Hi, I am John doe!

Hello, I'm Admin of weblogtemplates and this is our new blogger template, Foliocard.
It is extremely easy to configure and use. Designed to show your Web design or web development portfolios.
No complex stuff. Your logo, your articles & your social links. Easy stuff!

Kisah Persahabatan Manusia di Tengah Isu Rasial
Judul                : The Blind Side
Sutradara         : John Lee Hancock
Rilis                 : 2010
Durasi              : 129 menit
Genre               : Drama-biographical-sport

Kehidupan memang memberikan banyak pilihan untuk dijalani, dan pilihan terkadang tak semudah apa yang kita bayangkan. Apalagi pilihan yang kita ambil, tidaklah selaras dengan pemikiran orang kebanyakan. Ya, meskipun itu adalah pilihan kebajikan yang berasal dari hati nurani manusia sejati. Sebut saja mereka yang sering menertawakan pilihan kebajikan adalah orang yang buta, meski pada kenyataannya mereka tidak buta secara fisikal, melainkan buta secara spiritual.
Well, inilah kisah nyata dari Michael Oher—pemain terbaik bertahan di NFL (National Football League) USA. Michael memang bukanlah pemain dengan bayaran tertinggi di timnya. Karena dia bukan seorang quarterback. Namun tanpanya, mungkin pemain dengan bayaran tertinggi juga takkan pernah menduduki posisinya. Ibaratkan saja seperti tagihan yang dikeluarkan ibu rumah tangga, yang pertama pasti adalah tagihan hipotik rumah, namun tagihan kedua yang riskan untuk disepelekan adalah tagihan asuransi. Ibarat asuransi, Michael memberikan perlindungan kepada pemain utama (quarterback) untuk membawa bola ke garis finish dengan cara menghentikan musuh yang akan merebut bola dari quarterback.
Film besutan sutradara John Lee Hancock yang diadaptasi dari buku Michael Lewis yang laris di tahun 2006, dengan judul yang sama “The Blind Side: Evolution Of A Game” ini secara garis besar menceritakan tentang kisah nyata dari perjalanan hidup Michael Oher (Quinton AaronTim)—seorang keturunan Afro Amerika—yang dipelihara oleh negara sejak kecil, kemudian dijadikan anak angkat oleh keluarga Tuohy. Di mana memang sejak awal, kehidupan dari Michael Oher tidaklah dapat dikatakan sebagai kehidupan yang ‘good life’. Sewaktu kecil, Michael telah diambil secara paksa oleh negara dengan alasan ibunya adalah seorang pecandu narkoba.
Semasa anak-anak hingga remaja, Michael hidup dengan keluarga asuh. Dengan kenangan masa kecil yang kelam dan juga kasih sayang yang kurang dari keluarga barunya, Michael tumbuh menjadi sosok yang pendiam. Ditambah pula dengan badannya yang besar, tinggi, serta kulit hitam khas Afro Amerika, Michael pun akhirnya mendapatkan julukan  ‘Big Mike’. Selain mendapatkan julukan itu, negara juga menjuluki Michael sebagai seorang ‘pelari’, karena seringnya ia menghilang dan melarikan diri dari keluarga asuhnya secara tiba-tiba.
Suatu ketika Michael didaftarkan di sekolah yang baru oleh ayah temannya sebagai murid pindahan. Catatan yang ada dari sekolah terdahulu menunjukkan bahwa Michael adalah murid dengan IQ 80 dan kebanyakan mata pelajarannya mendapatkan nilai ‘D’. Hanya saja Michael agak pandai dalam olahraga. Di sekolah barunya, Michael bertemu dengan Sean Tuohy, atau biasa dipanggil SJ (Sean Junior)  yang diperankan oleh Jae Head.
Lalu, pada suatu malam yang basah, keluarga Tuohy mendapati Michael berjalan sendirian di jalanan. Melihat hal tersebut, Leigh Anne (Sandra Bullock) segera menghampirinya dan menanyakan kemana gerangan tujuan Michael. Karena Michael adalah seorang tunawisma, maka malam itu ia hanya ingin menghangatkan diri di gym. Tetapi karena kebaikan hati Leigh Anne, akhirnya Michael pun diajak untuk tinggal di tempat yang lebih layak daripada gym untuk menghabiskan malam, yaitu rumahnya.
Sejak saat itu, Michael tinggal lebih lama dengan keluarga Tuohy. Mulai belajar permainan football dengan pelatih dan teman-temannya di sekolah, bahkan juga dengan bantuan dari SJ. Seiring waktu berjalan, nilai-nilai Michael juga mengalami peningkatan, meski tidak secara signifikan. Yang lebih mengejutkan adalah ketika Leigh Anne mendapatkan informasi dari sekolah bahwa Michael unggul 90 % dalam kategori “Protective Insting. Inilah yang tidak disadari Leigh Anne atau siapa pun sejak awal tentang diri Michael. Kebanyakan orang, bahkan hanya melihat sisi Michael dengan kategori akademiknya saja dan malah menganggap Michael sebagai murid yang bodoh.
Selama ini, dukungan dari keluarga Tuohy sangat menggugah jiwa Michael untuk tetap semangat dalam menjalani hidup di antara masa lalunya yang kelam. Bahkan dalam sebuah adegan ketika Michael mengalami dilema hebat, Leigh Anne tetap tidak memaksakan kehendak Michael untuk membuat pilihan hidupnya. “it’s your decision, Michael. It’s your life. I want you to do, whatever your want”. Itulah kebaikan dan cinta sejati yang diberikan oleh Leigh Anne kepada Michael. Meski nyatanya, ia sendiri memang bukanlah ibu biologis dari Michael.
Di luar cerita, akting dari Sandra Bullock sendiri sebagai Leigh Anne juga sangat memuaskan. Pada beberapa adegan, ia nampak sangat percaya diri dan elegan dalam memerankan seorang ibu yang tegas sekaligus baik hati. Maka tak khayal juga, jika Sandra Bullock pun akhirnya berhasil menyabet juara dalam perhelatan penghargaan film paling bergengsi dalam perfilman Amerika, yaitu Piala Oscar sebagai Pemenang Aktris Terbaik pada tahun 2010. Sedangkan film “The Blind Side” sendiri juga masuk ke dalam daftar nominasi Piala Oscar dalam jajaran Film Terbaik pada tahun 2010.
Di samping prestasi, tentunya film “The Blind Side” juga memiliki kelemahan. Di antaranya adalah munculnya adegan-adegan yang akan membuat penonton merasa boring. Akting dari QuintonAaronTim sendiri dalam memerankan sosok Michael Oher—tokoh utama yang dikisahkan dalam film—juga tidak terlalu mengesankan sebagaimana akting  Sandra Bullock dalam memerankan Leigh Anne.
Kendatipun demikian, apabila ditilik dari segi isi, film ini sangat direkomendasikan bagi semua kalangan. Sebab, banyak sekali pesan moral yang perlu diinternalisasikan dan diaplikasikan dalam kehidupan keseharian. Bagi orang tua, memberikan kebebasan dalam setiap tindakan anak adalah hal yang bijak, asalkan tetap disertakan bimbingan dan pengarahan, sedangkan bagi seorang guru, tak ada kata lain selain memberikan bimbingan, bimbingan dan motivasi. Tak ada murid yang bodoh, yang ada hanya mereka belum sepenuhnya tahu akan bakat dan kemampuan yang mereka miliki. Lebih dari itu, film ini nyatanya juga membawakan pesan moral tersendiri bagi kita dalam mengkonsepkan pemikiran terhadap isu sosial tentang kemajemukan budaya dan rasial.
Lantas, apakah yang spesial dari kisah Michael Oher dibandingkan dengan kisah-kisah heroik lainnya seperti kisah Lincoln atau Margaret Thatcher dalam film biografinya “The Iron Lady”. Tentunya, kisah hidup setiap orang memiliki jalan pikirannya masing-masing. Lincoln dengan kisah perjuangannya meloloskan amandemen anti  perbudakan dan Margaret Thatcher dengan kisah kepemimpinannya yang tegas dan ambisius, sedangkan Michael Oher sendiri memang bukanlah tokoh yang dikisahkan sebagai seorang yang heroik atau menjadi salah satu tokoh yang dikenang dalam sejarah seperti Lincoln dan Margaret. Namun yang  jelas, kisah Michael yang dihadirkan dalam film ini nyatanya juga telah berjalan di atas kisahnya sendiri. Kisah yang tentunya tak kalah menarik dengan kisah heroik Lincoln atau tokoh-tokoh lainnya yang termaktub dalam buku sejarah. Michael Oher, seorang keturunan Afro-Amerika yang hidup dalam era yang lebih modern, dengan segala macam problem nyata yang membumbuinya. Kisah yang menggambarkan persahabatan dari seorang kulit hitam dengan keluarga kulit putih di tengah-tengah realitas sosial yang ada di Amerika tentang isu rasial. Lalu bagaimana dan seperti apa sepak terjang perjalanan hidup Michael Oher dari seorang tunawisma yang nyatanya tak pernah mendapatkan kasih sayang khusus dari orang tua kandungnya hingga menjadi seorang bintang terkenal di Baltimore Ravens sebagai pemain terbaik bertahan? Lalu siapakah kelurga Tuohy? Dan apa alasan mereka mengambil Michael sebagai anak angkat, meski pada awalnya mereka sama sekali tak tahu menahu soal rahasia Michael? Kisahnya akan dibeberkan secara  flashback di dalam film yang berdurasi 129 menit ini. Selamat menyaksikan.

