Kisah
Persahabatan Manusia di Tengah Isu Rasial
Judul :
The Blind Side
Sutradara : John Lee Hancock
Rilis : 2010
Durasi : 129 menit
Genre : Drama-biographical-sport
Kehidupan
memang memberikan banyak pilihan untuk dijalani, dan pilihan terkadang tak
semudah apa yang kita bayangkan. Apalagi pilihan yang kita ambil, tidaklah
selaras dengan pemikiran orang kebanyakan. Ya, meskipun itu adalah pilihan kebajikan
yang berasal dari hati nurani manusia sejati. Sebut saja mereka yang sering
menertawakan pilihan kebajikan adalah orang yang buta, meski pada kenyataannya
mereka tidak buta secara fisikal, melainkan buta secara spiritual.
Well,
inilah kisah nyata dari Michael Oher—pemain terbaik bertahan di NFL (National Football League) USA. Michael
memang bukanlah pemain dengan bayaran tertinggi di timnya. Karena dia bukan
seorang quarterback. Namun tanpanya,
mungkin pemain dengan bayaran tertinggi juga takkan pernah menduduki posisinya.
Ibaratkan saja seperti tagihan yang dikeluarkan ibu rumah tangga, yang pertama
pasti adalah tagihan hipotik rumah, namun tagihan kedua yang riskan untuk
disepelekan adalah tagihan asuransi. Ibarat asuransi, Michael memberikan
perlindungan kepada pemain utama (quarterback)
untuk membawa bola ke garis finish
dengan cara menghentikan musuh yang akan merebut bola dari quarterback.
Film
besutan sutradara John Lee Hancock yang diadaptasi dari buku Michael Lewis
yang laris di tahun 2006, dengan judul yang sama “The Blind Side: Evolution Of
A Game” ini secara garis besar
menceritakan tentang kisah nyata dari perjalanan hidup Michael Oher (Quinton AaronTim)—seorang keturunan Afro Amerika—yang
dipelihara oleh negara sejak kecil, kemudian dijadikan anak angkat oleh
keluarga Tuohy. Di mana memang sejak awal, kehidupan dari Michael Oher tidaklah
dapat dikatakan sebagai kehidupan yang ‘good
life’. Sewaktu kecil, Michael telah diambil secara paksa oleh negara dengan
alasan ibunya adalah seorang pecandu narkoba.
Semasa
anak-anak hingga remaja, Michael hidup dengan keluarga asuh. Dengan kenangan
masa kecil yang kelam dan juga kasih sayang yang kurang dari keluarga barunya,
Michael tumbuh menjadi sosok yang pendiam. Ditambah pula dengan badannya yang besar,
tinggi, serta kulit hitam khas Afro Amerika, Michael pun akhirnya mendapatkan
julukan ‘Big Mike’. Selain mendapatkan julukan itu, negara juga menjuluki
Michael sebagai seorang ‘pelari’, karena seringnya ia menghilang dan melarikan
diri dari keluarga asuhnya secara tiba-tiba.
Suatu
ketika Michael didaftarkan di sekolah yang baru oleh ayah temannya sebagai
murid pindahan. Catatan yang ada dari sekolah terdahulu menunjukkan bahwa Michael
adalah murid dengan IQ 80 dan kebanyakan mata pelajarannya mendapatkan nilai
‘D’. Hanya saja Michael agak pandai dalam olahraga. Di sekolah barunya, Michael
bertemu dengan Sean Tuohy, atau biasa dipanggil SJ (Sean Junior) yang diperankan oleh Jae Head.
Lalu,
pada suatu malam yang basah, keluarga Tuohy mendapati Michael berjalan
sendirian di jalanan. Melihat hal tersebut, Leigh Anne (Sandra Bullock) segera
menghampirinya dan menanyakan kemana gerangan tujuan Michael. Karena Michael
adalah seorang tunawisma, maka malam itu ia hanya ingin menghangatkan diri di
gym. Tetapi karena kebaikan hati Leigh Anne, akhirnya Michael pun diajak untuk
tinggal di tempat yang lebih layak daripada gym untuk menghabiskan malam, yaitu
rumahnya.
Sejak
saat itu, Michael tinggal lebih lama dengan keluarga Tuohy. Mulai belajar
permainan football dengan pelatih dan
teman-temannya di sekolah, bahkan juga dengan bantuan dari SJ. Seiring waktu
berjalan, nilai-nilai Michael juga mengalami peningkatan, meski tidak secara
signifikan. Yang lebih mengejutkan adalah ketika Leigh Anne mendapatkan
informasi dari sekolah bahwa Michael unggul 90 % dalam kategori “Protective
Insting”. Inilah yang tidak
disadari Leigh Anne atau siapa pun sejak awal tentang diri Michael. Kebanyakan
orang, bahkan hanya melihat sisi Michael dengan kategori akademiknya saja dan malah
menganggap Michael sebagai murid yang bodoh.
Selama
ini, dukungan dari keluarga Tuohy sangat menggugah jiwa Michael untuk tetap
semangat dalam menjalani hidup di antara masa lalunya yang kelam. Bahkan dalam
sebuah adegan ketika Michael mengalami dilema hebat, Leigh Anne tetap tidak
memaksakan kehendak Michael untuk membuat pilihan hidupnya. “it’s your decision, Michael. It’s your
life. I want you to do, whatever your want”. Itulah kebaikan dan cinta
sejati yang diberikan oleh Leigh Anne kepada Michael. Meski nyatanya, ia
sendiri memang bukanlah ibu biologis dari Michael.
Di
luar cerita, akting dari Sandra Bullock sendiri sebagai Leigh Anne juga sangat
memuaskan. Pada beberapa adegan, ia nampak sangat percaya diri dan elegan dalam
memerankan seorang ibu yang tegas sekaligus baik hati. Maka tak khayal juga,
jika Sandra Bullock pun akhirnya berhasil menyabet juara dalam perhelatan
penghargaan film paling bergengsi dalam perfilman Amerika, yaitu Piala Oscar
sebagai Pemenang Aktris Terbaik pada tahun 2010. Sedangkan film “The Blind
Side” sendiri juga masuk ke dalam daftar nominasi Piala Oscar dalam jajaran
Film Terbaik pada tahun 2010.
Di
samping prestasi, tentunya film “The Blind Side” juga memiliki kelemahan. Di
antaranya adalah munculnya adegan-adegan yang akan membuat penonton merasa boring. Akting dari QuintonAaronTim sendiri dalam memerankan sosok Michael Oher—tokoh
utama yang dikisahkan dalam film—juga tidak terlalu mengesankan sebagaimana akting Sandra Bullock dalam memerankan Leigh Anne.
Kendatipun
demikian, apabila ditilik dari segi isi, film ini sangat direkomendasikan bagi semua
kalangan. Sebab, banyak sekali pesan moral yang perlu diinternalisasikan dan
diaplikasikan dalam kehidupan keseharian. Bagi orang tua, memberikan kebebasan
dalam setiap tindakan anak adalah hal yang bijak, asalkan tetap disertakan
bimbingan dan pengarahan, sedangkan bagi seorang guru, tak ada kata lain selain
memberikan bimbingan, bimbingan dan motivasi. Tak ada murid yang bodoh, yang
ada hanya mereka belum sepenuhnya tahu akan bakat dan kemampuan yang mereka
miliki. Lebih dari itu, film ini nyatanya juga membawakan pesan moral tersendiri
bagi kita dalam mengkonsepkan pemikiran terhadap isu sosial tentang kemajemukan
budaya dan rasial.
Lantas, apakah yang spesial dari kisah Michael
Oher dibandingkan dengan kisah-kisah heroik lainnya seperti kisah Lincoln atau Margaret
Thatcher dalam film biografinya “The Iron Lady”. Tentunya, kisah hidup setiap orang
memiliki jalan pikirannya masing-masing. Lincoln dengan kisah perjuangannya
meloloskan amandemen anti perbudakan dan
Margaret Thatcher dengan kisah kepemimpinannya yang tegas dan ambisius,
sedangkan Michael Oher sendiri memang bukanlah tokoh yang dikisahkan sebagai
seorang yang heroik atau menjadi salah satu tokoh yang dikenang dalam sejarah
seperti Lincoln dan Margaret. Namun yang jelas, kisah Michael yang dihadirkan dalam
film ini nyatanya juga telah berjalan di atas kisahnya sendiri. Kisah yang
tentunya tak kalah menarik dengan kisah heroik Lincoln atau tokoh-tokoh lainnya
yang termaktub dalam buku sejarah. Michael Oher, seorang keturunan Afro-Amerika
yang hidup dalam era yang lebih modern, dengan segala macam problem nyata yang membumbuinya. Kisah
yang menggambarkan persahabatan dari seorang kulit hitam dengan keluarga kulit putih
di tengah-tengah realitas sosial yang ada di Amerika tentang isu rasial. Lalu bagaimana
dan seperti apa sepak terjang perjalanan hidup Michael Oher dari seorang tunawisma
yang nyatanya tak pernah mendapatkan kasih sayang khusus dari orang tua
kandungnya hingga menjadi seorang bintang terkenal di Baltimore Ravens sebagai
pemain terbaik bertahan? Lalu siapakah kelurga Tuohy? Dan apa alasan mereka mengambil
Michael sebagai anak angkat, meski pada awalnya mereka sama sekali tak tahu menahu
soal rahasia Michael? Kisahnya akan dibeberkan secara flashback
di dalam film yang berdurasi 129 menit ini. Selamat menyaksikan.
Review Film The Blind Side
“Menyentuh Imajinasi
Lewat Ambisi ”

“Orang hanya
melihat satu kesuksesan, padahal saya melihat 5000 kegagalan” ~Thomas Alva Edison.
Kunci sukses nyatanya tidak hanya merujuk pada
hasil, tetapi lebih ke dalam proses. Terkadang orang awam mengelu-elukan
kesuksesan seseorang karena orang tersebut telah tampil dihadapan publik
sebagai sosok yang sukses, padahal mereka tidak tahu bagaimana perjuangan
orang-orang sukses dalam mencapai kesuksesannya. Orang-orang benci pada ulat
padahal kupu-kupu adalah hasil perjuangan dari metamorphosis ulat.
Kehadiran
film ini diilhami pula oleh kisah yang menunjukkan bahwa kesuksesan itu tak
segampang membalikkan telapak tangan. Niat dan usaha saja, rasanya tak cukup
untuk menjadikan sebuah hasil perjuangan dikatakan sebagai ‘kesuksesan’. Perlu
keberanian, keuletan, mental
baja, serta tindakan-tindakan cerdik sebagaimana perjalanan Joy dalam film pasang
surut kehidupan berbisnis yang terlalu sayang untuk Anda lewatkan.
