jelas. Di mata kami warnanya seperti hitam memudar. Di kejauhan juga tampak seperti bangau putih sedang terbang bebas di dekat tebing karang. Selain itu juga ada burung sejenis walet yang berkeliaran diatas kami. Kami tidak bisa menyebutkan secara langsung apa nama burung tersebut. Yang kami tahu hanyalah ciri-ciri fisiologisnya saja. Tak beberapa lama kemudian, kami seperti mendengar koakan burung di pinggiran hutan. Koakan itu terdengar dekat, tapi kami tak bisa menemukannya.
Pengamatan burung telah dihentikan. Kami berkumpul untuk mempresentasikan hasil dari pengamatan kami. Kelompok lain ada yang menemukan burung tengkek buto. Namun aku sedikit ragu. Mungkin itu adalah jenis burung raja udang. Sedangkan hasil pengamatan dari kelompok lainnya sama saja. Mereka juga tidak menemukan spesies burung yang unik. Setelah presentasi selesai, kami segera membuat sarapan pagi. Ada yang memasak dan juga ada yang membereskan bivack. Disela-sela kegiatan tersebut, ada yang mulai mencuci sepatu dan baju. Kemudian mengeringkannya di atas tebing agar cepat mendapatkan sinar matahari.
Masakan siap dihidangkan. Sebelum acara makan dimulai kami berfoto ria. Ekspresi penuh kegembiraan terpapar jelas lewat senyummereka dalam foto. Semoga foto-foto tersebut bisa menjadi sebuah album kenangan. Bukan hanya dalam buku, namun juga di dalam hati. Usai berfoto, kami membentangkan kresek merah memanjang diatas matras. Kami tumpahkan nasi beserta lauk pauknya. Dicampur kemudian di sama ratakan. Kami bagaikan lalat hijau yang sedang mengerubung makanannya. Semuanya berkumpul memutar berhimpit-himpitan. Semua harus bisa berbagi. Tidak ada yang boleh ditinggalkan. Karena kita semua adalah saudara. Makan bersama saudara sungguh nikmat rasanya. Apalagi makannya di tepi pantai indah nan eksotik. Moment ini sungguh tak dapat dilupakan.
Setelah selesai makan, kami siap untuk melakukan kegiatan selanjutnya. Untuk kali ini giliran pengenalan materi Analisis Vegetasi (Anveg) danPlester Cast untuk mengawetkan jejak kaki binatang. Namun dikarenakan hujan yang terus turun di atas tanah yang berlumpur dan bahan untuk membuat Plester Cast yaitu Gipsum tidak ada maka materiPlester Cast hanya dijelaskan secara teori. Sedangkan untuk materiAnveg dijelaskan secara teori dan praktik. Pertama-tama kami secara berkelompok diberi seutas tali rafia. Tali tersebut dibentuk persegi dengan rata-rata panjang sisinya 1 m. Hal ini bertujuan untuk membatasi daerah vegetasi yang akan diamati. Sepetak vegetasi yang kita amati tersebut kadang mewakili vegetasi di sekitarnya dengan cakupan luas area yang telah ditentukan. Misalkan mewakili lahan seluas 100 m2 atau mungkin bisa mencakup 1 ha lahan.
Antara daerah satu dengan daerah lainnya mungkin vegetasinya berbeda-beda. Tergantung kandungan garam (salinitas) dan pecahayaan oleh sinar matahari di daerah tersebut. Semakin tinggi tingkat salinitassuatu area, maka keanekaragaman vegetasi di daerah itu akan semakin rendah. Sebaliknya, jika semakin rendah tingkat salinitas suatu area, maka keanekaragaman vegetasi di daerah itu akan semakin tinggi. Begitu juga dengan pencahayaan. Persaingan antara tumbuhan satu dengan lainnya dalam hal berebut sinar matahari menyebabkan tumbuhan yang kalah bersaing akan tertutupi oleh tumbuhan yang cukup terkena sinar matahari dan akhirnya tumbuhan yang tidak cukup terkena sinar matahari tersebut akan mati. Persaingan seperti ini dapat diamati pada hutan hujan tropis. Kanopi-kanopi pohon yang terlalu rimbun menyebabkan tumbuhan dibawahnya jarang terkena sinar matahari yang cukup. Sehingga area tersebut lembab. Dan terkadang tumbuhan yang banyak hidup di daerah seperti ini adalah tumbuhan lumut dan tumbuhan epifit ataupun tumbuhan yang tahan naungan.