Review Film The Blind Side


“Menyentuh Imajinasi Lewat Ambisi ”



 “Orang hanya melihat satu kesuksesan, padahal saya melihat 5000 kegagalan” ~Thomas Alva Edison.
Kunci sukses nyatanya tidak hanya merujuk pada hasil, tetapi lebih ke dalam proses. Terkadang orang awam mengelu-elukan kesuksesan seseorang karena orang tersebut telah tampil dihadapan publik sebagai sosok yang sukses, padahal mereka tidak tahu bagaimana perjuangan orang-orang sukses dalam mencapai kesuksesannya. Orang-orang benci pada ulat padahal kupu-kupu adalah hasil perjuangan dari metamorphosis ulat.
Kehadiran film ini diilhami pula oleh kisah yang menunjukkan bahwa kesuksesan itu tak segampang membalikkan telapak tangan. Niat dan usaha saja, rasanya tak cukup untuk menjadikan sebuah hasil perjuangan dikatakan sebagai ‘kesuksesan’. Perlu keberanian, keuletan, mental baja, serta tindakan-tindakan cerdik sebagaimana perjalanan Joy dalam film pasang surut kehidupan berbisnis yang terlalu sayang untuk Anda lewatkan.
 Di ceritakan secara flashback oleh sang nenek dari Joy yang diperankan oleh Diane Ladd, bahwa sejak kecil Joy merupakan seorang anak yang penuh dengan ide dan penemuan. Ia mampu membuat mainannya sendiri dari kertas kemudian memainkannya dengan sentuhan imajinasi. Namun seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, Joy tidak lagi melakukan penemuan karena tenggelam oleh urusan rumah tangganya yang kian merumit. Bermula dari dongeng yang ia ceritakan pada anaknya tentang conggeret yang mampu hidup terpendam di tanah dalam kurun waktu 17 tahun, ia seakan  ikut membayangkan kehidupan 17 tahun terakhirnya yang penuh dengan kesia-siaan.
Joy yang diperankan oleh aktris cantik Jennifer Lawrence berasal dari keluarga broken home yang ketika dewasa menikah dengan Tony (Edgar Ramirez)–orang yang ia temui dalam kelas musik teman masa kecilnya, Jackie (Dascha Polanco). Dari pernikahannya dengan Tony ia memiliki dua orang anak bernama Cristy dan Tommy.  Joy mempunyai saudari tiri—Peggy (Elisabeth Rohm)—dari pernikahan pertama ayahnya. Dikisahkan bahwa Joy dan Peggy tidak begitu akur, apalagi dalam urusan bisnis. Ibu Joy—Terry—yang diperankan oleh Virginia Madsen adalah pecandu sinetron opera sabun. Semenjak perceraian dengan suaminya, ia selalu menghabiskan waktunya di kamar tidur untuk melihat sinetron, sedangkan ayahnya, Rudy (Robert De Niro) adalah pemilik bengkel “Rudy’s Truck and Auto Body” yang telah menikah dengan perempuan lain, kemudian kembali lagi tinggal bersama Joy setelah dibuang oleh istri barunya.
Sebagai seorang single parent, Joy berusaha sekuat tenaga memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya. Ibu yang tidak bekerja, dua anak manis dari pernikahannya, sang nenek, ayah yang temperamen, serta mantan suami yang tinggal di basement merupakan bagian dari realita kehidupannya saat ini. Ia bekerja sebagai staff karyawan di sebuah armada penerbangan. Namun pekerjaan yang ia lakukan paruh waktu tersebut nyatanya tak jua memberikannya peluang untuk dapat bertahan dari PHK. Hingga akhirnya, ia harus terjun ke bengkel milik ayahnya untuk ikut mengurusi pembukuan.
Pada suatu hari di musim panas, ia diajak oleh Trudy (Isabella Rossellini)—pacar baru ayahnya—berlayar menggunakan kapal mewah ‘Morris’ bersama Tony, Peggy, dan ayahnya. Celakanya, geladak kapal ini terbuat dari kayu jati, sedangkan pantangannya tak ada yang boleh membawa minuman anggur jenis apapun ke atas kapal—sebab zat kimia yang terkandung dalam anggur dapat mempercepat pelapukan Jati. Entah karena kebetulan atau memang takdir, Tony tiba-tiba datang dengan sekotak besar berisi anggur merah dan sewaktu pesta berlangsung segelas anggur meluncur jatuh ke geladak dan berakibat pada tangan Joy yang tersayat pecahan gelas saat mencoba mengepelnya.
Siapa yang menyangka dari rasa sakit yang dirasakan sewaktu tersayat, Joy mulai memikirkan ide bagaimana cara mengepel tanpa bersentuhan langsung dengan air, kotoran, atau bahkan pecahan kaca. Seketika, menggunakan spidol milik anaknya, ia memulai membuat sketsa imajinasi sebuah pel yang kemudian ia beri nama “Miracle Pop” –Pel Ajaib. Mungkin terdengar sepele, sebuah alat pel yang notabene setiap keluarga pasti memilikinya meski hanya sekadar sebagai penghias gudang. Namun kisah yang dibeberkan dalam film ini sejatinya bukan  hanya sebatas ‘alat pel’ saja. Jelasnya, takkan ada ‘alat pel’ tanpa si pembuat. Alat pel akan tetap menjadi alat pel dengan segenap fungsinya jika tak memiliki esensi, sedangkan esensi yang sebenarnya bukan terletak pada alat pel itu sendiri, melainkan pada bagaimana proses terbentuknya alat pel sehingga memberikan efek menakjubkan bagi dunia—khususnya dalam bidang industri rumah tangga.
Film garapan sutradara David O Rossell ini akan menghadirkan sebuah drama renyah yang diambil dari kisah nyata Joy Mongano dengan dominasi unsur komedi inspiratif. Keseriusannya dalam penggarapan film juga nampak pada artis papan atas Hollywood yang ia gandeng seperti Jennifer Lawrence, Bradley Cooper, dan Robert DeNiro. Adegan-adegan jenaka yang diselingi kisah pilu kehidupan rumah tangga dan upaya banting tulang Joy dalam menjual karyanya bagaikan rentetan roller coaster. Apalagi akting Jennifer Lawrence—yang  namanya melejit setelah menjadi pemeran utama dalam film serial Hunger Games—begitu ambisius, ulet, pantang menyerah, dan tegas seakan-akan mencerminkan watak dan kepribadian para tokoh sukses dunia. Artis yang menyabet piala Oscar tahun 2012 sebagai aktris terbaik ini memang sudah jagonya akting. Debutnya dalam film ‘Joy’ juga merupakan kali keempat ia beradu akting dengan Bradley Cooper setelah sebelumnya sama-sama menjadi pemeran utama dalam Silver Linings Books, Serena, dan American Hustle.
Alur cerita ‘Joy’ memang berakhir dengan kesan menggugah dengan instrumen musik yang pas. Meski di beberapa bagian, Russel tampak memaksakan adegan hingga berujung ‘miss’. Ia juga membuat narasi Diane Ladd—sang nenek—timbul tenggelam di sepanjang film bahkan setelah kematian sang nenek.  
Albert Enstein pernah mengatakan bahwa imajinasi itu lebih penting daripada (sekadar) pengetahuan. Nampaknya hal ini begitu menggelitik kesadaran kita akan kekuatan istimewa yang terdapat dalam diri setiap individu tersebut. Kita sebenarnya punya kekuatan itu, hanya saja terkadang kita memilih untuk berimajinasi dalam diam. Padahal maksud ‘imajinasi’ Einstein tidak sebatas konseptual saja, namun juga perlu diimbangi dengan aplikasi praktis sebagaimana teori relativitas yang ia temukan. Ibarat sebuah kendaraan, imajinasi adalah tujuan yang akan ditempuh, lalu kita sebagai subjek (yang terdiri atas unsur bergerak—badan—dan unsur kognitif afektif—jiwa) adalah pengemudi sekaligus kendaraannya. Agar kendaraan dapat bergerak melaju maka perlu diisi bahan bakar yang berupa ambisi. Dalam analogi ini, Joy telah bersusah payah menjalankankan kendaraannya dan Russel sebagai sang sutradara akan mengisahkan kembali perjalanan tersebut dalam film berdurasi 124 menit ini. Selamat menyaksikan. J













Review Film Joy (2015)

Membunuh Kebenaran

Judul               : To Kill A Mockingbird
Penulis            : Harper Lee
Tebal               : 396 halaman
Penerbit           : Qanita

“Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya … hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya.” –Harper Lee dalam To Kill a Mockingbird