Di ceritakan secara flashback oleh sang nenek dari Joy yang diperankan oleh Diane Ladd,
bahwa sejak kecil Joy merupakan seorang anak yang penuh dengan ide dan
penemuan. Ia mampu membuat mainannya sendiri dari kertas kemudian memainkannya
dengan sentuhan imajinasi. Namun seiring berjalannya waktu dan bertambahnya
usia, Joy tidak lagi melakukan penemuan karena tenggelam oleh urusan rumah
tangganya yang kian merumit. Bermula dari dongeng yang ia ceritakan pada
anaknya tentang conggeret yang mampu hidup
terpendam
di tanah dalam kurun waktu 17 tahun, ia
seakan ikut membayangkan kehidupan 17
tahun terakhirnya yang penuh dengan kesia-siaan.
Joy
yang diperankan oleh aktris cantik Jennifer Lawrence berasal dari keluarga broken home yang ketika dewasa menikah
dengan Tony (Edgar Ramirez)–orang yang ia temui dalam kelas musik teman masa
kecilnya, Jackie (Dascha Polanco). Dari pernikahannya dengan Tony ia memiliki
dua orang anak bernama Cristy dan Tommy.
Joy mempunyai saudari tiri—Peggy (Elisabeth Rohm)—dari pernikahan
pertama ayahnya. Dikisahkan bahwa Joy dan Peggy tidak begitu akur, apalagi
dalam urusan bisnis. Ibu Joy—Terry—yang diperankan oleh Virginia Madsen adalah
pecandu sinetron opera sabun. Semenjak perceraian dengan suaminya, ia selalu menghabiskan
waktunya di kamar tidur untuk melihat sinetron, sedangkan ayahnya, Rudy (Robert
De Niro) adalah pemilik bengkel “Rudy’s Truck and Auto Body” yang telah menikah
dengan perempuan lain,
kemudian kembali lagi tinggal bersama Joy setelah dibuang oleh istri barunya.
Sebagai
seorang single parent, Joy berusaha sekuat tenaga memenuhi kebutuhan
keluarga kecilnya. Ibu yang tidak bekerja, dua anak manis dari pernikahannya, sang
nenek, ayah yang temperamen, serta mantan suami yang tinggal di basement merupakan
bagian dari realita kehidupannya
saat ini. Ia bekerja
sebagai staff karyawan di sebuah armada
penerbangan. Namun pekerjaan yang ia lakukan paruh waktu tersebut nyatanya tak jua
memberikannya peluang untuk dapat bertahan dari PHK. Hingga akhirnya, ia harus terjun
ke bengkel milik ayahnya untuk ikut mengurusi pembukuan.
Pada
suatu hari di musim panas, ia diajak oleh Trudy (Isabella Rossellini)—pacar baru
ayahnya—berlayar menggunakan kapal mewah ‘Morris’ bersama Tony, Peggy, dan
ayahnya. Celakanya, geladak kapal ini terbuat dari kayu jati, sedangkan
pantangannya tak ada yang boleh membawa minuman anggur jenis apapun ke atas
kapal—sebab zat
kimia yang terkandung dalam anggur dapat mempercepat pelapukan Jati. Entah
karena kebetulan atau memang takdir, Tony tiba-tiba datang dengan sekotak besar
berisi anggur merah dan sewaktu pesta berlangsung segelas anggur meluncur jatuh
ke geladak dan berakibat pada tangan Joy yang tersayat pecahan gelas saat
mencoba mengepelnya.
Siapa
yang menyangka dari rasa sakit yang dirasakan sewaktu tersayat, Joy mulai memikirkan
ide bagaimana cara mengepel tanpa bersentuhan langsung dengan air, kotoran,
atau bahkan pecahan kaca. Seketika, menggunakan spidol milik anaknya, ia
memulai membuat sketsa imajinasi sebuah pel yang kemudian ia beri nama “Miracle
Pop” –Pel Ajaib. Mungkin terdengar sepele, sebuah alat pel yang notabene
setiap keluarga pasti memilikinya meski hanya sekadar sebagai penghias gudang. Namun kisah yang dibeberkan dalam
film ini sejatinya bukan hanya sebatas ‘alat
pel’ saja. Jelasnya, takkan ada ‘alat pel’ tanpa si pembuat. Alat pel akan
tetap menjadi alat pel dengan segenap fungsinya jika tak memiliki esensi,
sedangkan esensi yang sebenarnya bukan terletak pada alat pel itu sendiri,
melainkan pada bagaimana proses terbentuknya alat pel sehingga memberikan efek
menakjubkan bagi dunia—khususnya dalam bidang industri rumah tangga.
Film
garapan sutradara David O Rossell ini akan menghadirkan sebuah drama renyah yang
diambil dari kisah nyata Joy
Mongano dengan dominasi
unsur komedi inspiratif. Keseriusannya dalam penggarapan film juga nampak pada artis
papan atas Hollywood yang ia gandeng seperti Jennifer Lawrence, Bradley Cooper,
dan Robert DeNiro. Adegan-adegan jenaka yang diselingi kisah pilu kehidupan rumah
tangga dan upaya banting tulang Joy dalam menjual karyanya bagaikan rentetan roller
coaster. Apalagi akting Jennifer Lawrence—yang namanya melejit setelah menjadi pemeran utama
dalam film serial Hunger Games—begitu ambisius, ulet, pantang menyerah, dan
tegas seakan-akan mencerminkan watak dan kepribadian para tokoh sukses dunia. Artis
yang menyabet piala Oscar tahun 2012 sebagai aktris terbaik ini memang sudah
jagonya akting. Debutnya dalam film ‘Joy’ juga merupakan kali keempat ia beradu akting dengan Bradley
Cooper setelah sebelumnya sama-sama menjadi pemeran utama dalam Silver Linings
Books, Serena, dan American Hustle.
Alur
cerita ‘Joy’ memang berakhir dengan kesan menggugah dengan instrumen musik yang
pas. Meski di beberapa bagian, Russel tampak memaksakan adegan hingga berujung
‘miss’. Ia juga membuat narasi Diane Ladd—sang nenek—timbul tenggelam di
sepanjang film bahkan setelah kematian sang nenek.
Albert
Enstein pernah mengatakan bahwa imajinasi itu lebih penting daripada (sekadar) pengetahuan.
Nampaknya hal ini begitu menggelitik kesadaran kita akan kekuatan istimewa yang
terdapat dalam diri setiap individu tersebut. Kita sebenarnya punya kekuatan
itu, hanya saja terkadang kita memilih untuk berimajinasi dalam diam. Padahal maksud
‘imajinasi’ Einstein tidak sebatas konseptual saja, namun juga perlu diimbangi dengan
aplikasi praktis sebagaimana teori relativitas yang ia temukan. Ibarat sebuah kendaraan,
imajinasi adalah tujuan yang akan ditempuh, lalu kita sebagai subjek (yang
terdiri atas unsur bergerak—badan—dan unsur kognitif afektif—jiwa) adalah pengemudi
sekaligus kendaraannya. Agar kendaraan dapat bergerak melaju maka perlu diisi bahan
bakar yang berupa ambisi. Dalam analogi ini, Joy telah bersusah payah menjalankankan
kendaraannya dan Russel sebagai sang sutradara akan mengisahkan kembali perjalanan
tersebut dalam film berdurasi 124 menit ini. Selamat menyaksikan. J
Review Film Joy (2015)
Membunuh Kebenaran
Penulis : Harper Lee
Tebal : 396 halaman
Penerbit : Qanita
“Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga
kau melihat segala sesuatu dari sudut
pandangnya … hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan
caranya.” –Harper Lee dalam To Kill a Mockingbird
Awal saya menemukan novel ini di toko buku, saya kira ceritanya tentang komplotan anak kecil bandel yang senang berburu burung. Namun setelah saya mencoba cek spoiler- nya di internet, ternyata ini bukanlah sebuah novel anak yang mengisahkan tentang burung-burung, melainkan sebuah mahakarya luar biasa tentang betapa rakusnya manusia memboikot sesama manusia lainnya. Sebuah kisah yang benar-benar bakal menyentuh hati bagi pembaca yang membenci ketidakadilan. “To Killl Mockingbird” adalah sebuah novel fenomenal karya Harper Lee yang telah memenangi Pulitzer Prize. Novel dengan label “must read” bagi remaja dan orang tua karena penuh keteladanan.
Kisah dalam novel ini berawal dari sebuah keluarga kecil di Maycomb
Country yang terdiri
atas seorang pengacara lokal bernama Atticus Finch beserta kedua
anaknya—Jean Louise Finch (Scout) dan Jeremy Atticus Finch. Tersebutlah juga
sosok Arthur “Boo” Radley sebagai sosok kunci nan misterius dari rangkaian cerita yang
akan dikisahkan dalam novel ini. Dari generasi ke generasi, citra keluarga
Radley memang dapat dikatakan tidak baik atau bahkan cenderung aneh. Mereka
tidak pernah ke gereja dan lebih memilih menutup diri dari sekitar. Jarang atau
bahkan tak pernah ditemui Mrs. Radley duduk-duduk di beranda menggosipkan gaya
rambut terbaru sambil minum teh dengan para tetangga. Mr. Radley—suaminya—pun
juga seorang “pembeli kapas”—istilah
yang sopan untuk pengangguran. Pekarangan rumah mereka ditumbuhi kacang pecan
liar yang menurut desas-desusnya beracun. Sepanjang hidup Scout dan Jem sampai
saat itu, semua hal tentang keluarga Radley tak lebih dari sekadar mitos.
Scout adalah gadis kecil yang cerdas, pemberani, serba ingin
tahu, dan agak tomboy. Ia lebih senang memakai kemeja dan overall pria daripada rok dan kamisol serta lebih memilih menghabiskan waktu dengan kakaknya daripada harus membantu memasak
di dapur. Menjadi anak bungsu dari keluarga yang cukup terpandang, nyatanya
tidak serta merta membuatnya menjadi seorang gadis yang bermanja-manja kepada sang ayah. Terkadang ia
malah membenci Atticus dengan segala keputusannya. Kakaknya—Jem—adalah anak
laki-laki berummur 10 tahun yang sedang beranjak remaja. Terkadang perilaku
kekanak-kanakannya masih nampak dalam setiap keputusan yang ia ambil dalam
permainan, marah tanpa alasan jelas kepada Scout, dan berbohong kepada Atticus
tentang rencana gilanya. Terkadang pula ia berusaha untuk menjadi lelaki
terhormat, menjaga adiknya, dan berjalan tegak dengan pandangan ke depan, persis
seperti yang Atticus lakukan.