Setelah kegiatan Anveg selesai, kami kembali ke camp untuk istirahat. Senda gurau dari panitia dan kakak angkatan meramaikan suasana istirahat siang itu. Mereka membuat lubang di pasir dan memasukkan para teman-teman perempuan ke dalamnya. Mereka terlihat senang melakukan itu. Aku hanya melihat dari kejauhan. Aku lelah. Mataku merah karena kurang tidur. Aku beranjak dari dudukku. Aku mencoba bersandar di dahan pohon baringtonia sambil menikmati ombak yang saling mengejar di lautan yang membiru. Aku tertidur. Tetapi tidak tertidur pulas. Cahaya matahari begitu menyengat. Pundakku terasa linu karena dahan tempat aku bersandar banyak terdapat lekukan-lekukan kulit pohon.
Selang beberapa lama kemudian, kami packing. Kami bersiap diri untuk melakukan perjalanan selanjutnya. Mengambil semua cucian yang telah kering dan melipat ponco. Setelah semua selesai packing, perjalanan pun dimulai. Tempat pemberhentian selanjutnya adalah Segara Anakan. Kami melewati kembali jejak kaki yang telah kami tinggalkan kemarin. Melewati tebing yang curam dan pantai-pantai kecil. Berjalan terseok-seok kembali melewati jalan berlumpur. Namun jalan yang ini sedikit berbeda. Kami mengambil arah kiri di persimpangan jalan terakhir. Di sepanjang perjalanan kami berpapasan dengan para pengunjung pulau Sempu. Mereka dalam perjalanan pulang. Setelah berjalan kira-kira 15 menit, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Segara Anakan. Pantainya tenang, dikelilingi tebing, dan terlihat dangkal. Cocok untuk berenang. Pengunjung di Segara Anakan pun lebih banyak daripada pengunjung di pantai Pasir Panjang. Namun sayang, didepan pantai yang bernuansa anggun itu terdapat tumpukan sampah yang memuakkan mata. Kesana kemari, mata selalu tertuju pada sampah.
Sesampai disana kami langsung mendirikan bivack dan memasak. Kami tidak mau mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya. Kami memfokuskan untuk mendirikan bivack terlebih dahulu. Kami takut badai akan datang disaat bivack belum sempurna. Kami langsung membagi tugas. Ada yang mencari kayu, ada yang membuat parit, dan ada yang memasak nasi. Yang memasak dikhususkan untuk yang perempuan.
Ditengah proses pembuatan bivack, aku dan kedua temanku ditugaskan untuk membersihkan sampah di daerah bukit sebelah barat. Bukit itu ternyata kawasan monyet dan lutung. Namun sekarang , bukit itu juga menjadi kawasan para sampah. Mulai sampah plastik, tisu, mika, hingga botol kaca tersebar dimana-mana. Kami bertiga beserta panitia mulai menyisir daerah tersebut. Sampah yang terkumpul kemudian dipisahkan. Sampah plastik, tisu, dan mika dibakar. Sedangkan sampah seperti botol kaca dikumpulkan untuk dibawa keluar dari pulau Sempu.
Hari sudah sore. Aku lihat dari atas bukit, mereka yang tidak ikut memungut sampah sudah selesai mengerjakan bivack. Mereka berlarian menuju ke pantai untuk berenang. Di sela memunguti sampah, aku meluangkan waktu untuk melihat lautan di balik bukit. Disana, ombak begitu besar menghantam karang. Hati begitu ngilu saat melihatnya. Andaikan ada seorang manusia yang masuk ke dalamnya, mungkin dia akan langsung mati terkena hantaman penggiling maut dari lautan.