          Awal saya menemukan novel ini di toko buku, saya kira ceritanya tentang komplotan anak kecil bandel yang senang berburu burung. Namun setelah saya mencoba cek spoiler- nya di internet, ternyata ini bukanlah sebuah novel anak yang mengisahkan tentang burung-burung, melainkan sebuah mahakarya luar biasa tentang betapa rakusnya manusia memboikot sesama manusia lainnya. Sebuah kisah yang benar-benar bakal menyentuh hati bagi pembaca yang membenci ketidakadilan. “To Killl Mockingbird” adalah sebuah novel fenomenal karya Harper Lee yang telah memenangi Pulitzer Prize. Novel dengan label “must read” bagi remaja dan orang tua karena penuh keteladanan.
Kisah dalam novel ini berawal dari sebuah keluarga kecil di Maycomb Country yang terdiri atas seorang pengacara lokal bernama Atticus Finch beserta kedua anaknya—Jean Louise Finch (Scout) dan Jeremy Atticus Finch. Tersebutlah juga sosok Arthur “Boo Radley sebagai sosok kunci nan misterius dari rangkaian cerita yang akan dikisahkan dalam novel ini. Dari generasi ke generasi, citra keluarga Radley memang dapat dikatakan tidak baik atau bahkan cenderung aneh. Mereka tidak pernah ke gereja dan lebih memilih menutup diri dari sekitar. Jarang atau bahkan tak pernah ditemui Mrs. Radley duduk-duduk di beranda menggosipkan gaya rambut terbaru sambil minum teh dengan para tetangga. Mr. Radley—suaminya—pun  juga seorang “pembeli kapas”—istilah yang sopan untuk pengangguran. Pekarangan rumah mereka ditumbuhi kacang pecan liar yang menurut desas-desusnya beracun. Sepanjang hidup Scout dan Jem sampai saat itu, semua hal tentang keluarga Radley tak lebih dari sekadar mitos.
Scout adalah gadis kecil yang cerdas, pemberani, serba ingin tahu, dan agak tomboy. Ia lebih senang memakai kemeja dan overall pria daripada rok dan kamisol serta lebih memilih menghabiskan waktu dengan kakaknya daripada harus membantu memasak di dapur. Menjadi anak bungsu dari keluarga yang cukup terpandang, nyatanya tidak serta merta membuatnya menjadi seorang gadis yang bermanja-manja kepada sang ayah. Terkadang ia malah membenci Atticus dengan segala keputusannya. Kakaknya—Jem—adalah anak laki-laki berummur 10 tahun yang sedang beranjak remaja. Terkadang perilaku kekanak-kanakannya masih nampak dalam setiap keputusan yang ia ambil dalam permainan, marah tanpa alasan jelas kepada Scout, dan berbohong kepada Atticus tentang rencana gilanya. Terkadang pula ia berusaha untuk menjadi lelaki terhormat, menjaga adiknya, dan berjalan tegak dengan pandangan ke depan, persis seperti yang Atticus lakukan.
Scout dan Jem memiliki sahabat yang datang dari Meridian—Mississippi, bernama Dill Harris. Dill sedang melewatkan liburan musim panas bersama bibinya—Miss Rachel—di Maycomb. Semenjak kedatangannya, Scout dan Jem menjadi jarang di rumah. Mereka lebih sering menghabiskan waktu di pekarangan keluarga Radley dengan harapan dapat mengusik keluarga itu. Pernah suatu ketika Scout menggelinding berputar-putar dalam sebuah ban dan terjungkal tepat di depan tangga pintu utama Radley house. Pada saat dunianya sedang berputar, perutnya mual dan ia mendengar kikikan samar yang berasal dari rumah menyeramkan itu. Dan yaa.. Kejadian tersebut benar-benar membuatnya takut setengah mati.
Keluarga Atticus memiliki pembantu seorang Afro Amerika bernama Calipurnia. Menurut Atticus, di samping mengurusi segala macam urusan rumah tangga, Cal juga memenuhi kebutuhan sosok ibu bagi Jem dan Scout saking ketulusannya begitu besar dalam merawat mereka. Atticus memang tak pernah pandang bulu dalam menilai kebaikan seseorang, meskipun orang tersebut adalah seorang nigger—kulit hitam. Atticus adalah sosok lelaki egaliter yang sangat patut dijadikan teladan, baik dari segi profesional maupun dari segi figur seorang ayah. Atticus merupakan cerminan orang tua demokrat yang humanis dan seorang profesional yang taat pada aturan. Ia adalah tipe orang yang lebih memilih duduk manis membaca surat kabar daripada harus menghabiskan waktu untuk kegiatan lain yang dirasa kurang bermanfaat. Semua paradigma dalam bingkai kehidupannya tercermin dalam sikapnya yang selalu bersahaja dan rendah hati. Tak pernah sekali pun ditemui ia mengucapkan kata-kata kasar dan terjun dalam sebuah percekcokan dengan tetangga. Seburuk apapun perkataan mereka, Atticus memandang bahwa semua itu memang hak mereka untuk berbicara dan berpendapat.
Sebagai seorang pengacara di kota kecil, Atticus juga tak dapat terlalu memaksakan diri untuk merahasiakan setiap masalah dari kliennya, meskipun nurani dan etika sebagai pengacara sangat membatasi perihal tersebut. Masalah-masalah itu bagaikan asap yang telah membaur dengan sudut-sudut tanah Maycomb, menyeruak ke dalam akar-akarnya, dan menumbuhkan “wabah” baru di antara penduduknya. Sebagian menampakkan diri secara nyata namun sebagian lagi memilih diam, tak acuh, dan lebih senang menjadi penonton. Kemudian satu di antara wabah itu terangkat ke permukaan, merubah kehidupan keluarga Atticus yang semula baik-baik saja dan terpandang sebagai keluarga terhormat di tanah Maycomb menjadi bahan gunjingan ketika pihak pengadilan memintanya membela sebuah kasus. Kasus yang menghadirkan enigma baru dari sebuah tanda tanya besar tentang keberadaan nurani dalam jiwa manusia. Anak gadis keluarga Ewell—Mayella Violet Ewell—dilaporkan telah dipukul dan dilecehkan secara seksual oleh seorang kulit hitam bernama Tom Robinson. Peristiwa tersebut benar-benar membuat geger penduduk Maycomb. Keluarga Ewell adalah keluarga kulit putih, kasar, dan tak berpendidikan yang tinggal di sebuah lingkungan kumuh di tepian kota, sedangkan Tom Robinson adalah seorang keturunan negro yang sejak berdirinya Maycomb, segala hal tentang nigger selalu dikaitkan dengan kerusuhan dan kejahatan. Massa terbelah ke dalam dua pihak, namun tidak dengan Atticus. Ia akan membela Robinson, meski ia tahu resiko dari keputusannya mungkin lebih menakutkan dari kelihatannya. Sebab ancaman itu berasal dari kaumnya sendiri yang kini tengah dibutakan dengan dinding tebal dalam beton-beton prejudice.
Jem dan Scout ikut merasakan kegentingan yang menimpa sang ayah dan keluarganya. Malam-malam terakhir sebelum persidangan musim panas yang akan datang adalah malam-malam yang paling mencekam bagi mereka. Di tambah dengan kehadiran adik Atticus—bibi Alexandria— dari Finch’s Landing yang datang untuk menetap juga semakin memperkeruh keadaaan. Bibi Alexandria adalah sosok yang kaku dan dingin bagaikan puncak Everest. Kebiasaannya mengoceh tentang keluarga Finch yang terhormat membuat Jem dan Scout semakin tersiksa berada di rumah. Cemoohan demi cemoohan pun lambat laun juga mulai bermunculan dari para tetangga. Suatu siang, Jem dan Scout sedang melewati pekarangan Mrs. Dubose. Sebuah sapaan yang dilontarkan Mrs. Dubose dengan muka tak bersahabat berujung pada kelemahan Jem dalam mempertahankan fase moralitas sebagai lelaki terhormat. Mrs. Dubose mengatakan bahwa Atticus pecinta nigger dan kehidupannya yang juga memang mirip dengan “sampah-sampah” itu. Jem pun membalas ketakbiadaban perkataan Mrs. Dubose dengan merusak kuncup-kuncup semak kamelianya. Atticus mengetahui hal tersebut dan apa yang sebelumnya menurut Jem benar ternyata tidak sejalan dengan pemikiran sang ayah. Alhasil, Jem pun diberi hukuman untuk membacakan cerita selama beberapa minggu oleh Mrs. Dubose. Jem membacakan novel Ivanhoe karya sastrawan Skotlandia—Sir Walter Scott—dalam ruangan mengerikan bersama Mrs. Dubose yang terbaring kaku dan tak kalah mengerikannya. Mulut wanita itu penuh dengan liur dengan lidah yang menari-menari. Suaranya ketika mendengkur bahkan terasa aneh teredam dalam mulut keriputnya.  Hukuman yang menakutkan itu berakhir pilu saat bunyi jam beker penanda tugas telah selesai tak pernah berbunyi lagi. Hari dimana hukuman yang terasa menakutkan menjadi hari-hari yang bakal dinanti dan dirindukan. Sebuah kotak permen hadiah terakhir dari Mrs. Dubose diterima Jem. Kotak itu berisikan setangkai Snow-in-the-Mountain—kamelia putih—yang dikelilingi gumpalan kapas lembab. Sebuah pemberian perempuan tua berpenyakit yang menurut Atticus adalah perempuan paling pemberani—sangat bertolakbelakang dengan umpatan-umpatan yang dilontarkan Mrs. Dubose kepadanya.
Sebenarnya dalam rentetan peristiwa ini, Atticus bisa saja melepaskan kasus Robinson dengan mudah dan tetap mempertahankan status nenek moyang keluarga Finch sebagai keluarga terpandang dan terhormat di seantero Maycomb. Tetapi nyatanya ia malah berkehendak lain. Menurut Atticus, kasus ini bukanlah sebatas pembelaan kaum nigger saja, melainkan juga sebuah prinsip hidup dan tanggung jawab yang harus ia tanamkan pula pada kedua anaknya. “Kasus ini menyangkut hakikat nurani manusia—Scout, tak ada gunanya aku pergi ke gereja dan beribadat kepada Tuhan kalau aku tidak mencoba menolong dia.” Kata Atticus dalam kebimbangan dan kecemasan Scout.
***
Setting waktu yang diangkat Lee dalam kisah ini adalah tahun 1930-an. Di mana pada masa itu, Amerika memang sedang diselimuti oleh bayang-bayang racial segregation yang parah. Rasisme kulit putih terhadap kulit hitam berlangsung secara masif bagaikan awan hitam berkabung yang melingkupi langit-langit Maycomb dan Amerika. Sebuah masa yang cocok diusung untuk membeberkan kebobrokan jiwa manusia dengan egosentrisnya yang angkuh. Sebuah masa yang membutakan mata hati manusia dalam tirani agung prasangka. Sebuah masa yang menghidupkan pemahaman Scout kecil tentang kehidupan dalam artian benar dan salah, hitam dan putih, dan area di antara mereka (grey area). Grey area adalah simbol dari konformitas yang tertendensi pada pengaruh paling kuat dalam sebuah kelompok. Jika benar adalah putih dan salah adalah hitam, maka abu-abu adalah sebuah keragu-raguan, kekuatan yang rapuh, dan kelemahan yang memihak.
Lee menggunakan sudut pandang orang pertama lewat peran Scout untuk menguliti setiap tokohnya. Bahasa yang digunakan pun juga cenderung ringan dan diselingi humor, meski tema yang diangkat sangat berbobot karena berkaitan dengan konflik rasial. Dari awal bab, ia sengaja mengajak pembaca menerka-nerka misteri tentang tokoh “Boo” Radley secara buta. Siapa sebenarnya dia? Apa tujuan penulis menghadirkan tokoh seperti dia?  Apakah dia benar-benar menakutkan seperti yang Scout bayangkan ? Atau apakah dia memang BENAR-BENAR ADA? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan terus terngiang dalam pikiran pembaca hingga Lee membelotkan cerita menuju peliknya kasus Robinson. Lewat pemikirannya yang tajam, Lee telah memintal sebuah cerita dengan benang merah yang rapi dan penuh kehati-hatian.
***
Judul yang memikat, Lee hadirkan dengan konsep fenomenologis. Mockingbird—burung yang menyimbolkan arti sebuah keharmonisan dan tak bersalah. Ia adalah sejenis burung murray yang senang mendengungkan suara emasnya tanpa mengusik ketenangan yang lain. Dalam kisah ini, ia merepresentasikan sosok Boo Radley sekaligus Tom Robinson. Dua tokoh yang menjadi tumbal nafsu kolektif pada era dimana Scout hidup. Kemudian Lee membeberkan fakta bahwa dalam kehidupan, terkadang kita lebih sering dihadapkan oleh kenyataan-kenyataan semu di balik propaganda prasangka. Kenyataan yang membuat diri kita terayun-ayun dalam realita tak kasat mata, membenarkan sesuatu yang belum tentu benar atau membenci hanya karena itu tampak pantas untuk dibenci. Lalu bagaimanakah kita dapat mengupas kebenaran tanpa harus menyentuh kebencian…???Temukan sendiri jaawabannya di dalam novel ini guysJ


Review Novel "To Kill A Mockingbird"