Scout dan Jem memiliki sahabat yang datang dari Meridian—Mississippi, bernama Dill Harris. Dill sedang melewatkan liburan musim panas
bersama bibinya—Miss Rachel—di Maycomb. Semenjak kedatangannya, Scout dan Jem
menjadi jarang di rumah. Mereka lebih sering menghabiskan waktu di
pekarangan keluarga Radley dengan harapan
dapat mengusik keluarga itu. Pernah suatu ketika Scout menggelinding
berputar-putar dalam sebuah ban dan terjungkal tepat di depan tangga pintu utama Radley house. Pada saat dunianya sedang
berputar, perutnya mual dan ia mendengar kikikan samar yang berasal dari rumah menyeramkan itu. Dan yaa.. Kejadian tersebut benar-benar membuatnya takut setengah mati.
Keluarga Atticus memiliki pembantu seorang
Afro Amerika bernama Calipurnia. Menurut Atticus, di samping mengurusi segala
macam urusan rumah tangga, Cal juga memenuhi kebutuhan sosok ibu bagi Jem dan
Scout saking ketulusannya begitu besar dalam merawat mereka. Atticus memang tak
pernah pandang bulu dalam menilai kebaikan seseorang, meskipun orang tersebut
adalah seorang nigger—kulit hitam. Atticus
adalah sosok lelaki egaliter yang sangat patut dijadikan teladan, baik dari
segi profesional maupun dari segi figur seorang ayah. Atticus merupakan cerminan orang tua demokrat yang
humanis dan seorang
profesional yang taat pada aturan. Ia adalah
tipe orang yang lebih memilih duduk manis membaca surat kabar daripada harus
menghabiskan waktu untuk kegiatan lain yang dirasa kurang bermanfaat. Semua paradigma dalam bingkai kehidupannya
tercermin dalam sikapnya yang selalu bersahaja dan rendah hati. Tak pernah
sekali pun ditemui ia mengucapkan kata-kata kasar dan terjun dalam sebuah
percekcokan dengan tetangga. Seburuk apapun perkataan mereka, Atticus memandang
bahwa semua itu memang hak mereka untuk berbicara dan berpendapat.
Sebagai seorang pengacara di kota kecil,
Atticus juga tak dapat terlalu memaksakan diri untuk merahasiakan setiap
masalah dari kliennya, meskipun nurani dan etika sebagai pengacara sangat
membatasi perihal tersebut. Masalah-masalah itu bagaikan asap yang telah
membaur dengan sudut-sudut tanah Maycomb, menyeruak ke dalam akar-akarnya, dan
menumbuhkan “wabah” baru di antara penduduknya. Sebagian menampakkan diri
secara nyata namun sebagian lagi memilih diam, tak acuh, dan lebih senang menjadi
penonton. Kemudian satu di antara wabah itu terangkat ke permukaan, merubah kehidupan
keluarga Atticus yang semula baik-baik saja dan terpandang sebagai keluarga
terhormat di tanah Maycomb menjadi bahan gunjingan ketika pihak pengadilan
memintanya membela sebuah kasus. Kasus yang menghadirkan enigma baru dari
sebuah tanda tanya besar tentang keberadaan nurani dalam jiwa manusia. Anak
gadis keluarga Ewell—Mayella Violet Ewell—dilaporkan telah dipukul dan
dilecehkan secara seksual oleh seorang kulit hitam bernama Tom Robinson.
Peristiwa tersebut benar-benar membuat geger penduduk Maycomb. Keluarga Ewell adalah
keluarga kulit putih, kasar, dan tak berpendidikan yang tinggal di sebuah
lingkungan kumuh di tepian kota, sedangkan Tom Robinson adalah seorang keturunan
negro yang sejak berdirinya Maycomb, segala hal tentang nigger selalu dikaitkan dengan kerusuhan dan kejahatan. Massa
terbelah ke dalam dua pihak, namun tidak dengan Atticus. Ia akan membela
Robinson, meski ia tahu resiko dari keputusannya mungkin lebih menakutkan dari
kelihatannya. Sebab ancaman itu berasal dari kaumnya sendiri yang kini tengah
dibutakan dengan dinding tebal dalam beton-beton prejudice.
Jem dan Scout ikut merasakan kegentingan
yang menimpa sang ayah dan keluarganya. Malam-malam terakhir sebelum
persidangan musim panas yang akan datang adalah malam-malam yang paling
mencekam bagi mereka. Di tambah dengan kehadiran adik
Atticus—bibi Alexandria— dari Finch’s Landing yang datang untuk menetap juga semakin memperkeruh keadaaan. Bibi Alexandria adalah sosok yang
kaku dan dingin bagaikan puncak Everest. Kebiasaannya mengoceh tentang keluarga
Finch yang terhormat membuat Jem dan Scout semakin tersiksa berada di rumah. Cemoohan
demi cemoohan pun lambat laun juga mulai bermunculan dari para tetangga. Suatu
siang, Jem dan Scout sedang melewati pekarangan Mrs. Dubose. Sebuah sapaan yang
dilontarkan Mrs. Dubose dengan muka tak bersahabat berujung pada kelemahan Jem dalam
mempertahankan fase moralitas sebagai lelaki terhormat. Mrs. Dubose mengatakan
bahwa Atticus pecinta nigger dan
kehidupannya yang juga memang mirip dengan “sampah-sampah” itu. Jem pun
membalas ketakbiadaban perkataan Mrs. Dubose dengan merusak kuncup-kuncup semak
kamelianya. Atticus mengetahui hal tersebut dan apa yang sebelumnya menurut Jem
benar ternyata tidak sejalan dengan pemikiran sang ayah. Alhasil, Jem pun diberi
hukuman untuk membacakan cerita selama beberapa minggu oleh Mrs. Dubose. Jem
membacakan novel Ivanhoe karya
sastrawan Skotlandia—Sir Walter Scott—dalam ruangan mengerikan bersama Mrs.
Dubose yang terbaring kaku dan tak kalah mengerikannya. Mulut wanita itu penuh
dengan liur dengan lidah yang menari-menari. Suaranya ketika mendengkur bahkan
terasa aneh teredam dalam mulut keriputnya.
Hukuman yang menakutkan itu berakhir pilu saat bunyi jam beker penanda
tugas telah selesai tak pernah berbunyi lagi. Hari dimana hukuman yang terasa
menakutkan menjadi hari-hari yang bakal dinanti dan dirindukan. Sebuah kotak permen
hadiah terakhir dari Mrs. Dubose diterima Jem. Kotak itu berisikan setangkai Snow-in-the-Mountain—kamelia putih—yang
dikelilingi gumpalan kapas lembab. Sebuah pemberian perempuan tua berpenyakit
yang menurut Atticus adalah perempuan paling pemberani—sangat bertolakbelakang
dengan umpatan-umpatan yang dilontarkan Mrs. Dubose kepadanya.
Sebenarnya dalam rentetan peristiwa ini, Atticus bisa saja melepaskan kasus Robinson
dengan mudah dan tetap
mempertahankan status nenek moyang keluarga Finch sebagai keluarga terpandang
dan terhormat di seantero Maycomb. Tetapi nyatanya ia malah berkehendak lain. Menurut Atticus, kasus ini bukanlah sebatas
pembelaan kaum nigger saja, melainkan
juga sebuah prinsip hidup dan tanggung jawab yang harus ia tanamkan pula pada
kedua anaknya. “Kasus ini menyangkut hakikat nurani manusia—Scout, tak ada gunanya aku
pergi ke gereja dan beribadat kepada Tuhan kalau aku tidak mencoba menolong
dia.” Kata Atticus dalam kebimbangan dan kecemasan Scout.
***
Setting waktu yang diangkat Lee dalam kisah ini adalah
tahun 1930-an. Di mana pada masa itu, Amerika memang sedang diselimuti oleh bayang-bayang
racial segregation yang parah.
Rasisme kulit putih terhadap kulit hitam berlangsung secara masif bagaikan awan
hitam berkabung yang melingkupi langit-langit Maycomb dan Amerika. Sebuah masa
yang cocok diusung untuk membeberkan kebobrokan jiwa manusia dengan
egosentrisnya yang angkuh. Sebuah masa yang membutakan mata hati manusia dalam
tirani agung prasangka. Sebuah masa yang menghidupkan pemahaman Scout kecil
tentang kehidupan dalam artian benar dan salah, hitam dan putih, dan area di
antara mereka (grey area). Grey area adalah simbol dari konformitas
yang tertendensi pada pengaruh paling kuat dalam sebuah kelompok. Jika benar
adalah putih dan salah adalah hitam, maka abu-abu adalah sebuah keragu-raguan,
kekuatan yang rapuh, dan kelemahan yang memihak.
Lee menggunakan sudut pandang orang pertama lewat peran Scout untuk menguliti
setiap tokohnya. Bahasa yang digunakan pun juga cenderung ringan dan diselingi humor,
meski tema yang diangkat sangat berbobot karena berkaitan dengan konflik
rasial. Dari awal bab, ia sengaja mengajak pembaca menerka-nerka misteri
tentang tokoh “Boo” Radley secara buta. Siapa sebenarnya dia? Apa tujuan
penulis menghadirkan tokoh seperti dia? Apakah
dia benar-benar menakutkan seperti yang Scout bayangkan ? Atau apakah dia memang
BENAR-BENAR ADA? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan terus terngiang dalam
pikiran pembaca hingga Lee membelotkan cerita menuju peliknya kasus Robinson. Lewat
pemikirannya yang tajam, Lee telah memintal sebuah cerita dengan benang merah yang
rapi dan penuh kehati-hatian.
***
Judul yang memikat, Lee hadirkan dengan
konsep fenomenologis. Mockingbird—burung
yang menyimbolkan arti sebuah keharmonisan dan tak bersalah. Ia adalah sejenis
burung murray yang senang mendengungkan suara emasnya tanpa mengusik ketenangan
yang lain. Dalam kisah ini, ia merepresentasikan sosok Boo Radley sekaligus Tom
Robinson. Dua tokoh yang menjadi tumbal nafsu kolektif pada era dimana Scout hidup.
Kemudian Lee membeberkan fakta bahwa dalam kehidupan, terkadang kita lebih sering
dihadapkan oleh kenyataan-kenyataan semu di balik propaganda prasangka.