Hari sudah semakin sore. Aku turun dari bukit. Ingin berenang tetapi hembusan angin laut menyiutkan nyaliku. Kugunakan saja waktuku untuk memasukkan matras ke dalam bivack. Daripada diam. Anak-anak yang lain sudah mulai memasak lauk untuk makan malam sambil bersenda gurau. Semakin petang angin semakin kencang. Ketika makanan sudah siap saji. Kami berniat untuk makan di luar seperti biasanya. Membentangkan kresek diatas matras dan mencampur ratakan nasi dan lauk. Tetapi malam itu angin berhembus cukup kencang. Mengakibatkan pasir beterbangan dan bertaburan diatas makanan kami. Kami pun membawa makanan tersebut ke dalam bivack agar aman dari pasir. Berhubung bivack yang dibuat cukup sempit dan memanjang. Kami terpaksa makan dengan membungkuk. Saling berhimpit-himpitan, dan kaki terpaksa harus diluruskan ke belakang agar 22 orang muat di dalam tenda. Kami seperti bebek yang sedang makan. Ricuh.
Selesai makan, ada evaluasi kegiatan. Evaluasi tersebut secara teknis mencakup evaluasi pra-kegiatan, dan evaluasi 2 hari pelaksanaan kegiatan di Sempu. Semua harus mengeluarkan argumen, termasuk panitia. Selesai evaluasi kegiatan. Ada malam keakraban. Di bawah cahaya bulan, kami “angkatan 32” saling menginstropeksi diri. Merenung untuk lebih saling akrab dan saling memahami. Malam keakraban merupakan puncak kegiatan di malam itu. Setelah malam keakraban selesai, kami bebas. Ada yang tidur, ada yang membuat kopi, dan ada yang memasak nasi. Sebenarnya aku sudah lelah dan berniat untuk tidur. Berhubung cuacanya tidak begitu mendung, aku menggelar matras. Aku ingin tidur dibawah cahaya sang rembulan. Dibawah sayup-sayup angin malam. Namun sayang. Cuaca tiba-tiba berubah. Gerimis mulai turun. Aku terpaksa pindah ke dalam bivack. Sekali lagi, aku dapat jatah pinggiran. Tapi tidak apa-apa. Aku sudah mengenakan jaket. Kepalaku ku tutup dengan penutup kepala rapat-rapat. Dari kepala hingga leher seperti maling salah kostum. Tidurku malam ini juga lebih rileks di banding malam sebelumya. Badai juga tidak terlalu besar diluar. Kulirik bulan dari dalam bivack. Ternyata sang purnama telah ditelan raja awan. Mendung semakin menebal dan akupun segera tidur.
Keesokan harinya, Minggu, 27 Januari 2013. Kami bangun pukul 05.00 pagi. Pembagian tugas mulai dibentuk. Ada yang memasak, membereskan bivack serta mengeringkan matras. Kami hanya diberi waktu oleh panitia sampai jam 07.00 pagi untuk makan pagi danpacking. Karena sebagaian nasi sudah dimasak tadi malam, jadi kami tidak terlalu lama dalam menyiapkan makanan. Setelah selesai memasak, seperti biasanya kami membentangkan kresek diatas matras sebagai tempat untuk makan. Seusai makan kami langsung dikumpulkan. Pagi ini kegiatan kami adalah membersihkan sampah. Kami dibagi per kelompok sesuai anggota kelompok awal untuk membersihkan sampah. Ada yang menyusuri pantai, bukit, dan tumpukan sampah. Sampah yang mudah terbakar dipisah dengan sampah yang tidak mudah terbakar seperti seng dan gelas kaca. Sampah seperti seng dan gelas kaca dimasukkan ke karung untuk dibawa keluar dari kawasan Sempu. Sampah-sampah tersebut sungguh telah mencemari pulau ini. Dahulu pulau ini terkenal dengan pusat konservasinya namun sekarang sudah berubah wujud menjadi tempat tujuan wisata para pelancong yang tak peduli akan lingkungan.