Romansa di Kota Penuh Mimpi

Sutradara         : Damien Chazelle
Produser          : Fred Berger, Gary Gilbert, Jordan Horowitz, Marc Platt
Penulis             : Damien Chazelle
Pemeran          : Ryan Gosling, Emma Stone, John Legend, Rosemarie DeWitt, JK. Simmons
Musik              : Justin Hurwitz
Sinematografi  : Linus Sandgren
Penyunting      : Tom Cross
Produksi          : Gilbert Films, Impostor Pictures, Marc Platt Productions
Distributor       : Summit Entertainment
Rilis                 : 9 Desember 2016 (Amerika Serikat)
                          31 Agustus 2016 (Festival Film Venesia)
Durasi             : 128 menit
Negara             : Amerika Serikat
Bahasa             : Inggris
Anggaran        : $30 juta
Pendapatan     : $174,9 juta
kotor
            Hai, readers. Pada kesempatan kali ini, saya akan memberikan sebuah review ke kalian tentang sebuah film yang wajib ditonton nih… Ya sebenarnya film ini sudah lama dirilisnya yaitu tahun 2016. Tetapi berhubung saya nggak sempat buat download filmnya sendiri, jadinya saya terpaksa dehh harus nunggu lama buat ngopi ini film dari teman kampus…
            Judul filmnya adalah La La Land. Kalian tahu apa artinya La La Land? Yah. Pertama kali saya mendengar kata-kata itu, pikiran saya langsung terjun ke dunia fairy tale nya Disney. Semacam Wonderland-nya Alice atau Neverland-nya Peterpan lah. Pokoknya inti ceritanya tentang dunia dongeng gitu. Tapi pas nonton sendiri filmnya, Subhanallah, saya jadi melongo sendiri. Oke, ternyata berbagai penghargaan yang telah diraih film ini nampaknya nggak bakal membuat kecewa publik dehh. So,  you must and must watch this movie and enjoy the moments ya guysJ
            Kata “La La Land” yang saya dapat dari situs Wikipedia sendiri merupakan sebuah konotasi dari kota Los Angels lho guys. Dan seperti yang diketahui, bahwa Los Angels atau yang sering disebut dengan “LA” memanglah sebuah kota buat para dreamers yang kepingin menunjukkan dan menguji bakatnya di bidang entertainment. Ternyata sesimpel itu yaa artinya. Wahh dari judulnya saja sudah dibikin penasaran nih, apalagi isi filmnya yaa.
La La Land merupakan sebuah film drama musikal yang dibintangi oleh Emma Stone,  Ryan Gosling, dan disutradarai oleh Damien Chazelle. Film ini telah berjaya dalam ajang Golden Globe Awards 2017 dengan mengumpulkan tujuh piala, termasuk dua bintang sebagai pemeran aktor dan aktris terbaik. La La Land telah memecahkan rekor sebagai film peraih awards terbanyak sepanjang Golden Globe mengalahkan One Flew Over The Cuckoo’s Nest (1975) dan Midnight Express (1978) masing-masing dengan 6 awards. Film ini juga mendapatkan label “certified fresh” dari situs agregat Rotten Tomates dengan skor 92 persen serta mendapatkan pujian selangit ketika diputar secara perdana dalam festival film bergengsi Venice Film Festival.
Film yang menjadi saingan Deadpool dan 20th Century Women dalam ajang Golden Globe Awards 2017 ini berkisah tentang perjuangan Mia dan Sebastian dalam meraih mimpi dan cinta, sekaligus bakal menyuguhkan pemandangan kota Los Angels lengkap dengan segala aktivitasnya yang super sibuk. Mia Dolan (Emma Stone) adalah seorang gadis cantik yang memiliki mimpi menjadi artis terkenal di Hollywood. Berbagai macam casting film ia jalani dan kegagalan demi kegagalan tak menyurutkan niatnya untuk mewujudkan harapan itu. Di samping audisi, ia juga bekerja menjadi seorang barista di sebuah café milik studio Warner Bros. Sedangkan Sebastian Wilder (Ryan Gosling) adalah pecinta Jazz yang idealis. Ia terpaksa bekerja di bar sebagai pianis yang tak sesuai dengan minatnya hanya karena ingin mengumpulkan modal agar dapat membuka bar Jazz sendiri. Kelihaiannya dalam bermain piano menarik perhatian Mia selepas pesta mewah di Hollywood Hills yang melelahkan pada suatu malam dan bertepatan pula dengan pemecatannya oleh sang manajer bar (J.K. Simmons) dalam suasana Christmas.
Pertemuan mereka semakin intens lewat sebuah moment yang tak direncanakan sepulang pesta yang juga dihadiri oleh keduanya. Moment tersebut adalah adegan paling ikonis dan adegan paling diingat dalam penayangan film La La Land, karena diambil dalam suasana subuh dengan background eksklusif kota Los Angels. Kekompakan dan chemistry mereka dalam adegan tersebut sangat tampak natural dan bakal membuat setiap pasangan iri. Sebastian yang charming dengan setelan formalnya dan Mia yang begitu cantik dalam balutan gaun warna kuningnya benar-benar telah berhasil menghidupkan magic hour itu dan meninggalkan sweet impression di hati penonton.
Seiring berjalannya waktu, Sebastian diterima di sebuah band yang cukup bergengsi—The Messengers—yang digagas oleh temannya semasa SMA—Keith (John Legend). Kini ia disibukkan dengan syuting video klip, wawancara, dan tur. Pertemuannya dengan Mia menjadi semakin jarang dan berakhir pada miss communication ketika sebuah pertanyaan dari Mia terucap dalam dinner kejutan yang ia rancang. Mia mempertanyakan tentang impian Seb yang pernah ia ceritakan. Tapi tanggapan Seb malah seolah-olah Mia menghalangi mimpi-mimpinya dan tidak mendukung sama sekali keputusan yang telah ia ambil. Sejak saat itu, hubungan mereka semakin merenggang. Di tambah lagi monolog Mia dalam sebuah panggung drama yang ia biayai sendiri berakhir dengan kekecewaan. Seb tidak datang untuk melihat penampilannya serta kritikan pedas datang dari penonton yang tak sengaja ia dengar semakin membulatkan tekadnya untuk mengakhiri semua impian dan kembali ke rumahnya di Boulder City, Nevada.
Tema yang diusung oleh sang sutradara—Damien Chazelle— dalam film ini memang tak jauh dari aliran musik Jazz. Tema ini pernah ia perkenalkan pula dalam film garapan sebelumnya yang dibintangi oleh Miles Teller yaitu Whiplash. Drummer yang memang doyan film-film berbau musikal ini memang seakan ingin menunjukkan pada dunia bahwa Jazz adalah aliran musik yang benar-benar autentik. Setiap instrumen disusun dan dikemas berbeda tiap harinya untuk menunjukkan keautentikannya itu. Tema jazz yang dibalut dengan kisah romansa dua sejoli memang sebuah skenario yang cenderung klise. Namun Damien berhasil mengemas ke-klise-an itu dengan adegan-adegan yang bakal menghidupkan kembali arti perjuangan sebuah mimpi. Scoring dari Justin Hurwitz pun tak kalah membuat bulu kuduk merinding saking melodramatis.
Penonton akan diajak menyelam ke dalam emosi Emma Stone lewat perannya sebagai gadis dengan impian berapi-api. Diselingi dengan kesedihan, kekecewaan, dan keputusasaan yang secara manusiawi pasti juga bakal dirasakan oleh setiap pemimpi. Kepiawaiannya dalam membawakan emosi lewat “The Fools Who Dream” begitu berimbang dengan keluwesan Ryan Gosling dalam memainkan piano-pianonya. Chemistry di antara keduanya memang sudah tak diragukan lagi mengingat ini adalah kali ketiga kolaborasi mereka setelah Crazy, Stupid, Love (2011) dan Gangster Squad (2013). Lagu “City of Stars” lalu hadir menyelimuti keraguan, ketakterdugaan, dan kasih sayang yang mulai bersemi di antara keduanya. Dijamin dehh, kalian bakal teringat dengan mimpi-mimpi yang pernah diucapkan bersama pasangan.

Pada akhirnya, Damien pun sukses membawakan sebuah ending bittersweet yang akan membuat penonton terperenyak. Ending cerita yang begitu realistis, membawakan serentetan momentum hukum sebab akibat yang kebanyakan cenderung miris. Ketika Mia dan Seb saling beradu pandang di akhir perpisahan mereka, penonton akan dituntun menuju perjalanan flashback ke masa lalu. Sebuah perjalanan waktu yang tidak patut untuk disesali, apalagi jika harus mengorbankan masa depan dan impian. Lewat film ini, Damien mengajarkan kita untuk ikhlas. Cinta memang tak saling memiliki dan begitulah kenyataan hidup yang sebenarnya. Lewat impian, Mia dan Seb dipersatukan, tapi lewat impian pula, mereka dipisahkan untuk sebuah alasan yang lebih baik. 

Review Film La La Land (2016)

"Inkonsistensi Rasa"

Sejumput kamboja menghiasi haribaan
Bergetar, berguling, hilang di antara tanah impian
Dulu...
Dulu sekali...
Ketika matamu masih bisa terpejam
Nyaman dan enak dalam belaian kain sulaman
Kau tak sedikitpun bergeming
Menatap langit-langit tanpa merasa malu dan merinding
Kau rasa... tak ada yang benar-benar bisa menggagumu
Cicak, jangkrik, semut ??
Toh mereka hanyalah segelintir makhluk dungu
Kau bilang...
Kaulah pemilik waktumu...
Kaulah penguasa dirimu...
Tapi mengapa kini kau tinggalkan itu semua
Amarah, benci, duka, bahagia, cinta..
Apalagi merindu...
Usang dengan sendirinya tanpa perlu kau pinta
Itukah konsistensi rasamu??

Tak ada yang benar-benar bisa kau pahami
Sebagaimana lembah yang tak pernah kau jamahi... 