Kenyataan yang membuat diri kita terayun-ayun dalam realita tak kasat mata, membenarkan
sesuatu yang belum tentu benar atau membenci hanya karena itu tampak pantas untuk
dibenci. Lalu bagaimanakah kita dapat mengupas kebenaran tanpa harus menyentuh
kebencian…???Temukan
sendiri jaawabannya di dalam novel ini guysJ
Review Novel "To Kill A Mockingbird"
Romansa di Kota Penuh Mimpi
Sutradara : Damien Chazelle
Produser : Fred Berger, Gary Gilbert, Jordan
Horowitz, Marc Platt
Penulis : Damien Chazelle
Pemeran : Ryan Gosling, Emma Stone, John
Legend, Rosemarie DeWitt, JK. Simmons
Musik : Justin Hurwitz
Sinematografi : Linus Sandgren
Penyunting : Tom Cross
Produksi : Gilbert Films, Impostor Pictures,
Marc Platt Productions
Distributor : Summit Entertainment
Rilis : 9 Desember 2016 (Amerika
Serikat)
31 Agustus 2016 (Festival Film Venesia)
Durasi
:
128 menit
Negara :
Amerika Serikat
Bahasa : Inggris
Anggaran : $30 juta
Pendapatan : $174,9 juta
kotor
Hai, readers. Pada
kesempatan kali ini, saya akan memberikan sebuah review ke kalian tentang sebuah film yang wajib ditonton nih… Ya
sebenarnya film ini sudah lama dirilisnya yaitu tahun 2016. Tetapi berhubung
saya nggak sempat buat download
filmnya sendiri, jadinya saya terpaksa dehh harus nunggu lama buat ngopi ini film dari teman kampus…
Judul filmnya adalah La
La Land. Kalian tahu apa artinya La
La Land? Yah. Pertama kali saya mendengar kata-kata itu, pikiran saya
langsung terjun ke dunia fairy tale
nya Disney. Semacam Wonderland-nya
Alice atau Neverland-nya Peterpan
lah. Pokoknya inti ceritanya tentang dunia dongeng gitu. Tapi pas nonton
sendiri filmnya, Subhanallah, saya jadi melongo sendiri. Oke, ternyata berbagai
penghargaan yang telah diraih film ini nampaknya nggak bakal membuat kecewa publik dehh. So, you must and must watch this
movie and enjoy the moments ya guys…J
Kata “La La Land” yang saya dapat dari situs Wikipedia
sendiri merupakan sebuah konotasi dari kota Los Angels lho guys. Dan seperti yang diketahui, bahwa Los Angels atau yang sering
disebut dengan “LA” memanglah sebuah kota buat para dreamers yang kepingin menunjukkan dan menguji bakatnya di bidang entertainment. Ternyata sesimpel itu yaa
artinya. Wahh dari judulnya saja sudah dibikin penasaran nih, apalagi isi filmnya
yaa.
La La Land
merupakan sebuah film drama musikal yang dibintangi oleh Emma Stone, Ryan Gosling, dan disutradarai oleh Damien
Chazelle. Film ini telah berjaya dalam ajang Golden Globe Awards 2017 dengan
mengumpulkan tujuh piala, termasuk dua bintang sebagai pemeran aktor dan aktris
terbaik. La La Land telah memecahkan
rekor sebagai film peraih awards terbanyak sepanjang Golden Globe mengalahkan One Flew Over The Cuckoo’s Nest (1975) dan
Midnight Express (1978) masing-masing
dengan 6 awards. Film ini juga mendapatkan label “certified fresh” dari situs agregat Rotten Tomates dengan skor 92
persen serta mendapatkan pujian selangit ketika diputar secara perdana dalam
festival film bergengsi Venice Film
Festival.
Film
yang menjadi saingan Deadpool dan 20th Century Women dalam
ajang Golden Globe Awards 2017 ini berkisah tentang perjuangan Mia dan
Sebastian dalam meraih mimpi dan cinta, sekaligus bakal menyuguhkan pemandangan
kota Los Angels lengkap dengan segala aktivitasnya yang super sibuk. Mia Dolan (Emma
Stone) adalah seorang gadis cantik yang memiliki mimpi menjadi artis terkenal
di Hollywood. Berbagai macam casting
film ia jalani dan kegagalan demi kegagalan tak menyurutkan niatnya untuk
mewujudkan harapan itu. Di samping audisi, ia juga bekerja menjadi seorang barista
di sebuah café milik studio Warner
Bros. Sedangkan Sebastian Wilder (Ryan Gosling) adalah pecinta Jazz yang
idealis. Ia terpaksa bekerja di bar sebagai pianis yang tak sesuai dengan
minatnya hanya karena ingin mengumpulkan modal agar dapat membuka bar Jazz
sendiri. Kelihaiannya dalam bermain piano menarik perhatian Mia selepas pesta mewah
di Hollywood Hills yang melelahkan pada
suatu malam dan bertepatan pula dengan pemecatannya oleh sang manajer bar (J.K.
Simmons) dalam suasana Christmas.
Pertemuan
mereka semakin intens lewat sebuah moment
yang tak direncanakan sepulang pesta yang juga dihadiri oleh keduanya. Moment tersebut adalah adegan paling ikonis
dan adegan paling diingat dalam penayangan film La La Land, karena diambil dalam suasana subuh dengan background eksklusif kota Los Angels.
Kekompakan dan chemistry mereka dalam
adegan tersebut sangat tampak natural dan bakal membuat setiap pasangan iri.
Sebastian yang charming dengan
setelan formalnya dan Mia yang begitu cantik dalam balutan gaun warna kuningnya
benar-benar telah berhasil menghidupkan magic
hour itu dan meninggalkan sweet impression
di hati penonton.
Seiring
berjalannya waktu, Sebastian diterima di sebuah band yang cukup bergengsi—The Messengers—yang digagas oleh
temannya semasa SMA—Keith (John Legend). Kini ia disibukkan dengan syuting
video klip, wawancara, dan tur. Pertemuannya dengan Mia menjadi semakin jarang
dan berakhir pada miss communication
ketika sebuah pertanyaan dari Mia terucap dalam dinner kejutan yang ia rancang. Mia mempertanyakan tentang impian
Seb yang pernah ia ceritakan. Tapi tanggapan Seb malah seolah-olah Mia
menghalangi mimpi-mimpinya dan tidak mendukung sama sekali keputusan yang telah
ia ambil. Sejak saat itu, hubungan mereka semakin merenggang. Di tambah lagi
monolog Mia dalam sebuah panggung drama yang ia biayai sendiri berakhir dengan kekecewaan.
Seb tidak datang untuk melihat penampilannya serta kritikan pedas datang dari
penonton yang tak sengaja ia dengar semakin membulatkan tekadnya untuk
mengakhiri semua impian dan kembali ke rumahnya di Boulder City, Nevada.
Tema
yang diusung oleh sang sutradara—Damien Chazelle— dalam film ini memang tak
jauh dari aliran musik Jazz. Tema ini pernah ia perkenalkan pula dalam film garapan
sebelumnya yang dibintangi oleh Miles Teller yaitu Whiplash. Drummer yang
memang doyan film-film berbau musikal ini memang seakan ingin menunjukkan pada
dunia bahwa Jazz adalah aliran musik yang benar-benar autentik. Setiap
instrumen disusun dan dikemas berbeda tiap harinya untuk menunjukkan keautentikannya
itu. Tema jazz yang dibalut dengan kisah romansa dua sejoli memang sebuah
skenario yang cenderung klise. Namun
Damien berhasil mengemas ke-klise-an itu dengan adegan-adegan yang bakal menghidupkan
kembali arti perjuangan sebuah mimpi. Scoring
dari Justin Hurwitz pun tak kalah membuat bulu kuduk merinding saking melodramatis.
Penonton
akan diajak menyelam ke dalam emosi Emma Stone lewat perannya sebagai gadis
dengan impian berapi-api. Diselingi dengan kesedihan, kekecewaan, dan
keputusasaan yang secara manusiawi pasti juga bakal dirasakan oleh setiap
pemimpi. Kepiawaiannya dalam membawakan emosi lewat “The Fools Who Dream” begitu berimbang dengan keluwesan Ryan Gosling
dalam memainkan piano-pianonya. Chemistry
di antara keduanya memang sudah tak diragukan lagi mengingat ini adalah
kali ketiga kolaborasi mereka setelah Crazy,
Stupid, Love (2011) dan Gangster
Squad (2013). Lagu “City of Stars”
lalu hadir menyelimuti keraguan, ketakterdugaan, dan kasih sayang yang mulai
bersemi di antara keduanya. Dijamin dehh, kalian bakal teringat dengan
mimpi-mimpi yang pernah diucapkan bersama pasangan.
Pada
akhirnya, Damien pun sukses membawakan sebuah ending bittersweet yang akan membuat penonton terperenyak. Ending cerita yang begitu realistis,
membawakan serentetan momentum hukum sebab akibat yang kebanyakan cenderung
miris. Ketika Mia dan Seb saling beradu pandang di akhir perpisahan mereka,
penonton akan dituntun menuju perjalanan flashback
ke masa lalu. Sebuah perjalanan waktu yang tidak patut untuk disesali, apalagi
jika harus mengorbankan masa depan dan impian. Lewat film ini, Damien
mengajarkan kita untuk ikhlas. Cinta memang tak saling memiliki dan begitulah kenyataan
hidup yang sebenarnya. Lewat impian, Mia dan Seb dipersatukan, tapi lewat
impian pula, mereka dipisahkan untuk sebuah alasan yang lebih baik.
Review Film La La Land (2016)
"Inkonsistensi Rasa"
Sejumput kamboja menghiasi haribaan
Bergetar, berguling, hilang di antara tanah impian
Dulu...
Dulu sekali...
Ketika matamu masih bisa terpejam
Nyaman dan enak dalam belaian kain sulaman
Kau tak sedikitpun bergeming
Menatap langit-langit tanpa merasa malu dan
merinding
Kau rasa... tak ada yang benar-benar bisa menggagumu
Cicak, jangkrik, semut ??
Toh mereka hanyalah segelintir makhluk dungu
Kau bilang...
Kaulah pemilik waktumu...
Kaulah penguasa dirimu...
Tapi mengapa kini kau tinggalkan itu semua
Amarah, benci, duka, bahagia, cinta..
Apalagi merindu...
Usang dengan sendirinya tanpa perlu kau pinta
Itukah konsistensi rasamu??
Tak ada yang benar-benar bisa kau pahami
Sebagaimana lembah yang tak pernah kau jamahi...
Inkonsistensi Rasa
“Kisah Tentang Rindu-The Story of Longing“
Ia
adalah bahagia. Kala itu, guratan langit senja nampak di langit sebelah barat.
Pelan dan perlahan. Mengubah cahaya dalam keremangan. Angin meliuk-liuk di
sekitar lembah. Hari yang begitu damai dan sunyi. Ia datang dengan senyuman.
Wajahnya mengiaskan kebahagiaan mendalam. Ia membawa tas ransel di punggungnya,
sambil sesekali memegangi jam tangan kelabu di tangan kirinya. Wajahnya cerah,
mengubah suasana senja menjadi sedikit merona. Hatiku damai. Membayangkan ia
duduk disampingku, bercerita tentang sesuatu yang tak seharusnya diceritakan.