Bersih-bersih sempu selesai pukul 10.56. Setelah sampah-sampah dimasukkan ke dalam karung kami siang berangkat untuk pulang menuju teluk Semut. Meninggalkan Segara Anak nan tenang. Perjalanan dimulai pukul 11.05. Penglihatan kami mulai kabur lagi dengan lumpur. Selain penglihatan, tangan-tangan kami juga mulai ngilu dengan sampah. Sampah-sampah tersebut dipaksa menemani kami untuk melewati jalan yang penuh lumpur. Tapi tak apa. Ini adalah demi lingkungan. Demi Sempu tercinta. Untuk menghilangkan penyakit yang di derita pulau ini. Agar tidak merusak habitat flora dan fauna di kawasan Sempu. Agar kelak, anak cucu kita juga dapat menikmati panorama alam di pulau Sempu ini.
Perjalanan berlangsung sekitar 3 jam. Kami tiba di teluk semut sekitar pukul setengah 3. Sesampai disana kami langsung membasuh kaki dan sepatu. Kemudian mengeringkannya di bawah terik matahari. Sambil menunggu kapal datang menjemput kami bersenda gurau. Aku iseng mencari kepiting bakau yang banyak terdapat di teluk semut. Selain kepiting, aku juga melihat seekor burung sejenis elang terbang bebas di atas hutan bakau. Ini bisa menjadi tambahan koleksi fauna bagi kami kelompok 1.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara perahu yang datang mendekat. Itu adalah perahu pertama yang menjemput kami. Kami langsung bergegas mengambil career beserta sampah-sampahnya. Sang pemandu perahu hanya memperbolehkan penumpang masksimal 13 orang. Jadi yang lainnya harus rela menunggu jemputan perahu yang lain. Perahu tersebut berada di tengah. Dia enggan untuk menepi. Jadi kami terpaksa harus basah-basahan untuk naik ke perahu itu. Setelah semua penumpang dan sampah-sampah dinaikkan ke dalam perahu, mesin mulai dinyalakan. Secara perlahan perahu itu membawa kami meninggalkan pulau Sempu. Perjalanan kami dari teluk semut ke Sendang Biru memakan waktu sekitar 15 menit. Setelah sampai di Sendang Biru, kami membeli es degan untuk melepas dahaga sambil menunggu panitia dan teman-teman yang belum tiba. Setelah semua tiba dan istirahat dirasa sudah cukup, kami segera bergegas pulang. Ada yang naik truk dan ada yang naik mikrolet. Kami berangkat meninggalkan kawasan Sendang Biru sekitar pukul 4 sore. Truk melaju kencang. Tapi tak ku hiraukan. Aku berniat istirahat untuk saat ini. Jadi kuluangkan waktuku untuk tidur di sepanjang perjalanan pulang. Singkat cerita kami tiba di sekretariat Jonggring Salaka UM sekitar pukul 19.30. Sesampai di sekret kami bergegas untuk pulang karena badan sudah terlalu letih. Evaluasi besar kegiatan bersih Sempu pun sampai ditunda hingga keesokan harinya. Dikarenakan kondisi badan yang tidak memunginkan.
Menginjakkan kaki ke pulau Sempu merupakan momentum indah yang sulit terlupakan. Namun, dengan ditemukannya banyak sampah di pulau ini, keindahan pulau Sempu menjadi terabaikan. Pemerintah daerah sekitar dan Dinas Kehutanan khususnya Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) seharusnya memberi perhatian lebih terhadap kelestarian lingkungan di pulau Sempu. Berilah peringatan terhadap mereka para wisatawan yang akan masuk ke pulau Sempu agar mereka tidak membuang sampah di pulau Sempu secara sembarangan dan jika perlu, peringatkanlah mereka untuk membawa kembali segala jenis sampah yang telah mereka buang ketika berwisata ke pulau Sempu. Hal tersebut mungkin dapat sedikit membantu menanggulangi masalah sampah di pulau Sempu ini.
Marilah kita budayakan untuk peduli akan lingkungan. Janganlah terlalu egois terhadap mereka. Lingkungan baik karena kita berbuat baik kepadanya. Kalau suatu saat lingkungan tidak baik kepada anda, maka jangan salahkan lingkungan tsb. Tapi salahkan terlebih dahulu diri anda, mengapa anda berbuat tidak baik terhadap lingkungan itu.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)



Tidak ada komentar :
Posting Komentar