Inkonsistensi Rasa

“Kisah Tentang Rindu-The Story of Longing“

Ia adalah bahagia. Kala itu, guratan langit senja nampak di langit sebelah barat. Pelan dan perlahan. Mengubah cahaya dalam keremangan. Angin meliuk-liuk di sekitar lembah. Hari yang begitu damai dan sunyi. Ia datang dengan senyuman. Wajahnya mengiaskan kebahagiaan mendalam. Ia membawa tas ransel di punggungnya, sambil sesekali memegangi jam tangan kelabu di tangan kirinya. Wajahnya cerah, mengubah suasana senja menjadi sedikit merona. Hatiku damai. Membayangkan ia duduk disampingku, bercerita tentang sesuatu yang tak seharusnya diceritakan. Mengisahkan dongeng-dongeng waktu kecil yang terdengar agak bodoh. Atau bercerita tentang rasa ini yang mulai bersemi tanpa layu.
Harum. Kemudian aku merasakan keharuman yang memekat. Di dadanya, kudengar detak jantungku sendiri. Hingga senja pun, kini telah menjadi gulita. Aku tetap berada dalam dekapannya. Dari harum kini menjadi hangat. Aku merasakan kehangatan langit sore. Langit merah jambu yang pernah menemaniku beberapa saat lalu. Ketika semua orang pergi dan datang hilir mudik tanpa bisa menghampiri. Pekikan burung camar lalu mencuat. Mengisahkan tentang samudera yang selalu didera ombak. Menggambarkan palung-palung dalam yang tak pernah menerima cahaya. Tak tahu harus berbuat apa. Tak tahu harus berkata apa. Seperti itulah rasaku saat ini. Rasa kasih yang datang dengan tidak perlahan. Hingga aku pun terasa takut untuk menyentuh jantungku. Takut membayangkan dentuman nadi hanya akan memutar waktu. Waktu yang hanya akan meninggalkan kisah dan memoar tentang kita.
Tubuhku terasa penuh. Tak tahan menahan rasa yang begitu besar. Aku merindukannya dalam lalu lalang orang di batas kota. Berharap ia muncul lagi seperti dulu. Membawakan senyumannya tanpa henti. Melambaikan tangan kuatnya kepadaku. Mengajakku menari dalam gelak tawa dan membawaku melesat dalam kerumunan cahaya. Aku merindukannya saat aku terjatuh. Aku mengingatnya saat aku tersenyum. Dan aku merasakan kehadirannya saat aku hanya sendiri.
Dan tak terasa, rasa itu kini telah menyatu dengan diri. Rasa itu adalah nyawa. Nyawa yang terisi kala ia menyentuhku dalam doa. Nyawa yang akan tetap ada meskipun ragaku sudah tiada. Entah, sejak kapan rasa ini mulai meradang. Melambungkan letupan air dengan rona merahnya,. Mengalir deras dalam tubuh yang penuh nestapa. Ialah darah yang bergejolak penuh hasrat. Hingga jantungku dibuatnya berdebar, bergetar, penuh makna, dan penuh warna. Warna yang merubah potret masa lalu yang kelam menjadi panorama alam yang menyejukkan. Oh engkau yang ada di sana. Apakah engkau masih mendengar aku? Apakah engkau masih mengingat aku? Apakah engkau masih sama seperti yang dulu? Dan apakah engkau masih memendam rasa yang selama ini kita diamkan?
Fajar kemudian tiba. Akupun mulai berjalan perlahan, menapaki langit kering yang begitu cerah. Bersama kicauan burung pipit yang berdecit melewati kabel listrik yang tertempa cahaya. Membayangkan wajahnya dalam kerumunan awan yang menggumul. Tapi langit pagi itu bagaikan teluk. Biru jernih tanpa riak air. Hanya terlihat beberapa noda putih dibagian sudutnya. Lalu aku melihat orang-orang di kejauhan. Sedang berlari dan bergandeng tangan. Dan aku pun teringat kembali pada masa-masa itu. Masa disaat aku sering bersamanya, melihat bahu dan lengannya, meskipun tanpa ada tangan yang saling memegang.
Setelah itu, aku merasa sepi, sendiri. Tak kuat menahan rindu yang kian menggebu. Suara-suara dikepalaku mulai terngiang. Bagai ombak di musim penghujan yang memecah karang. Rindu. Rindu ini adalah engkau. Salahkah aku jika merindukan engkau? Padahal purnama pun juga tahu, bahwa kita adalah dua musim yang berbeda. Dua musim yang sama melalui waktu, namun dengan kisah yang mungkin tak bisa menyatu. Semusim. Aku membayangkan kita dalam cerita semusim. Tapi yang ada adalah dua musim, tiga musim, bahkan empat musim. Pergantian musim kian beradu. Tak mengenal lelah dan terus melaju. Waktu ini aku adalah musim panas, sedangkan engkau adalah musim dingin. Kemarin aku musim gugur dan engkau adalah musim semi. Begitulah kehidupan. Berputar dan bergulir. Membawa kenangan dan angan, ke dalam jutaan tanda tanya besar dalam hadapan.
Cerita terus berputar. Melewati batas-batas asa dan harapan. Aku tetap diam, berpijak dengan kaki yang mulai lelah. Setelah berhari-hari mengejar bayangmu, di kala matahari lelah memuncak. Aku duduk di bawah pohon rindang, dengan dahannya yang begitu kuat. Menapaki fatamorgana rumput–rumput kering bunga lili liar dari kejauhan. Panas hari, lalu merogoh kulit. Memaksa keringat keluar dan kemudian menguap. Hingga embun pagi pun terasa enggan untuk menetes dalam resapan.
Wahai Tuhan, apa arti semua ini? Bagaimana aku harus bersikap? Bagaimana aku harus berbuat? Aku menjalani hari tanpa kenangan, menapaki kerikil tanpa alasan, membasuh dahaga tanpa balasan. Aku merasa hampa. Apakah engkau mendengar doaku ya Tuhan? Aku merasa sedih dan aku juga merasa lelah. Aku tertatih, tersandung, dan terjungkal. Sendiri...tanpa bayangnya. Kutangkupkan kedua tanganku. Kurasakan hela nafasku. Perlahan, namun pasti. Aku bisa melihat, mendengar, dan aku merasa, keadaan diriku, dan dunia sekitarku. Semuanya berputar, terus berputar. Bak rotasi. Ritmenya tetap, namun tanpa suara, tanpa iringan. Sekejap kemudian aku kembali terjaga. Kutatap langit, yang kurasa semakin meluas. Kulihat parasmu, dalam jutaan bintang, yang menjamur dan berangkaian, melukiskan rasi-rasi.
Lembaran kisah ini sungguh pilu. Kisah drama penuh satir. Aku tertawa dalam diam. Menangis dalam riang.  Kepada siapa aku harus mengadu? Tak seorang pun tahu dan tak seorang pun mengerti. Kisah ini adalah drama, yang lahir di dalam drama. Ialah silokui Shakespare. Bedanya ini adalah nyata. Tak ada reka ulang, tak ada skenario. Cinta, kehidupan, dan kematian, saling berkejaran. Dialah yang memiliki cinta, tapi dekat dengan kematian. Dialah yang memiliki kehidupan, tetapi jauh dari cinta. Dialah yang memiliki kematian, pastilah sirna oleh kehidupan.
Sepercik kemudian aku mengingatmu lagi. Ketika berkendara dalam taman berangin. Waktu itu adalah siang. Siang yang cukup panas untuk tetap dikenang. Aku melewati perkebunan hijau yang cukup subur. Ditumbuhi sayur mayur dengan keharuman pupuk. Aku memandang langit dengan mata tersipit. Kulihat cahaya dibalik dedaunan. Terasa indah dan penuh deruan. Kemudian aku melewati jajaran pinus. Daunnya hijau,  tegak berdiri. Aku bersamanya, melewati dengan riang. Tak ada kata yang sanggup kuucap, selain cinta dan cinta. Cintanya kepadaku dan cintaku kepadanya. Dua rasa yang saling beradu. Menghadirkan kehidupan dengan berjuta keindahan.
Kukisahkan lagi kala musim penghujan tiba. Ketika itu, ia dan aku belum begitu mengenal. Kita berdua berdiri dengan saling berhadapan. Aku dengan duniaku dan ia dengan dunianya. Aku dengan gedung warna biru dan ia dengan gedung warna kelabu. Saat itu, hujan jatuh dengan deras. Hingga harum baunya tak tercium oleh hujan. Pun juga aku. Dunia kita tak begitu sama. Lalu mengingat itu, hatiku perih. Perih mengenang masa-masa yang tak begitu kukenal. Aku menangis dalam tidur. Tanpa hangat dan harum tubuh moleknya. Hingga hari-hari yang lalu, senyumnya samar kulihat, dalam pejam mataku dan gelap cahayaku.
Tuhan, hari ini aku mengadu. Mengadu kepada-Mu, bukan kepada makhluk-Mu. Hanya Engkaulah yang bisa mendengar, hanya Engkaulah yang bisa merasa, dan hanya Engkaulah yang lebih tahu dari siapapun yang Maha Tahu. Aku butuh Engkau. Tak ada siapapun yang rela mendengar jeritku selain Engkau, Sang Maha Pemurah dan Maha Mendengar. Aku takut dan aku selalu takut. Waktu ini cepat berlalu, sedangkan dentingan waktu bukanlah aku yang Maha Tahu. Aku tak bisa membayangkan, masa depanku tanpa dirinya. Aku tak bisa membayangkan, gelapku tanpa hadirnya. Aku sungguh takut. Takut hari esok hanya akan berbuah sisa. Sisa hidup saat ini yang terukir manis dalam dada. Kemudian cemas, menjalar ke seluruh tubuh. Membahasi badan dengan keringat dinginnya. Ketakutan ini telah meremukkanku. Ketakutan ini telah melumpuhkanku. Kurasa, rindu ini tak punya ujung. Rindu ini semu belaka. Kemudian aku teringat masa kecilku. Masa-masa yang penuh dengan goresan tinta dan gelak tawa. Apakah aku merindukan masa kecilku? Dengan lantang aku menjawab “iya..”  Aku merindukan kaki kecilku yang dulu, tangan kecilku yang dulu, dan gigi ompongku yang dulu. Waktu itu aku tak mengenal rindu. Aku hanya mengenal tawa dan juga tangis. Namun apa daya, bumi terus berputar, bintangpun juga terus berpijar. Tak ada langkah yang sebegitu goyahnya dalam menakhlukan masa. Hingga pasang surutnya laut pun sudah menjadi biasa. Siang begitu panas dan malam begitu dingin. Begitulah kehidupan.