Mengisahkan dongeng-dongeng waktu kecil yang terdengar agak bodoh. Atau
bercerita tentang rasa ini yang mulai bersemi tanpa layu.
Harum.
Kemudian aku merasakan keharuman yang memekat. Di dadanya, kudengar detak
jantungku sendiri. Hingga senja pun, kini telah menjadi gulita. Aku tetap
berada dalam dekapannya. Dari harum kini menjadi hangat. Aku merasakan
kehangatan langit sore. Langit merah jambu yang pernah menemaniku beberapa saat
lalu. Ketika semua orang pergi dan datang hilir mudik tanpa bisa menghampiri. Pekikan
burung camar lalu mencuat. Mengisahkan tentang samudera yang selalu didera
ombak. Menggambarkan palung-palung dalam yang tak pernah menerima cahaya. Tak
tahu harus berbuat apa. Tak tahu harus berkata apa. Seperti itulah rasaku saat
ini. Rasa kasih yang datang dengan tidak perlahan. Hingga aku pun terasa takut
untuk menyentuh jantungku. Takut membayangkan dentuman nadi hanya akan memutar
waktu. Waktu yang hanya akan meninggalkan kisah dan memoar tentang kita.
Tubuhku
terasa penuh. Tak tahan menahan rasa yang begitu besar. Aku merindukannya dalam
lalu lalang orang di batas kota. Berharap ia muncul lagi seperti dulu.
Membawakan senyumannya tanpa henti. Melambaikan tangan kuatnya kepadaku. Mengajakku
menari dalam gelak tawa dan membawaku melesat dalam kerumunan cahaya. Aku
merindukannya saat aku terjatuh. Aku mengingatnya saat aku tersenyum. Dan aku
merasakan kehadirannya saat aku hanya sendiri.
Dan
tak terasa, rasa itu kini telah menyatu dengan diri. Rasa itu adalah nyawa. Nyawa
yang terisi kala ia menyentuhku dalam doa. Nyawa yang akan tetap ada meskipun
ragaku sudah tiada. Entah, sejak kapan rasa ini mulai meradang. Melambungkan letupan
air dengan rona merahnya,. Mengalir deras dalam tubuh yang penuh nestapa. Ialah
darah yang bergejolak penuh hasrat. Hingga jantungku dibuatnya berdebar, bergetar,
penuh makna, dan penuh warna. Warna yang merubah potret masa lalu yang kelam menjadi
panorama alam yang menyejukkan. Oh engkau yang ada di sana. Apakah engkau masih
mendengar aku? Apakah engkau masih mengingat aku? Apakah engkau masih sama
seperti yang dulu? Dan apakah engkau masih memendam rasa yang selama ini kita
diamkan?
Fajar
kemudian tiba. Akupun mulai berjalan perlahan, menapaki langit kering yang begitu
cerah. Bersama kicauan burung pipit yang berdecit melewati kabel listrik yang tertempa
cahaya. Membayangkan wajahnya dalam kerumunan awan yang menggumul. Tapi langit
pagi itu bagaikan teluk. Biru jernih tanpa riak air. Hanya terlihat beberapa
noda putih dibagian sudutnya. Lalu aku melihat orang-orang di kejauhan. Sedang
berlari dan bergandeng tangan. Dan aku pun teringat kembali pada masa-masa itu.
Masa disaat aku sering bersamanya, melihat bahu dan lengannya, meskipun tanpa
ada tangan yang saling memegang.
Setelah
itu, aku merasa sepi, sendiri. Tak kuat menahan rindu yang kian menggebu. Suara-suara
dikepalaku mulai terngiang. Bagai ombak di musim penghujan yang memecah karang.
Rindu. Rindu ini adalah engkau. Salahkah aku jika merindukan engkau? Padahal purnama
pun juga tahu, bahwa kita adalah dua musim yang berbeda. Dua musim yang sama melalui
waktu, namun dengan kisah yang mungkin tak bisa menyatu. Semusim. Aku membayangkan
kita dalam cerita semusim. Tapi yang ada adalah dua musim, tiga musim, bahkan
empat musim. Pergantian musim kian beradu. Tak mengenal lelah dan terus melaju.
Waktu ini aku adalah musim panas, sedangkan engkau adalah musim dingin. Kemarin
aku musim gugur dan engkau adalah musim semi. Begitulah kehidupan. Berputar dan
bergulir. Membawa kenangan dan angan, ke dalam jutaan tanda tanya besar dalam
hadapan.
Cerita
terus berputar. Melewati batas-batas asa dan harapan. Aku tetap diam, berpijak
dengan kaki yang mulai lelah. Setelah berhari-hari mengejar bayangmu, di kala
matahari lelah memuncak. Aku duduk di bawah pohon rindang, dengan dahannya yang
begitu kuat. Menapaki fatamorgana rumput–rumput kering bunga lili liar dari
kejauhan. Panas hari, lalu merogoh kulit. Memaksa keringat keluar dan kemudian menguap.
Hingga embun pagi pun terasa enggan untuk menetes dalam resapan.
Wahai
Tuhan, apa arti semua ini? Bagaimana aku harus bersikap? Bagaimana aku harus
berbuat? Aku menjalani hari tanpa kenangan, menapaki kerikil tanpa alasan,
membasuh dahaga tanpa balasan. Aku merasa hampa. Apakah engkau mendengar doaku
ya Tuhan? Aku merasa sedih dan aku juga merasa lelah. Aku tertatih, tersandung,
dan terjungkal. Sendiri...tanpa bayangnya. Kutangkupkan kedua tanganku.
Kurasakan hela nafasku. Perlahan, namun pasti. Aku bisa melihat, mendengar, dan
aku merasa, keadaan diriku, dan dunia sekitarku. Semuanya berputar, terus
berputar. Bak rotasi. Ritmenya tetap, namun tanpa suara, tanpa iringan. Sekejap
kemudian aku kembali terjaga. Kutatap langit, yang kurasa semakin meluas. Kulihat
parasmu, dalam jutaan bintang, yang menjamur dan berangkaian, melukiskan rasi-rasi.
Lembaran
kisah ini sungguh pilu. Kisah drama penuh satir. Aku tertawa dalam diam. Menangis
dalam riang. Kepada siapa aku harus mengadu?
Tak seorang pun tahu dan tak seorang pun mengerti. Kisah ini adalah drama, yang
lahir di dalam drama. Ialah silokui Shakespare. Bedanya ini adalah nyata. Tak
ada reka ulang, tak ada skenario. Cinta, kehidupan, dan kematian, saling
berkejaran. Dialah yang memiliki cinta, tapi dekat dengan kematian. Dialah yang
memiliki kehidupan, tetapi jauh dari cinta. Dialah yang memiliki kematian,
pastilah sirna oleh kehidupan.
Sepercik
kemudian aku mengingatmu lagi. Ketika berkendara dalam taman berangin. Waktu
itu adalah siang. Siang yang cukup panas untuk tetap dikenang. Aku melewati perkebunan
hijau yang cukup subur. Ditumbuhi sayur mayur dengan keharuman pupuk. Aku
memandang langit dengan mata tersipit. Kulihat cahaya dibalik dedaunan. Terasa
indah dan penuh deruan. Kemudian aku melewati jajaran pinus. Daunnya hijau, tegak berdiri. Aku bersamanya, melewati dengan
riang. Tak ada kata yang sanggup kuucap, selain cinta dan cinta. Cintanya
kepadaku dan cintaku kepadanya. Dua rasa yang saling beradu. Menghadirkan
kehidupan dengan berjuta keindahan.
Kukisahkan
lagi kala musim penghujan tiba. Ketika itu, ia dan aku belum begitu mengenal.
Kita berdua berdiri dengan saling berhadapan. Aku dengan duniaku dan ia dengan
dunianya. Aku dengan gedung warna biru dan ia dengan gedung warna kelabu. Saat
itu, hujan jatuh dengan deras. Hingga harum baunya tak tercium oleh hujan. Pun
juga aku. Dunia kita tak begitu sama. Lalu mengingat itu, hatiku perih. Perih mengenang
masa-masa yang tak begitu kukenal. Aku menangis dalam tidur. Tanpa hangat dan
harum tubuh moleknya. Hingga hari-hari yang lalu, senyumnya samar kulihat, dalam
pejam mataku dan gelap cahayaku.
Tuhan,
hari ini aku mengadu. Mengadu kepada-Mu, bukan kepada makhluk-Mu. Hanya
Engkaulah yang bisa mendengar, hanya Engkaulah yang bisa merasa, dan hanya
Engkaulah yang lebih tahu dari siapapun yang Maha Tahu. Aku butuh Engkau. Tak
ada siapapun yang rela mendengar jeritku selain Engkau, Sang Maha Pemurah dan
Maha Mendengar. Aku takut dan aku selalu takut. Waktu ini cepat berlalu,
sedangkan dentingan waktu bukanlah aku yang Maha Tahu. Aku tak bisa
membayangkan, masa depanku tanpa dirinya. Aku tak bisa membayangkan, gelapku
tanpa hadirnya. Aku sungguh takut. Takut hari esok hanya akan berbuah sisa.
Sisa hidup saat ini yang terukir manis dalam dada. Kemudian cemas, menjalar ke
seluruh tubuh. Membahasi badan dengan keringat dinginnya. Ketakutan ini telah meremukkanku.
Ketakutan ini telah melumpuhkanku. Kurasa, rindu ini tak punya ujung. Rindu ini
semu belaka. Kemudian aku teringat masa kecilku. Masa-masa yang penuh dengan goresan
tinta dan gelak tawa. Apakah aku merindukan masa kecilku? Dengan lantang aku
menjawab “iya..” Aku merindukan kaki
kecilku yang dulu, tangan kecilku yang dulu, dan gigi ompongku yang dulu. Waktu
itu aku tak mengenal rindu. Aku hanya mengenal tawa dan juga tangis. Namun apa daya,
bumi terus berputar, bintangpun juga terus berpijar. Tak ada langkah yang
sebegitu goyahnya dalam menakhlukan masa. Hingga pasang surutnya laut pun sudah
menjadi biasa. Siang begitu panas dan malam begitu dingin. Begitulah kehidupan.
Lalu
siang merebah menjadi malam. Malam yang kurasa begitu damai. Hingga angin pun terasa
lirih untuk mendengung. Jantungku berdetak dengan lembut. Rindu? Pantaskah aku terlalu merindukan
hamba-Mu, hingga aku harus mengabaikan-Mu? Pantaskah aku harus memikirkannya
setiap hari, tanpa sedikitpun harus memikirkan perasaan-Mu? Nyatanya, aku
hanyalah seorang hamba. Hamba yang diciptakan oleh-Mu agar aku bisa berbakti
kepada-Mu. Kurasa, ini adalah petunjuk yang benar. Benar untukku agar aku
selalu mengingat-Mu, dalam siang dan malam, dan dalam suka maupun duka. Tanpa harus
berpikiran lagi, untuk dapat menduakan-Mu, dengan hamba-hamba-Mu yang lain di
dunia ini.
Kisah Tentang Rindu
Pagi hari ini, memang masih sepi.
Aku berjalan sendirian, menyusuri jalan tanah berbatu menuju sekolah yang jaraknya
dua kilometeran dari rumah singgah. Di sepanjang perjalanan, aku berpapasan
dengan iring-iringan orang dari arah berlawanan. Mereka memanggul
gundukan-gundukan besar di dalam karung yang terlihat memberatkan. Di barisan
belakang, terlihat beberapa wanita dewasa dan anak kecil menjinjing tas
berukuran besar kecil berisikan sayur mayur. Mereka adalah para pedagang.
Mereka baru saja pulang dari pulau seberang untuk membawakan kehidupan bagi
masyarakat desa. Sebentar lagi saat fajar benar-benar tiba, mereka akan membuka
lapak-lapak kecil di sekitar lapangan desa. Aku masih teringat ketika mereka
mengacung-acungkan ubi kearahku ketika aku baru saja tiba di tempat ini.
Bahasanya tidak begitu kukenal. Tetapi tujuannya jelas, untuk menjajakan
dagangannya. Mungkin semacam teknik marketing.
Raut wajah mereka sudah tampak lesu
meski matahari belum muncul sempurna. Kucuran keringat dan hembusan nafas yang menggebu-gebu
membaur menjadi satu, menggumpal membentuk semangat yang ditujukan untuk
mengobati kelunglaian fisik setelah seharian melalui perjalanan panjang .
Semangat itu lahir karena adanya harapan untuk untung, pikirku. Tak ada yang
lebih baik daripada mendapatkan untung dan mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari
di sini.
Di persimpangan jalan berikutnya,
iring-iringan pedagang itu mulai habis. Aku pun mengambil arah jalan ke kanan
dan kembali merasakan kengerian yang kurasakan setiap pagi selama beberapa hari ini. Aku menyentuh
perutku, berharap tidak mual karena terlalu memikirkan ketakutan-ketakutan akan
ketidaknyamananku, namun lebih berharap untuk merasakan rasa lapar yang meronta-ronta.
Kurasakan perutku mulai bergemuruh dan bergetar hebat. Lambungku kembang
kempis. Nampaknya, rasa lapar itu benar-benar telah mengambil alih akal
warasku.
Tak sampai beberapa menit
berjalan, aku akhirnya tiba di sebuah bangunan berukuran sedang, satu-satunya
bangunan yang kupikir terbaik di antara bangunan desa lainnya. Aku melihat
cahaya di dalam bangunan itu. Warnanya kuning meremang. Uap dari atapnya
mengepul tinggi. Pertanda beberapa masakan sedang diolah dan beberapa mungkin sudah
siap sedia. Daun pintu ganda bangunan itu terbuka setengah bagian, karena
memang hari belum sempurna . Di beberapa sudut meja sudah nampak beberapa orang
yang terlihat asyik nongkrong sambil minum kopi. Mengocehkan sesuatu tentang
tangkapan ikan hari ini. Mereka mengenakan kupluk-kupluk kumal dan sarung lusuh
untuk menghangatkan tubuh gempal mereka. Penampilannya mengerikan menurutku. Nelayan
yang lebih mirip dengan gambaran maling dan begundal di daerah asalku.
“Mau makan apa Bapak Guru...?”
pemilik warung itu mengagetkanku. “Emm. Pesan papeda pake ikan ini sama teh
hangat ya Ibu...” Jawabku spontan. “Siap Bapak Guru..” Ibu itu meringis sebentar
memperlihatkan barisan gigi-giginya yang putih rata, di balik keremangan cahaya
kuning lilin yang mulai meredup karena terkena terpaan sinar matahari fajar dari
luar jendela. Dan seperti biasanya, seperti tangan yang sudah terlatih
bertahun-tahun. Dengan gerakan secepat kilat, ibu itu mengambil piring dan menuangkan
secaruk papeda beserta lauk di atasnya hanya dengan waktu seperkian detik. Aku
pun hampir melongo dibuatnya. Rasanya aku baru mengedipkan mata beberapa kali
setelah aku menunjuk lauk yang aku pikir itu bukan lauk yang kemarin aku pesan.
Dan beberapa waktu yang berlalu itu, kini telah bertransformasi menjadi
sepiring papeda di hadapan, lengkap dengan lauk yang terlihat asing bagiku.
Aku mengambil alih sepiring
papeda itu dari tangan kekar si ibu pemilik warung dan mulai berjalan menuju tempat duduk di dekat tungku perapian. Seketika,
aroma hunian warung itu terasa mengorbit di benakku. Beriringan dengan
pemandangan kosong melompong pagi hari di luar jendela kayu yang tampak tidak dibuat
persegi. Membuatnya menjadi semacam bingkai lukisan. Membentuk ritme kehidupan
yang elegan dan berpacu membentuk history.
Ini adalah kali keempat aku makan
di warung ini. Jelas saja, warungnya memang hanya buka setiap hari sabtu dan
hari minggu. Itupun kalau cuaca sedang cerah. Kata Ibu pemilik warung, lima
hari tersisa adalah untuk mengumpulkan bahan yang akan dimasak. Ketika warung
tutup, suasana warung akan menjadi senyap. Tak ada lagi remang warna kuning dan
kepulan asap. Kanan kiri warung hening karena memang tak ada bangunan lain. Bangunan
terdekat hanyalah bagunan sekolahan yang berjarak beberapa puluh meter dari
warung. Yang sebenarnya bangunan itu juga tak bisa dilihat dari jalanan depan
warung.
Air liurku mengalir di dalam
leher dengan pelan ketika bubur sagu itu
kuaduk-aduk dengan lauknya. Memikirkan kenikmatannya sekaligus merasakan
lambung yang mengkerut karena dari kemarin siang lambung itu tidak terisi sesuatu
apapun gara-gara aku terlalu sibuk membenahi genteng rumah singgah yang bocor. Lalu
lebih dari itu, aku juga berharap santapan pagi ini dapat menekan rasa laparku
selama seharian nanti.
Sebelum mulai makan, aku menatap ke depan
menghadap langit dan pepohonan. Berdoa dan iseng-iseng menawarkan makanan pada
angin yang berhembus lewat. “Selamat makan kawan... Emmm” Satu sendok papeda
masuk ke mulutku dengan senang hati. Namun, baru sepersekian detik kemudian
ketika papeda dan lauk berwarna kuning itu mendarat di lidahku, aku langsung mengeluarkannya
kembali. Insting indra perasaku seakan menolak sengit makanan itu dan aku mulai
merasakan sesuatu menjalar ke seluruh tubuh. Aku merasa akan muntah dan perutku
kembali terasa mual. Makanan apa ini...? aku mengulak-alik seisi piring papeda
dan berharap menemukan tulang-tulang ikan agar bisa kutebak lauk apa yang
sedang aku makan.
Rasanya tak ada yang lebih nikmat
dari makanan hasil laut di sini. Beberapa menu andalan termasuk cumi asap
memang jarang ditemui selain hari minggu. Tetapi ini beda dari daging cumi.
Teksturnya lembek dan tidak kenyal serupa ampas tahu. Selain lembek aku juga
menemukan sedikit tekstur kasar yang aneh. Berbentuk semacam bola dan agak
bergerigi. Akhirnya, kuputuskan untuk tidak melanjutkan sarapan pagi ini. Lauk
asing itu sudah cukup untuk mengisi sebagian lambungku yang mungkin sebagian
lainnya akan kuisi dengan lebih banyak
air.
Air. Ya air. Aku ingat aku tadi
memesan teh hangat. Kutolehkan kepalaku ke meja tempat aku memesan dan berusaha
mencari-cari dimana gerangan si ibu berada. Ibu itu tidak ada di sana. Apa si
ibu itu lupa dengan pesananku..? biasanya tidak. Aku berdiri dan berjalan
mendekati perapian. Kucondongkan kepalaku agak ke perapian dan berusaha
mengintip ruang dapur yang ada di dalam lewat celah pintu yang terbuka separuh.
Kulihat sekelebat bayangan dan aku kembali ke posisiku semula. Merapikan
sesuatu yang mestinya tidak perlu untuk dirapikan. Ibu itu melangkah mantap
keluar dari dalam dapur. Tangan kanannya memegang gagang cangkir teh sedangkan
tangan kirinya berusaha menyangganya dengan memegangi piring kecil di alas
gelasnya.
Gigi-gigi putih ratanya kembali
dia munculkan, sampai-sampai bibirnya yang tebal bisa melebar dan terlihat
tipis memanjang. Aku jadi teringat dengan orang-orang yang kutemui beberapa
hari lalu di dermaga pelabuhan ketika aku baru tiba di sini. Senyumannya tak
kalah cemerlang dengan yang ini. Senyuman khas penduduk desa yang sarat dengan
keramah-tamahan.
“Maaf Bapak guru, tehnya lama
sekali.., tadi saya lupa menaruh daun tehnya dimana..” kata ibu itu sambil
menyerahkan tehnya kepadaku. “Tidak apa-apa ibuu...” aku tersenyum dan
menganggap kata-kataku barusan adalah lucu karena kuusahakan semirip mungkin
dengan aksen si ibu. “Oh, ya ibu... Boleh aku tanya. Lauk kuning-kuning yang
dipiring itu ikan apa ..?” aku melanjutkan. “Ahahaha. Itu daging bulu babi
Bapak guru.. bagaimana rasanya, pasti mantap kannn...” Ibu itu tertawa lebar
sambil sedikit berjengit ke belakang. “Itu tadi masakan bulu babi yang aku masak
dengan bumbu kuning Bapak Guru...”
“Emm.. Namanya apa Ibu
masakannya..? Tanyaku. “Papeda ikan kuah kuning Bapak guru.., Bapak guru mau
bungkus kah buat makan nanti sore..?? Kepalaku menggeleng lebih dulu untuk
bereaksi, sebelum kata-kata dari bibirku mampu terucap...“Emm, tidak usah Ibu..
nanti kalau kepingin makan papeda ikan kuning biar saya datang ke sini saja...”
Jawabku sembari kembali menyruput teh hangat yang berada dalam genggaman
tanganku. “Semuanya habis berapa Ibu...?” Aku mendongak kembali menatap si Ibu.
“Semuanya dua puluh lima ribu Bapak guru...” jawab si Ibu dengan lantang.