Lalu siang merebah menjadi malam. Malam yang kurasa begitu damai. Hingga angin pun terasa lirih untuk mendengung. Jantungku berdetak dengan lembut.  Rindu? Pantaskah aku terlalu merindukan hamba-Mu, hingga aku harus mengabaikan-Mu? Pantaskah aku harus memikirkannya setiap hari, tanpa sedikitpun harus memikirkan perasaan-Mu? Nyatanya, aku hanyalah seorang hamba. Hamba yang diciptakan oleh-Mu agar aku bisa berbakti kepada-Mu. Kurasa, ini adalah petunjuk yang benar. Benar untukku agar aku selalu mengingat-Mu, dalam siang dan malam, dan dalam suka maupun duka. Tanpa harus berpikiran lagi, untuk dapat menduakan-Mu, dengan hamba-hamba-Mu yang lain di dunia ini.

Kisah Tentang Rindu

Pagi hari ini, memang masih sepi. Aku berjalan sendirian, menyusuri jalan tanah berbatu menuju sekolah yang jaraknya dua kilometeran dari rumah singgah. Di sepanjang perjalanan, aku berpapasan dengan iring-iringan orang dari arah berlawanan. Mereka memanggul gundukan-gundukan besar di dalam karung yang terlihat memberatkan. Di barisan belakang, terlihat beberapa wanita dewasa dan anak kecil menjinjing tas berukuran besar kecil berisikan sayur mayur. Mereka adalah para pedagang. Mereka baru saja pulang dari pulau seberang untuk membawakan kehidupan bagi masyarakat desa. Sebentar lagi saat fajar benar-benar tiba, mereka akan membuka lapak-lapak kecil di sekitar lapangan desa. Aku masih teringat ketika mereka mengacung-acungkan ubi kearahku ketika aku baru saja tiba di tempat ini. Bahasanya tidak begitu kukenal. Tetapi tujuannya jelas, untuk menjajakan dagangannya. Mungkin semacam teknik marketing.
Raut wajah mereka sudah tampak lesu meski matahari belum muncul sempurna. Kucuran keringat dan hembusan nafas yang menggebu-gebu membaur menjadi satu, menggumpal membentuk semangat yang ditujukan untuk mengobati kelunglaian fisik setelah seharian melalui perjalanan panjang . Semangat itu lahir karena adanya harapan untuk untung, pikirku. Tak ada yang lebih baik daripada mendapatkan untung dan mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari di sini.
Di persimpangan jalan berikutnya, iring-iringan pedagang itu mulai habis. Aku pun mengambil arah jalan ke kanan dan kembali merasakan kengerian yang kurasakan setiap  pagi selama beberapa hari ini. Aku menyentuh perutku, berharap tidak mual karena terlalu memikirkan ketakutan-ketakutan akan ketidaknyamananku, namun lebih berharap untuk merasakan rasa lapar yang meronta-ronta. Kurasakan perutku mulai bergemuruh dan bergetar hebat. Lambungku kembang kempis. Nampaknya, rasa lapar itu benar-benar telah mengambil alih akal warasku.
Tak sampai beberapa menit berjalan, aku akhirnya tiba di sebuah bangunan berukuran sedang, satu-satunya bangunan yang kupikir terbaik di antara bangunan desa lainnya. Aku melihat cahaya di dalam bangunan itu. Warnanya kuning meremang. Uap dari atapnya mengepul tinggi. Pertanda beberapa masakan sedang diolah dan beberapa mungkin sudah siap sedia. Daun pintu ganda bangunan itu terbuka setengah bagian, karena memang hari belum sempurna . Di beberapa sudut meja sudah nampak beberapa orang yang terlihat asyik nongkrong sambil minum kopi. Mengocehkan sesuatu tentang tangkapan ikan hari ini. Mereka mengenakan kupluk-kupluk kumal dan sarung lusuh untuk menghangatkan tubuh gempal mereka. Penampilannya mengerikan menurutku. Nelayan yang lebih mirip dengan gambaran maling dan begundal di daerah asalku.
“Mau makan apa Bapak Guru...?” pemilik warung itu mengagetkanku. “Emm. Pesan papeda pake ikan ini sama teh hangat ya Ibu...” Jawabku spontan. “Siap Bapak Guru..” Ibu itu meringis sebentar memperlihatkan barisan gigi-giginya yang putih rata, di balik keremangan cahaya kuning lilin yang mulai meredup karena terkena terpaan sinar matahari fajar dari luar jendela. Dan seperti biasanya, seperti tangan yang sudah terlatih bertahun-tahun. Dengan gerakan secepat kilat, ibu itu mengambil piring dan menuangkan secaruk papeda beserta lauk di atasnya hanya dengan waktu seperkian detik. Aku pun hampir melongo dibuatnya. Rasanya aku baru mengedipkan mata beberapa kali setelah aku menunjuk lauk yang aku pikir itu bukan lauk yang kemarin aku pesan. Dan beberapa waktu yang berlalu itu, kini telah bertransformasi menjadi sepiring papeda di hadapan, lengkap dengan lauk yang terlihat asing bagiku.
Aku mengambil alih sepiring papeda itu dari tangan kekar si ibu pemilik warung dan mulai berjalan menuju tempat duduk di dekat tungku perapian. Seketika, aroma hunian warung itu terasa mengorbit di benakku. Beriringan dengan pemandangan kosong melompong pagi hari di luar jendela kayu yang tampak tidak dibuat persegi. Membuatnya menjadi semacam bingkai lukisan. Membentuk ritme kehidupan yang elegan dan berpacu membentuk history.
Ini adalah kali keempat aku makan di warung ini. Jelas saja, warungnya memang hanya buka setiap hari sabtu dan hari minggu. Itupun kalau cuaca sedang cerah. Kata Ibu pemilik warung, lima hari tersisa adalah untuk mengumpulkan bahan yang akan dimasak. Ketika warung tutup, suasana warung akan menjadi senyap. Tak ada lagi remang warna kuning dan kepulan asap. Kanan kiri warung hening karena memang tak ada bangunan lain. Bangunan terdekat hanyalah bagunan sekolahan yang berjarak beberapa puluh meter dari warung. Yang sebenarnya bangunan itu juga tak bisa dilihat dari jalanan depan warung.
Air liurku mengalir di dalam leher dengan pelan ketika  bubur sagu itu kuaduk-aduk dengan lauknya. Memikirkan kenikmatannya sekaligus merasakan lambung yang mengkerut karena dari kemarin siang lambung itu tidak terisi sesuatu apapun gara-gara aku terlalu sibuk membenahi genteng rumah singgah yang bocor. Lalu lebih dari itu, aku juga berharap santapan pagi ini dapat menekan rasa laparku selama seharian nanti.
 Sebelum mulai makan, aku menatap ke depan menghadap langit dan pepohonan. Berdoa dan iseng-iseng menawarkan makanan pada angin yang berhembus lewat. “Selamat makan kawan... Emmm” Satu sendok papeda masuk ke mulutku dengan senang hati. Namun, baru sepersekian detik kemudian ketika papeda dan lauk berwarna kuning itu mendarat di lidahku, aku langsung mengeluarkannya kembali. Insting indra perasaku seakan menolak sengit makanan itu dan aku mulai merasakan sesuatu menjalar ke seluruh tubuh. Aku merasa akan muntah dan perutku kembali terasa mual. Makanan apa ini...? aku mengulak-alik seisi piring papeda dan berharap menemukan tulang-tulang ikan agar bisa kutebak lauk apa yang sedang aku makan.
Rasanya tak ada yang lebih nikmat dari makanan hasil laut di sini. Beberapa menu andalan termasuk cumi asap memang jarang ditemui selain hari minggu. Tetapi ini beda dari daging cumi. Teksturnya lembek dan tidak kenyal serupa ampas tahu. Selain lembek aku juga menemukan sedikit tekstur kasar yang aneh. Berbentuk semacam bola dan agak bergerigi. Akhirnya, kuputuskan untuk tidak melanjutkan sarapan pagi ini. Lauk asing itu sudah cukup untuk mengisi sebagian lambungku yang mungkin sebagian lainnya akan kuisi dengan lebih banyak  air.
Air. Ya air. Aku ingat aku tadi memesan teh hangat. Kutolehkan kepalaku ke meja tempat aku memesan dan berusaha mencari-cari dimana gerangan si ibu berada. Ibu itu tidak ada di sana. Apa si ibu itu lupa dengan pesananku..? biasanya tidak. Aku berdiri dan berjalan mendekati perapian. Kucondongkan kepalaku agak ke perapian dan berusaha mengintip ruang dapur yang ada di dalam lewat celah pintu yang terbuka separuh. Kulihat sekelebat bayangan dan aku kembali ke posisiku semula. Merapikan sesuatu yang mestinya tidak perlu untuk dirapikan. Ibu itu melangkah mantap keluar dari dalam dapur. Tangan kanannya memegang gagang cangkir teh sedangkan tangan kirinya berusaha menyangganya dengan memegangi piring kecil di alas gelasnya.
Gigi-gigi putih ratanya kembali dia munculkan, sampai-sampai bibirnya yang tebal bisa melebar dan terlihat tipis memanjang. Aku jadi teringat dengan orang-orang yang kutemui beberapa hari lalu di dermaga pelabuhan ketika aku baru tiba di sini. Senyumannya tak kalah cemerlang dengan yang ini. Senyuman khas penduduk desa yang sarat dengan keramah-tamahan.
“Maaf Bapak guru, tehnya lama sekali.., tadi saya lupa menaruh daun tehnya dimana..” kata ibu itu sambil menyerahkan tehnya kepadaku. “Tidak apa-apa ibuu...” aku tersenyum dan menganggap kata-kataku barusan adalah lucu karena kuusahakan semirip mungkin dengan aksen si ibu. “Oh, ya ibu... Boleh aku tanya. Lauk kuning-kuning yang dipiring itu ikan apa ..?” aku melanjutkan. “Ahahaha. Itu daging bulu babi Bapak guru.. bagaimana rasanya, pasti mantap kannn...” Ibu itu tertawa lebar sambil sedikit berjengit ke belakang. “Itu tadi masakan bulu babi yang aku masak dengan bumbu kuning Bapak Guru...”