“Ini Ibu... Terimakasih,
makanannya mantap sekali...” mataku tiba-tiba menatap sekeliling ruangan.
Berharap tidak ada yang memperdulikan tingkahku barusan. Mungkin akan terasa
aneh untuk dilihat apabila tingkahku tadi diamati lebih teliti. Semuanya memang
hanya terlihat akting. Akting ini sama halnya kulakukan ketika pertama kali aku
tahu bahwa toilet di desa ini adalah sebuah galian besar memanjang yang hanya dibatasi
sekat pembatas dari kain sobek-sobek. Betapa mengenaskannya perasaanku waktu
itu. Sudah menahan buang air di ubun-ubun tetapi malah terpampang oleh pemandangan
orang-orang yang nampak duduk berjongkok di sana sini separuh telanjang tanpa
rasa malu sedikit pun. Awalnya tubuhku kaku dengan pemandangan itu, namun
lambat laun kuusahakan untuk tidak menampakkan keterkejutan yang berlebih. Aku
tetap berjalan menuju jamban dengan bibir menggumamkan kata-kata yang kupikir
bisa memberi sugesti yang baik terhadapku “Aku harus terbiasa...aku harus
terbiasa... semuanya akan baik-baik saja... ini adalah keunikan mereka... aku
tidak boleh menganggap keunikan mereka adalah sesuatu yang jelek dan menjijikkan...”
Aku mengulangi kata-kataku
tersebut sambil berjalan keluar dari warung. Aroma khas hunian warung itu terasa
memudar ketika aku sudah berada di depan pintu bagian luar. Di bawah sebuah
tiang kayu yang papannya bergambarkan bekas poster salah satu calon kepala
daerah. Aku heran termanggut-manggut ketika berusaha memikirkan hiruk pikuk
pemilihan kepala daerah, di mana sang kepala daerah terpilih nantinya akan
bersenang-senang dengan jabatan dan kemewahan fasilitas. Sedangkan masyarakat sebagai
pemilih seperti masyarakat desa ini tetap berjuang membanting tulang sekuat
tenaga hanya untuk menyambung hidup. Mencari uang untuk makan dan makan untuk
mengisi energi kembali agar bisa mencari uang lagi. Sebuah siklus memilukan
yang hanya akan dialami oleh sebagian orang-orang tertinggal dan terlupakan,
seperti penduduk desa ini.
Aku mendongakkan kepala sedikit
ke atas. Berusaha menatap langit yang terasa ikut berkabung. Langit itu tidak
mendung. Hanya saja kelihatan masih muram karena sinar matahari belum menyinari
awan-awan dengan sempurna. Aku pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan
menuju sekolah. Jaraknya sudah begitu dekat. Gerbang utamanya saja sudah
kelihatan ketika aku baru sampai pada belokan kiri pertama dari arah warung
tadi. Gerbangnya dari kejauhan nampak sangat sederhana namun rapi. Dipatok
dengan seadanya supaya kayu-kayunya berjajar membentuk pagar. Pintu gerbangnya
juga dibuat berbeda dari yang lain. Kedua sisi penyangganya agak ditinggikan
dengan alih-alih atasan yang dibuat melengkung, tetapi lebih ke persegi.
“Ting..ting..ting...” Bunyi bel
sekolahan dari kejauhan dipukul tiga kali, pertanda jam masuk kelas. Para siswa
terlihat berhamburan. Mereka datang dari berbagai penjuru untuk berjejal menuju
pintu gerbang utama sekolahan. Dari arah belakangku juga muncul dua orang siswa
yang tiba-tiba berhenti dengan nafas yang terengah-engah. Sepatu diikatkan di
leher mereka. Disampul seadanya dengan mengaitkan tali sepatu kanan dengan tali
sepatu kiri. Sedangkan kaki mereka sendiri dibiarkan telanjang. Penuh lumpur
dan kotoran tanah. Dua siswa ini tinggal di pedalaman pulau sekitar hutan.
Jaraknya bisa empat kali lipat dari jarak rumah singgah ke sekolahan. “Selamat
pagi Bapak guru...” mereka menyapaku sambil berusaha mengibaskan kucuran
keringat di dahi mereka dengan lengan baju. “Pagi Stephy, Tibo.. Ayo, sebelum
masuk sekolah sepatunya dipakai dulu..” Aku memerintah mereka sambil menunjuk
batu di pinggir jalan yang sekiranya dapat mereka pakai untuk duduk dan selanjutnya
membiarkan mereka membungkus kaki-kaki kecil mereka dengan sepatu-sepatu tak
layak pakai itu.
“Apa Buni tidak masuk lagi hari
ini...? Tanyaku sambil menunggu mereka mengenakan sepatu. “Tidak Bapak guru,
tadi pagi ketika berangkat ke sini kami berjumpa dengan Buni di hutan, nah Buni
memberitahu kami kalau hari ini dia tidak masuk sekolah lagi...padahal saya sudah
beritahu kepada mama Buni agar mama Buni meminta Buni untuk sekolah, tetapi
mama Buni malah marah-marah kepada kami...” Mereka bangkit tampak tak
menghiraukan dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. “Ayo Bapak guru, kami
sudah selesai memakai sepatu..” Aku tidak menjawab ajakan mereka, aku hanya
tersenyum dan mengayunkan tanganku sebagai pertanda aku menyetujui ajakan mereka.
Aku berjalan pelan. Berusaha pelan agar aku bisa mengikuti bekas tapak kaki
mereka dari belakang.
Setibanya di sekolahan, Stephy dan
Tibo langsung menyeruak masuk ke dalam kelas. Aku memandang mereka berlari, hingga
mereka akhirnya hilang dari pandangan. Aku sendiri pun juga berbelok arah menuju
ruang guru. Ruangan yang lebih sempit daripada ruang kelas siswa. Isinya tidak
nampak mewah. Di pojok ruangan, terdapat sebuah lemari reyot yang terdiri dari
tiga bagian rongga. Rongga tengah adalah rongga yang terbesar dan utama. Rongga
ini berisi buku-buku pelajaran kusam dan beberapa kumpulan arsip siswa yang
tidak tertata rapi. Rongga bagian bawahnya adalah rongga yang lebih kecil dari
rongga bagian tengah. Isinya adalah peralatan-peralatan yang diperlukan untuk
mengajar, seperti kapur dan penghapus. Sisanya adalah peralatan-peralatan yang
sebagian besar tak kutahui fungsinya apa dan mengapa benda-benda itu diletakkan
di situ. Rongga atas adalah yang paling kecil di antara semua rongga. Rongga
yang selalu terkunci rapat dan tidak pernah sekali pun aku melihatnya terbuka.
Selebihnya, ruangan itu hanya
berisikan satu buah meja dan tiga buah kursi. Mejanya tidak bertaplak dan
berwarna coklat memudar pada bagian pinggirnya, mungkin akibat gaya gesek dari
kulit lengan yang kasar. Di pinggir jendela, nampak satu-satunya barang yang
kuanggap paling menarik di sini. Sebuah kalender. Menggantung dengan gagah,
menampilkan pemandangan alam raja ampat. Bertuliskan “KOPERASI SIMPAN PINJAM”
dengan huruf kapital tebal. Saya masih terheran-heran dengan cara kalender itu
bisa sampai ke ruangan ini. Padahal jarak desa dengan koperasi yang ada di kota
terdekat hampir mencapai puluhan kilometer. Itupun harus ditambah dengan
menyeberangi lautan. Apakah itu hadiah dari seseorang, pikirku. Coretan dalam
angka-angkanya itulah yang menyebabkan aku meragukan kalender itu milik salah seorang
guru di sini. Coretan itu berisi kata-kata yang bahkan tidak dapat disamakan
dengan tulisan Bapak Frans atau Ibu Teresa.
“Selamat pagi Bapak Frans, Ibu
Teresa...” Aku menyapa kedua orang yang selama bertahun-tahun sudah menjadi
penghuni tetap ruangan itu dengan sedikit senyuman. “Pagi Bapak guru Ranu...
Wahh. Bagaimana kabarnya Bapak hari ini. Sehat kah..? Sudah kerasan kah..? Pak
Frans berceloteh tentang kabarku hari ini dengan suara seraknya, sedangkan ibu
Teresa terlihat sedang sibuk menulis sesuatu di samping Bapak Frans. “Baik
Bapak Frans.. sepertinya saya sudah kerasan sejak pertama kali menginjakkan
kaki di sini” Jawabku tersenyum sembari meletekkan tas jinjing di kursi dan
mengeluarkan isinya.
“Saya ke kelas dulu Bapak Frans,...”
Kata Ibu Teresa. Dia bangkit dari kursinya membawa beberapa kertas yang telah
dia coreti tadi. “Mari Bapak Ranu...” dia menyapaku dengan tatapan khas
penduduk sini. Yang pastinya disertai dengan senyuman. “Iya Ibu Teresa...”
kubungkukkan badanku sedikit ke depan dengan maksud menghormatinya. Lalu aku
kembali lagi menghadapkan pandanganku ke Bapak Frans dan siap untuk menjelaskan
sesuatu kepadanya “Ow iya Bapak... Begini, saya dari kemarin sudah mengumpulkan
data-data dari salah seorang siswa yang bernama Buni. Buni sudah seminggu lebih
tidak masuk sekolah. Sepertinya kita perlu cari tahu apa yang menyebabkan Buni jadi
jarang masuk sekolah. “ Jelasku.
“Ow masalah seperti itu tidak
terlalu dipikirkan Bapak Ranu. Kita fokus saja dengan ujian semester yang akan
dilakukan beberapa minggu lagi. Tidak usah mengurusi sesuatu yang kurang
penting seperti itu lah“ Suara serak Bapak Frans terasa memenuhi ruangan. Aku
masih terngiang memandang ekspresi wajah Bapak Frans yang kikuk disertai pandangan
mata yang tidak konstan. Dia kemudian melanjutkan.. “Emm.. Begini Bapak Ranu, hal-hal
semacam itu sudah sering terjadi di sini. Bahkan lama sebelum Bapak guru Ranu
datang ke sini. Biasanya faktor mereka tidak mau sekolah adalah karena mereka lebih
memilih untuk bekerja atau menikah. Itu adalah urusan orang tua mereka. Bukan
urusan kita...” Tukasnya.