“Emm.. Namanya apa Ibu masakannya..? Tanyaku. “Papeda ikan kuah kuning Bapak guru.., Bapak guru mau bungkus kah buat makan nanti sore..?? Kepalaku menggeleng lebih dulu untuk bereaksi, sebelum kata-kata dari bibirku mampu terucap...“Emm, tidak usah Ibu.. nanti kalau kepingin makan papeda ikan kuning biar saya datang ke sini saja...” Jawabku sembari kembali menyruput teh hangat yang berada dalam genggaman tanganku. “Semuanya habis berapa Ibu...?” Aku mendongak kembali menatap si Ibu. “Semuanya dua puluh lima ribu Bapak guru...” jawab si Ibu dengan lantang.
“Ini Ibu... Terimakasih, makanannya mantap sekali...” mataku tiba-tiba menatap sekeliling ruangan. Berharap tidak ada yang memperdulikan tingkahku barusan. Mungkin akan terasa aneh untuk dilihat apabila tingkahku tadi diamati lebih teliti. Semuanya memang hanya terlihat akting. Akting ini sama halnya kulakukan ketika pertama kali aku tahu bahwa toilet di desa ini adalah sebuah galian besar memanjang yang hanya dibatasi sekat pembatas dari kain sobek-sobek. Betapa mengenaskannya perasaanku waktu itu. Sudah menahan buang air di ubun-ubun tetapi malah terpampang oleh pemandangan orang-orang yang nampak duduk berjongkok di sana sini separuh telanjang tanpa rasa malu sedikit pun. Awalnya tubuhku kaku dengan pemandangan itu, namun lambat laun kuusahakan untuk tidak menampakkan keterkejutan yang berlebih. Aku tetap berjalan menuju jamban dengan bibir menggumamkan kata-kata yang kupikir bisa memberi sugesti yang baik terhadapku “Aku harus terbiasa...aku harus terbiasa... semuanya akan baik-baik saja... ini adalah keunikan mereka... aku tidak boleh menganggap keunikan mereka adalah sesuatu yang jelek dan menjijikkan...”
Aku mengulangi kata-kataku tersebut sambil berjalan keluar dari warung. Aroma khas hunian warung itu terasa memudar ketika aku sudah berada di depan pintu bagian luar. Di bawah sebuah tiang kayu yang papannya bergambarkan bekas poster salah satu calon kepala daerah. Aku heran termanggut-manggut ketika berusaha memikirkan hiruk pikuk pemilihan kepala daerah, di mana sang kepala daerah terpilih nantinya akan bersenang-senang dengan jabatan dan kemewahan fasilitas. Sedangkan masyarakat sebagai pemilih seperti masyarakat desa ini tetap berjuang membanting tulang sekuat tenaga hanya untuk menyambung hidup. Mencari uang untuk makan dan makan untuk mengisi energi kembali agar bisa mencari uang lagi. Sebuah siklus memilukan yang hanya akan dialami oleh sebagian orang-orang tertinggal dan terlupakan, seperti penduduk desa ini.
Aku mendongakkan kepala sedikit ke atas. Berusaha menatap langit yang terasa ikut berkabung. Langit itu tidak mendung. Hanya saja kelihatan masih muram karena sinar matahari belum menyinari awan-awan dengan sempurna. Aku pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju sekolah. Jaraknya sudah begitu dekat. Gerbang utamanya saja sudah kelihatan ketika aku baru sampai pada belokan kiri pertama dari arah warung tadi. Gerbangnya dari kejauhan nampak sangat sederhana namun rapi. Dipatok dengan seadanya supaya kayu-kayunya berjajar membentuk pagar. Pintu gerbangnya juga dibuat berbeda dari yang lain. Kedua sisi penyangganya agak ditinggikan dengan alih-alih atasan yang dibuat melengkung, tetapi lebih ke persegi.
“Ting..ting..ting...” Bunyi bel sekolahan dari kejauhan dipukul tiga kali, pertanda jam masuk kelas. Para siswa terlihat berhamburan. Mereka datang dari berbagai penjuru untuk berjejal menuju pintu gerbang utama sekolahan. Dari arah belakangku juga muncul dua orang siswa yang tiba-tiba berhenti dengan nafas yang terengah-engah. Sepatu diikatkan di leher mereka. Disampul seadanya dengan mengaitkan tali sepatu kanan dengan tali sepatu kiri. Sedangkan kaki mereka sendiri dibiarkan telanjang. Penuh lumpur dan kotoran tanah. Dua siswa ini tinggal di pedalaman pulau sekitar hutan. Jaraknya bisa empat kali lipat dari jarak rumah singgah ke sekolahan. “Selamat pagi Bapak guru...” mereka menyapaku sambil berusaha mengibaskan kucuran keringat di dahi mereka dengan lengan baju. “Pagi Stephy, Tibo.. Ayo, sebelum masuk sekolah sepatunya dipakai dulu..” Aku memerintah mereka sambil menunjuk batu di pinggir jalan yang sekiranya dapat mereka pakai untuk duduk dan selanjutnya membiarkan mereka membungkus kaki-kaki kecil mereka dengan sepatu-sepatu tak layak pakai itu.
“Apa Buni tidak masuk lagi hari ini...? Tanyaku sambil menunggu mereka mengenakan sepatu. “Tidak Bapak guru, tadi pagi ketika berangkat ke sini kami berjumpa dengan Buni di hutan, nah Buni memberitahu kami kalau hari ini dia tidak masuk sekolah lagi...padahal saya sudah beritahu kepada mama Buni agar mama Buni meminta Buni untuk sekolah, tetapi mama Buni malah marah-marah kepada kami...” Mereka bangkit tampak tak menghiraukan dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. “Ayo Bapak guru, kami sudah selesai memakai sepatu..” Aku tidak menjawab ajakan mereka, aku hanya tersenyum dan mengayunkan tanganku sebagai pertanda aku menyetujui ajakan mereka. Aku berjalan pelan. Berusaha pelan agar aku bisa mengikuti bekas tapak kaki mereka dari belakang.
Setibanya di sekolahan, Stephy dan Tibo langsung menyeruak masuk ke dalam kelas. Aku memandang mereka berlari, hingga mereka akhirnya hilang dari pandangan. Aku sendiri pun juga berbelok arah menuju ruang guru. Ruangan yang lebih sempit daripada ruang kelas siswa. Isinya tidak nampak mewah. Di pojok ruangan, terdapat sebuah lemari reyot yang terdiri dari tiga bagian rongga. Rongga tengah adalah rongga yang terbesar dan utama. Rongga ini berisi buku-buku pelajaran kusam dan beberapa kumpulan arsip siswa yang tidak tertata rapi. Rongga bagian bawahnya adalah rongga yang lebih kecil dari rongga bagian tengah. Isinya adalah peralatan-peralatan yang diperlukan untuk mengajar, seperti kapur dan penghapus. Sisanya adalah peralatan-peralatan yang sebagian besar tak kutahui fungsinya apa dan mengapa benda-benda itu diletakkan di situ. Rongga atas adalah yang paling kecil di antara semua rongga. Rongga yang selalu terkunci rapat dan tidak pernah sekali pun aku melihatnya terbuka.
Selebihnya, ruangan itu hanya berisikan satu buah meja dan tiga buah kursi. Mejanya tidak bertaplak dan berwarna coklat memudar pada bagian pinggirnya, mungkin akibat gaya gesek dari kulit lengan yang kasar. Di pinggir jendela, nampak satu-satunya barang yang kuanggap paling menarik di sini. Sebuah kalender. Menggantung dengan gagah, menampilkan pemandangan alam raja ampat. Bertuliskan “KOPERASI SIMPAN PINJAM” dengan huruf kapital tebal. Saya masih terheran-heran dengan cara kalender itu bisa sampai ke ruangan ini. Padahal jarak desa dengan koperasi yang ada di kota terdekat hampir mencapai puluhan kilometer. Itupun harus ditambah dengan menyeberangi lautan. Apakah itu hadiah dari seseorang, pikirku. Coretan dalam angka-angkanya itulah yang menyebabkan aku meragukan kalender itu milik salah seorang guru di sini. Coretan itu berisi kata-kata yang bahkan tidak dapat disamakan dengan tulisan Bapak Frans atau Ibu Teresa.
“Selamat pagi Bapak Frans, Ibu Teresa...” Aku menyapa kedua orang yang selama bertahun-tahun sudah menjadi penghuni tetap ruangan itu dengan sedikit senyuman. “Pagi Bapak guru Ranu... Wahh. Bagaimana kabarnya Bapak hari ini. Sehat kah..? Sudah kerasan kah..? Pak Frans berceloteh tentang kabarku hari ini dengan suara seraknya, sedangkan ibu Teresa terlihat sedang sibuk menulis sesuatu di samping Bapak Frans. “Baik Bapak Frans.. sepertinya saya sudah kerasan sejak pertama kali menginjakkan kaki di sini” Jawabku tersenyum sembari meletekkan tas jinjing di kursi dan mengeluarkan isinya.
“Saya ke kelas dulu Bapak Frans,...” Kata Ibu Teresa. Dia bangkit dari kursinya membawa beberapa kertas yang telah dia coreti tadi. “Mari Bapak Ranu...” dia menyapaku dengan tatapan khas penduduk sini. Yang pastinya disertai dengan senyuman. “Iya Ibu Teresa...” kubungkukkan badanku sedikit ke depan dengan maksud menghormatinya. Lalu aku kembali lagi menghadapkan pandanganku ke Bapak Frans dan siap untuk menjelaskan sesuatu kepadanya “Ow iya Bapak... Begini, saya dari kemarin sudah mengumpulkan data-data dari salah seorang siswa yang bernama Buni. Buni sudah seminggu lebih tidak masuk sekolah. Sepertinya kita perlu cari tahu apa yang menyebabkan Buni jadi jarang masuk sekolah. “ Jelasku.
“Ow masalah seperti itu tidak terlalu dipikirkan Bapak Ranu. Kita fokus saja dengan ujian semester yang akan dilakukan beberapa minggu lagi. Tidak usah mengurusi sesuatu yang kurang penting seperti itu lah“ Suara serak Bapak Frans terasa memenuhi ruangan. Aku masih terngiang memandang ekspresi wajah Bapak Frans yang kikuk disertai pandangan mata yang tidak konstan. Dia kemudian melanjutkan.. “Emm.. Begini Bapak Ranu, hal-hal semacam itu sudah sering terjadi di sini. Bahkan lama sebelum Bapak guru Ranu datang ke sini. Biasanya faktor mereka tidak mau sekolah adalah karena mereka lebih memilih untuk bekerja atau menikah. Itu adalah urusan orang tua mereka. Bukan urusan kita...” Tukasnya.