Aku terdiam sejenak. Berusaha
mencerna perkataan Bapak Frans barusan. Dan sesegera mungkin berusaha menyangkal
penjelasan dari guru tambun itu dengan berbagai cara “Emm..Maaf Bapak Frans,
bukankah sudah menjadi kewajiban kita sebagai guru dan pendidik untuk melayani siswa-siswa
yang ingin mendapatkan kesempatan belajar di sini..” Sergahku. Kemudian aku
melanjutkan bicara lagi tepat ketika Bapak Frans mau mendebat omonganku “Kita
orang mempunyai kesempatan yang sama dalam hal pendidikan, termasuk anak-anak
yang kurang beruntung seperti Buni. Dan lagipula, saya pikir tidak semua siswa
yang tidak masuk sekolah mempunyai alasan yang sama dengan apa yang telah Bapak
Frans jelaskan tadi...?” hidungku kempas-kempis. Mulai merasakan tekanan darah
mengalir naik ke ubun-ubun dan mau pecah.
Bapak Frans tiba-tiba berdiri dan
menjadikan meja sebagai tumpuan untuk kedua tangannya yang mulai mengepal “Begini
Bapak guru Ranu. Saya adalah kepala sekolah di sekolah ini. Saya orang adalah
yang berhak memutuskan semuanya di sini... jadi urusan seperti itu biar saya
saja yang mengurusi. Bapak Ranu tidak usah terlalu ikut campur”. Pupil Bapak
Frans terlihat semakin membesar. Berusaha menekan sesuatu yang seharusnya tidak
patut untuk ditampakkan. Beberapa detik kemudian, tatapan matanya terlihat
melemah. pupil matanya juga terlihat menormal. Dia kembali duduk ke kursi
seperti semula. Menghela nafas lega seperti baru saja melepaskan sebuah
kesesakan yang memuakkan. Kedua tangannya dia tangkupkan ke muka sambil
menggumamkan sesuatu.
“Maaf Bapak guru Ranu. Saya
terlalu emosi. Saya hanya melakukan tugas sebagaimana mestinya dan juga agar
Bapak guru Ranu tidak terlalu repot mengurusi anak itu...” dia diam sejenak untuk
menghembuskan nafas panjang dan mulai menggumamkan sesuatu lagi dengan tidak
jelas. Aku pun juga ikut terdiam dengan keadaan itu. Terpaut oleh medan gaya
suasana sumbang yang seakan membuat segala gerak-gerikku terasa kaku dan bagai
terekam oleh kamera tersembunyi di balik layar film. Menganggap bahwa setiap
gerakanku adalah pemicu ledakan dahsyat yang bakal menghidupkan alarm-alarm
tanda bahaya hingga suaranya terdengar seantero negeri.
Tiga detik kemudian, aku melihat
sekilas pancaran muka Bapak Frans yang disertai dengan gumaman dan usapan
berkali-kali telapak tangan ke mukanya sendiri. Aku menatapnya dengan sengaja karena
aku pikir dengan itu aku akan bisa tanggap ketika sesuatu hal yang tak
kuharapkan terjadi kepadaku. Pancaran itu seperti benar-benar menyiratkan sebuah
maksud yang terpendam. Seolah-olah sedang memikirkan suatu hal dengan daya
juang penuh. Mencoba mengatakan atau melakukan sesuatu untuk merubah suasana
satir yang telah dia buat sendiri.
“Ow iya Bapak guru Ranu, saya punya ini untuk
Bapak guru Ranu koreksi hari minggu besok...” dia mengeluarkan setumpuk kertas
berwarna putih kusam dari dalam kotak yang tepat berada di samping kiri
kursinya. “Apa ini Bapak Frans..?” Aku kembali memberanikan diri untuk bertanya
kepadanya. “Ini adalah hasil ulangan siswa beberapa hari yang lalu. Saya sudah
koreksi sebagian, sebagian lagi belum. Nah, coba Bapak guru Ranu koreksi dulu
dan nanti Senin serahkan ke saya..!” Pintanya sambil meletakkan setumpuk kertas
itu tepat di atas meja yang ada di depanku.
“Emm.. Baik Bapak Frans, saya akan
menyerahkan hasilnya hari Senin depan..” aku mengambil tumpukan kertas itu
dengan sedikit enggan. Rasa kecewa itu masih sangat terasa. Mengingat kembali
dengan apa yang telah terjadi beberapa menit yang lalu. Aku juga mulai merasa masygul,
tak tahu harus berbuat apa sambil tetap menjejalkan secara perlahan tumpukan
kertas ulangan siswa itu pada celah tas yang terlihat masih muat untuk diisi.
Kemudian aku berdiri dan mulai memohon pamit kepada Bapak Frans untuk masuk ke
dalam kelas.
Suasana kelas hari ini sangat
ricuh seperti biasanya. Suara-suara itu sama seperti hari kemarin. Tak pernah
ada yang sepenuhnya aku mengerti. Aku berusaha mengendalikan kelas tetapi tetap
saja ada yang membangkang. Sampai-sampai aku hampir bertekad diri untuk melambungkan
gagang sapu kepada mereka agar jera. Tetapi nuraniku ternyata lebih tangguh
daripada emosiku yang sesaat. Aku pikir, tidak sepantasnya aku berbuat demikian
kepada mereka. Sebab, aku adalah seorang yang terdidik. Sebagai seorang yang
terdidik, aku seharusnya bisa menyadarkan mereka dengan cara-cara yang terdidik
pula. Tidak dengan kekerasan seperti itu. Hanya saja saat ini aku masih belum bisa
menemukan cara yang pas untuk memberikan pemahaman kepada mereka tentang semua
ini. Tentang pendidikan yang selayaknya harus diberikan kepada generasi-generasi
muda yang terlalu polos dan masih mustahil untuk bisa diberdirikan di garda paling
depan bangsa sebagai barisan pejuang pembela tanah air seperti mereka.
Kelas yang kuajar hari ini adalah
kelas 3 dan 4. Jumlah total siswa ada 10 orang. 6 untuk kelas 4 dan 4 untuk
kelas 3. Model kelas di sekolahan ini memang dibuat kelas rangkap. Jadi total
ruang kelas ada 3 kelas. Setiap ruang kelas berisi siswa dari dua kelas
tingkatan. Kelas 1-2, kelas 3-4, dan kelas 5-6. Model kelas rangkap memang diterapkan
di sekolahan ini karena mengingat ruang kelas yang ada tidak bisa mencukupi kuota
ruang kelas yang seharusnya, yaitu 6 ruang kelas. Selain itu, siswa sekolahan
ini juga tidaklah banyak. Total siswa dari kelas 1-6 pada tahun pelajaran ini saja
hanya berjumlah 19 orang siswa. Hal ini dapat diartikan bahwa kemauan dan kesempatan
pendidikan bagi masyarakat desa ini masih tergolong rendah. Mengingat laju
pertumbuhan sumber daya manusia dan persaingan global di luar sana yang semakin
meningkat.
Waktu mengajar terus bergulir.
Aku memberikan pelajaran tentang matematika dasar untuk kelas 4 dan pelajaram
membaca untuk kelas 3. Aku memberikan pelajaran itu kepada mereka dengan sedapatnya,
karena aku sendiri memang bukanlah lulusan dari tenaga pendidik untuk tingkatan
sekolah dasar yang memiliki bekal ilmu-ilmu tertentu. Aku adalah seorang
konselor. Yang kupegang teguh di sini hanyalah sebuah niat yang ikhlas untuk
berbagi ilmu dan usaha bantuan untuk permasalahan mereka. Selebihnya adalah tekad
semampuku dan sekuat tenaga. Tetapi sejauh ini respon mereka adalah baik. Dan
hal ini membuatku semakin semangat untuk menarik mereka terbang melesat
menembus batas garis-garis kehidupan dengan mengendarai sesuatu yang aku sebut
sebagai ilmu pengetahuan dan imajinasi. Menembus batas-batas relativitas
tentang gerak ruang dan waktu, dimana kita tidak hanya terpaku pada kejadian
saat ini saja, melainkan juga kejadian
akan masa lalu dan masa depan yang telah dan akan kita alami...
.........
Jam-jam di kelas bersama siswa akhirnya
berlalu dengan sendirinya. Dan tanpa terasa waktu yang kulalui bersama mereka sudah
cukup lama hingga membuat mataharipun sekarang sudah bergeser sedikit condong ke
arah barat. Pertanda lazim bahwa hari sudah mulai sore. Setelah para siswa
berhamburan pulang dan aku telah berhasil membereskan kursi-kursi dan meja
kelas yang berantakan, aku langsung bersiap diri untuk pulang menuju rumah
singgah. Tapi sebelum itu, aku mampir sebentar ke ruang guru untuk berpamitan
kepada Bapak Frans dan Ibu Teresa yang juga terlihat sedang bersiap diri untuk meninggalkan
sekolahan.
Di sepanjang perjalanan ke rumah
singgah aku memikirkan berbagai kenangan tentang hari ini. Tentang hari ini
adalah hari yang melelahkan. Dan probabilitasnya memang selalu begitu. Hari
dimana aku harus mempunyai masalah dengan orang lain dan hari dimana aku harus
bersabar dengan ulah orang lain. Tetapi di luar itu semua, hari ini aku juga
menemukan sebuah kunci dari awal perjalananku di tempat ini. Awal yang kumaksud
adalah awal yang baik untuk suatu hal yang baik. Awal yang baik tentang Buni.
Seseorang yang baru tiga kali aku jumpai. Tentang sosok gadis cilik periang
dengan barisan gigi-gigi ompongnya dan tas ranselnya yang compang-camping. Tentang
sosok gadis cilik yang hari-hari lalu kukenal sebagai gadis pemberani dan penuh
semangat baja. Yang kemudian saat ini semangat dan keberaniannya kurasakan telah
hilang bersamaan dengan waktu yang telah berlalu begitu saja. Hilang tertelan gejolak
kehidupan masyarakat yang termarjinalisasi oleh aturan mereka sendiri.
Buni. Dimana kau sekarang Nak...?
Sepertinya aku harus segera menyiapkan segala sesuatunya untuk mulai mencarimu.
Berharap kaki-kaki kecilmu berayun-ayun di bawah dahan yang rindang di puncak
bukit di atas sana. Menatap jauh ke depan, ke hamparan laut biru yang penuh
dengan tantangan. Bersiap diri akan segala sesuatu yang bakal menerjang. Hingga
akhirnya engkau bisa berpijak pada kaki sendiri dan terbang menggunakan
sayap-sayap ajaib yang akan engkau rangkai sendiri. Buni adalah cermin generasi
masa depan yang sangat disayangkan untuk dibiarkan bersinar sendiri tanpa arahan.
Sama halnya dengan ribuan anak di Indonesia yang mungkin saat ini belum bisa
merasakan sentuhan akan pendidikan. Yang mereka tidak tahu pasti akan menawannya
dunia ini dengan pendidikan dan segala ilmu pengetahuannya. Pendidikan untuk semesta
peradaban manusia yang lebih baik.
To be continued... ~25 Maret 2015~
“Senja di Batas Negeri”
Langganan:
Komentar
(
Atom
)