Aku terdiam sejenak. Berusaha mencerna perkataan Bapak Frans barusan. Dan sesegera mungkin berusaha menyangkal penjelasan dari guru tambun itu dengan berbagai cara “Emm..Maaf Bapak Frans, bukankah sudah menjadi kewajiban kita sebagai guru dan pendidik untuk melayani siswa-siswa yang ingin mendapatkan kesempatan belajar di sini..” Sergahku. Kemudian aku melanjutkan bicara lagi tepat ketika Bapak Frans mau mendebat omonganku “Kita orang mempunyai kesempatan yang sama dalam hal pendidikan, termasuk anak-anak yang kurang beruntung seperti Buni. Dan lagipula, saya pikir tidak semua siswa yang tidak masuk sekolah mempunyai alasan yang sama dengan apa yang telah Bapak Frans jelaskan tadi...?” hidungku kempas-kempis. Mulai merasakan tekanan darah mengalir naik ke ubun-ubun dan mau pecah.
Bapak Frans tiba-tiba berdiri dan menjadikan meja sebagai tumpuan untuk kedua tangannya yang mulai mengepal “Begini Bapak guru Ranu. Saya adalah kepala sekolah di sekolah ini. Saya orang adalah yang berhak memutuskan semuanya di sini... jadi urusan seperti itu biar saya saja yang mengurusi. Bapak Ranu tidak usah terlalu ikut campur”. Pupil Bapak Frans terlihat semakin membesar. Berusaha menekan sesuatu yang seharusnya tidak patut untuk ditampakkan. Beberapa detik kemudian, tatapan matanya terlihat melemah. pupil matanya juga terlihat menormal. Dia kembali duduk ke kursi seperti semula. Menghela nafas lega seperti baru saja melepaskan sebuah kesesakan yang memuakkan. Kedua tangannya dia tangkupkan ke muka sambil menggumamkan sesuatu.
“Maaf Bapak guru Ranu. Saya terlalu emosi. Saya hanya melakukan tugas sebagaimana mestinya dan juga agar Bapak guru Ranu tidak terlalu repot mengurusi anak itu...” dia diam sejenak untuk menghembuskan nafas panjang dan mulai menggumamkan sesuatu lagi dengan tidak jelas. Aku pun juga ikut terdiam dengan keadaan itu. Terpaut oleh medan gaya suasana sumbang yang seakan membuat segala gerak-gerikku terasa kaku dan bagai terekam oleh kamera tersembunyi di balik layar film. Menganggap bahwa setiap gerakanku adalah pemicu ledakan dahsyat yang bakal menghidupkan alarm-alarm tanda bahaya hingga suaranya terdengar seantero negeri.
Tiga detik kemudian, aku melihat sekilas pancaran muka Bapak Frans yang disertai dengan gumaman dan usapan berkali-kali telapak tangan ke mukanya sendiri. Aku menatapnya dengan sengaja karena aku pikir dengan itu aku akan bisa tanggap ketika sesuatu hal yang tak kuharapkan terjadi kepadaku. Pancaran itu seperti benar-benar menyiratkan sebuah maksud yang terpendam. Seolah-olah sedang memikirkan suatu hal dengan daya juang penuh. Mencoba mengatakan atau melakukan sesuatu untuk merubah suasana satir yang telah dia buat sendiri.
 “Ow iya Bapak guru Ranu, saya punya ini untuk Bapak guru Ranu koreksi hari minggu besok...” dia mengeluarkan setumpuk kertas berwarna putih kusam dari dalam kotak yang tepat berada di samping kiri kursinya. “Apa ini Bapak Frans..?” Aku kembali memberanikan diri untuk bertanya kepadanya. “Ini adalah hasil ulangan siswa beberapa hari yang lalu. Saya sudah koreksi sebagian, sebagian lagi belum. Nah, coba Bapak guru Ranu koreksi dulu dan nanti Senin serahkan ke saya..!” Pintanya sambil meletakkan setumpuk kertas itu tepat di atas meja yang ada di depanku.
“Emm.. Baik Bapak Frans, saya akan menyerahkan hasilnya hari Senin depan..” aku mengambil tumpukan kertas itu dengan sedikit enggan. Rasa kecewa itu masih sangat terasa. Mengingat kembali dengan apa yang telah terjadi beberapa menit yang lalu. Aku juga mulai merasa masygul, tak tahu harus berbuat apa sambil tetap menjejalkan secara perlahan tumpukan kertas ulangan siswa itu pada celah tas yang terlihat masih muat untuk diisi. Kemudian aku berdiri dan mulai memohon pamit kepada Bapak Frans untuk masuk ke dalam kelas.
Suasana kelas hari ini sangat ricuh seperti biasanya. Suara-suara itu sama seperti hari kemarin. Tak pernah ada yang sepenuhnya aku mengerti. Aku berusaha mengendalikan kelas tetapi tetap saja ada yang membangkang. Sampai-sampai aku hampir bertekad diri untuk melambungkan gagang sapu kepada mereka agar jera. Tetapi nuraniku ternyata lebih tangguh daripada emosiku yang sesaat. Aku pikir, tidak sepantasnya aku berbuat demikian kepada mereka. Sebab, aku adalah seorang yang terdidik. Sebagai seorang yang terdidik, aku seharusnya bisa menyadarkan mereka dengan cara-cara yang terdidik pula. Tidak dengan kekerasan seperti itu. Hanya saja saat ini aku masih belum bisa menemukan cara yang pas untuk memberikan pemahaman kepada mereka tentang semua ini. Tentang pendidikan yang selayaknya harus diberikan kepada generasi-generasi muda yang terlalu polos dan masih mustahil untuk bisa diberdirikan di garda paling depan bangsa sebagai barisan pejuang pembela tanah air seperti mereka.
Kelas yang kuajar hari ini adalah kelas 3 dan 4. Jumlah total siswa ada 10 orang. 6 untuk kelas 4 dan 4 untuk kelas 3. Model kelas di sekolahan ini memang dibuat kelas rangkap. Jadi total ruang kelas ada 3 kelas. Setiap ruang kelas berisi siswa dari dua kelas tingkatan. Kelas 1-2, kelas 3-4, dan kelas 5-6. Model kelas rangkap memang diterapkan di sekolahan ini karena mengingat ruang kelas yang ada tidak bisa mencukupi kuota ruang kelas yang seharusnya, yaitu 6 ruang kelas. Selain itu, siswa sekolahan ini juga tidaklah banyak. Total siswa dari kelas 1-6 pada tahun pelajaran ini saja hanya berjumlah 19 orang siswa. Hal ini dapat diartikan bahwa kemauan dan kesempatan pendidikan bagi masyarakat desa ini masih tergolong rendah. Mengingat laju pertumbuhan sumber daya manusia dan persaingan global di luar sana yang semakin meningkat.
Waktu mengajar terus bergulir. Aku memberikan pelajaran tentang matematika dasar untuk kelas 4 dan pelajaram membaca untuk kelas 3. Aku memberikan pelajaran itu kepada mereka dengan sedapatnya, karena aku sendiri memang bukanlah lulusan dari tenaga pendidik untuk tingkatan sekolah dasar yang memiliki bekal ilmu-ilmu tertentu. Aku adalah seorang konselor. Yang kupegang teguh di sini hanyalah sebuah niat yang ikhlas untuk berbagi ilmu dan usaha bantuan untuk permasalahan mereka. Selebihnya adalah tekad semampuku dan sekuat tenaga. Tetapi sejauh ini respon mereka adalah baik. Dan hal ini membuatku semakin semangat untuk menarik mereka terbang melesat menembus batas garis-garis kehidupan dengan mengendarai sesuatu yang aku sebut sebagai ilmu pengetahuan dan imajinasi. Menembus batas-batas relativitas tentang gerak ruang dan waktu, dimana kita tidak hanya terpaku pada kejadian saat ini saja, melainkan  juga kejadian akan masa lalu dan masa depan yang telah dan akan kita alami...
.........
Jam-jam di kelas bersama siswa akhirnya berlalu dengan sendirinya. Dan tanpa terasa waktu yang kulalui bersama mereka sudah cukup lama hingga membuat mataharipun sekarang sudah bergeser sedikit condong ke arah barat. Pertanda lazim bahwa hari sudah mulai sore. Setelah para siswa berhamburan pulang dan aku telah berhasil membereskan kursi-kursi dan meja kelas yang berantakan, aku langsung bersiap diri untuk pulang menuju rumah singgah. Tapi sebelum itu, aku mampir sebentar ke ruang guru untuk berpamitan kepada Bapak Frans dan Ibu Teresa yang juga terlihat sedang bersiap diri untuk meninggalkan sekolahan.
Di sepanjang perjalanan ke rumah singgah aku memikirkan berbagai kenangan tentang hari ini. Tentang hari ini adalah hari yang melelahkan. Dan probabilitasnya memang selalu begitu. Hari dimana aku harus mempunyai masalah dengan orang lain dan hari dimana aku harus bersabar dengan ulah orang lain. Tetapi di luar itu semua, hari ini aku juga menemukan sebuah kunci dari awal perjalananku di tempat ini. Awal yang kumaksud adalah awal yang baik untuk suatu hal yang baik. Awal yang baik tentang Buni. Seseorang yang baru tiga kali aku jumpai. Tentang sosok gadis cilik periang dengan barisan gigi-gigi ompongnya dan tas ranselnya yang compang-camping. Tentang sosok gadis cilik yang hari-hari lalu kukenal sebagai gadis pemberani dan penuh semangat baja. Yang kemudian saat ini semangat dan keberaniannya kurasakan telah hilang bersamaan dengan waktu yang telah berlalu begitu saja. Hilang tertelan gejolak kehidupan masyarakat yang termarjinalisasi oleh aturan mereka sendiri.
Buni. Dimana kau sekarang Nak...? Sepertinya aku harus segera menyiapkan segala sesuatunya untuk mulai mencarimu. Berharap kaki-kaki kecilmu berayun-ayun di bawah dahan yang rindang di puncak bukit di atas sana. Menatap jauh ke depan, ke hamparan laut biru yang penuh dengan tantangan. Bersiap diri akan segala sesuatu yang bakal menerjang. Hingga akhirnya engkau bisa berpijak pada kaki sendiri dan terbang menggunakan sayap-sayap ajaib yang akan engkau rangkai sendiri. Buni adalah cermin generasi masa depan yang sangat disayangkan untuk dibiarkan bersinar sendiri tanpa arahan. Sama halnya dengan ribuan anak di Indonesia yang mungkin saat ini belum bisa merasakan sentuhan akan pendidikan. Yang mereka tidak tahu pasti akan menawannya dunia ini dengan pendidikan dan segala ilmu pengetahuannya. Pendidikan untuk semesta peradaban manusia yang lebih baik.


To be continued...  ~25 Maret 2015~

“Senja di Batas Negeri”